Langsung ke konten utama

If You're Feeling Sinister*


*Judul diambil dari lagunya Belle and Sebastian, one of my favorites ever.

            Tema hari ini sebenarnya tentang hari paling menarik tahun kemarin. Namun, saking tahun kemarin ngebut banget kayak pembalap di sirkuit Mandalika, saya nggak kepikiran satu pun hari yang pingin diceritakan. Jadi, sebagai gantinya saya ceritakan aja salah satu hari paling menarik di tahun ini.

            Jadi, sebulanan yang lalu, ada seekor kucing yang numpang melahirkan di rumah saya. Saya curiga kucing ini banyak yang naksir, soalnya belakangan perutnya sudah membesar lagi. Kata Mbah Kung saya dia primadona di antara kucing-kucing kampung.

            Karena sebelumnya sudah sering nongol di rumah, saya namakan dia Ciki Ciki Bamba. Jadi, mari kita memanggilnya demikian, meski Mbah Kung bersikeras kucing itu bernama Melly. Setelah melahirkan, Ciki Ciki Bamba lebih sering dipanggil Mama Kucing, karena anaknya ada 5 dan semuanya belum punya nama. Ciki Ciki Bamba punya bulu berwarna putih dan oranye. Ia kawin dengan kucing berwarna hitam dan putih, jadi anaknya ada yang berwarna oranye full, oranye-putih, dan oranye-hitam-putih. Ciki Ciki Bamba kalem dan tidak banyak mau. Kalau dengar lagunya Anji “Bersama Bintang” matanya perlahan mengatup dan tidur pulas.

            Sebenarnya, di rumah kami yang suka kucing hanya kakak. Namun, karena kasihan, kami sediakan bilik ruangan terbuka yang memang nggak kepakai untuk tempat tinggal mereka selama masih bayi. Nah, beberapa hari yang lalu, karena anak-anak kucing ini sudah pada besar dan lincah bukan main, kami taruh kotak tempat tidur mereka di teras rumah.

            Karena sudah besar juga, dan sedikit banyak ketahuan sifatnya, kami berusaha memberi nama untuk membedakan kelima anak kucing itu. Yang paling gendut dan berwarna ­full oranye (ada putihnya tapi dikit banget), kami beri nama Gembeng. Dia itu paling gemuk dari semuanya, tapi manjanya luar biasa. Kena air sedikit saja buat dimandikan dia nangis paling keras dari anak-anak kucing lainnya. Digendong bentar aja dia sudah teriak-teriak. Untunglah dia sudah nggak begitu lagi sekarang, malah paling lincah dan lari-lari kesana kemari. Dia sudah nggak pernah nangis lagi.

            Yang kedua (kayaknya) sih perempuan. Warna bulunya hitam dan putih, matanya bagus banget. Wajahnya cantik, dan dia kelihatan paling kalem diantara yang lain. Mungkin dia menuruni sifat ibunya karena bapaknya pencilakan betul. Karena kecantikan wajahnya itu, kakak sepupu saya memberinya nama Magdalena.

            Yang ketiga ini yang paling nakal. Warnanya corak tiga, hitam-putih-oranye. Dia paling beringas karena dideketin dikit aja galaknya minta ampun. Dia suka menunjukkan taringnya sambil memasang wajah mirip singa. Larinya paling cepat, setiap kali pintu dibuka dia selalu bisa masuk. Karena itu, saya namakan dia Arapaima. Mengingatkan saya pada Arapaima gigas, spesies ikan ganas asli Amazon.

            Yang keempat dan kelima, saya belum nemu namanya sih. Masih suka ketukar-tukar soalnya. Apa jangan-jangan mereka kembar???? Hahaha. Karena yang satu lebih banyak warna putihnya kayak susu, kita panggil saja Bima Sakti. Kebetulan dia sepertinya cowok dan bulu putihnya mengingatkan saya pada Milky Way. Yang satunya lagi, warnanya campuran tiga corak, tapi lebih kecoklatan. Kita panggil saja dia dengan nama Bonetto, ya. Milo sudah pasaran soalnya.

            Sejak itu, banyak banget anak-anak tetangga yang mampir ke rumah untuk lihat anak kucing imut-imut itu. Saya yang ansos ini tentu kaget, dong. Yang mengejutkan bahkan anak-anak dari kampung sebelah sampai tahu ada lima ekor anak kucing imut di rumah saya.

            Yang paling menarik itu terjadi kemarin. Ceritanya, kelima kucing ini main-main di rumah Mbah Kung. Tiba-tiba, ada dua anak kecil datang ke rumah sambil menggendong anak-anak kucing ini untuk dikembalikan ke rumah saya. Mungkin mereka mengira kucing-kucing itu milik saya. Saya yang kebetulan lagi chill bareng keluarga langsung keluar rumah dan nanya ke mereka, kenapa kok kucingnya dikembalikan lagi? Mereka jawab, mereka pingin minta anak kucing tersebut. Kami sekeluarga sih senang banget, karena sudah merasa nggak sanggup buat melihara lagi. Baguslah kalau ada yang mau rawat.

            Kedua anak itu pun bingung pilih yang mana. Mereka pingin rawat dua kucing, tapi nggak bisa karena di rumah mereka sudah ada satu kucing.

            “Nama kucingmu siapa?” tanya saya.

            Salah satu dari mereka menjawab, “Santoso. Tapi dipanggilnya San.”

            Kami semua pun ngakak karena nama kucingnya yang unik itu. Saya aja ngetik ini sambil ketawa sendiri hahahaha. Inspirasi dari mana ya itu? Keren sih hahaha.

            Si anak yang berambut panjang ngotot pingin bawa pulang Bima Sakti. Sementara, si anak yang berambut pendek ngotot pingin bawa pulang Gembeng karena dia paling gemuk dan wajahnya sangat imut. Setelah ribut-ribut cukup lama, mereka pun memutuskan membawa pulang Gembeng.

            “Kamu beneran mau merawatnya? Jangan disakiti, ya.” kata Bapak.

            “Beneran kok, aku punya kucing juga di rumah.” jawab dia.

            “Dikasih makan apa?”

            “Ikan.”

            “Ikan apa?”

            “Tongkol.”

            “Sipp!” seru bapak.

            “Tapi ini masih kecil, nanti dikasih susu.”

            “Ada susu kucingnya?”

            “Ada, kok!”

            “Sipp!”

            “Makasih ya, pak.” kata mereka sebelum pulang.

            Sesudah mereka pulang, sore berjalan kayak biasa. Sekitar dua jam-an kemudian rumah saya tiba-tiba rame lagi. Saya kebetulan lagi malas-malasan di kamar, yang kalau lihat tisu dibakar Uya Kuya aja udah pulas kayaknya. Saya langsung bangun dan lari ke luar rumah. Kaget betul karena ada lima orang anak yang nggak saya kenal sudah berdiri di depan rumah. Mereka gendong si Gembeng.

            “Ini, mau ngembalikan kucing,” kata mereka.

            “Lho, kenapa?”

            “Masih nyusu ibuknya, nggak boleh dibawa pulang sama Ibuk. Kasihan nanti nyari ibunya. Nanti aja kalau sudah agak besar sedikit,” kata salah satu anak.

            “Oh, ya sudah.” kata ibu saya. “Biar disini saja dulu, ya. Nanti kalau mau lihat kesini.”

            “Iya.”

            Acara melepas kucing itu harusnya sampai situ aja. Tapi mereka malah main di teras rumah saya. Karena gak ada teman, saya ikutan main aja. Nggak main juga sih sebetulnya, tapi ngobrol-ngobrol sambil gendong dan elus-elus anak kucing.

            Sore itu rasanya menyenangkan sekali. Saya awalnya sakit, langsung semangat lagi. Sudah lama rasanya nggak ngobrol sama anak seusia mereka. Seingat saya terakhir kali beberapa tahun lalu, waktu ada acara ke desa bareng teman SMA. Kebetulan kami tinggal di keluarga yang punya anak SD.

            Mereka baik-baik, lucu, dan polos minta ampun. Sedih rasanya belakangan ini banyak berita menyakitkan tentang anak-anak yang harus menghadapi edannya dunia. Mereka tampak sangat menikmati masa kecil, yang nggak mereka sadari itu. Mereka ngobrol kesana-kemari, nanya-nanya saya, bercanda-bercanda. Saya mendengarkan cerita mereka tentang keusilan mereka dan teman-teman mereka waktu belajar ngaji, ujian bahasa Jawa di sekolah, dll.

            “Nama kakak siapa?”

            “Tanti.”

            “O, kak Tanti, ya.”

            “Namamu siapa?” Saya absen mereka satu-satu.

            “Rumahnya di mana, sih? Apanya warung gorengan?”

            Warung gorengan itu tempat saya biasa beli jajan.

            “Oiya, itu sebelahnya, ada jalan. Masuk terusss, ada jalan lagi. Masuk, depan pagar item. Ada rumah. Itu masuk lagi.” Sejujurnya saya nggak tahu jalan yang dimaksud.

            Mereka pun ngobrol hari ini pada masuk kelas ngaji atau nggak, lalu setelahnya beli jajan ke warung atau nggak.

            “Kamu mesti gapunya uang dan mintain aku!” kata salah satu anak, disambut tawa yang lain. “Tapi kalau aku minta jajanmu kamu nggak bolehin.”

            Anak yang dimaksud tertawa.

            Saya tiba-tiba teringat sesuatu. Kalau kami ketemu di warung gorengan gimana, ya? Lima anak masing-masing dua ribuan lah. Uang jajan saya lagi seret juga karena gak ada kuliah offline.

            GAWAT!!!!!

Galeri Kucing

Gembeng waktu masih bayi.

Gembeng waktu masih bayi. The look of a baby.

Kayaknya ini Bima Sakti deh.

Sudah pasti Gembeng karena lihat aja wajahnya udah mau nangis.

Bima Sakti.

*30DaysWritingChallenge: ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan saya akan menulis setiap hari sesuai tema yang telah ditentukan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...