Langsung ke konten utama

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya. 

            Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look? 

            Hai.

            Maaf ya telat setahun. Hahahaha.

         Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.

            Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!

            Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampar di sebuah pulau antah berantah. Hmm, ini pertanyaan yang gampang-gampang sulit. Gampang karena saya suka mengkhayal, sulit karena saya nggak pernah ngayalin ginian.

            Oke. Pertama-tama ceritanya saya dan teman-teman Pemadam Penasaran menemukan sebuah peta kuno di sekret Perspektif. Semua anak-anak Perspektif sudah mengingatkan kami kalau peta itu hanya lelucon saja, dibikin sama orang-orang Perspektif angkatan pertama yang lagi gabut nungguin jadwal wawancara. Tapi karena kami adalah orang-orang yang selalu penasaran, dan rasa penasaran tersebut tidak dapat dipadamkan kecuali dicari jawabnya, kami memutuskan untuk berangkat naik kapal mengarungi Laut Jawa.

            Di tengah-tengah perjalanan, saya dan teman-teman Pemadam Penasaran mulai bentrok. Gratio dan Zhiffa kekeuh kalau kami masih harus jalan terus mengikuti bintang utara. Sementara saya, merasa kalau kita salah jalan karena kami bertiga nggak ada yang becus baca peta. Jangankan peta, Google Map aja suka salah. Akhirnya karena intensitas bentrok semakin tinggi, Gratio dan Zhiffa memutuskan melempar saya dari kapal setelah kami musyawarah tiga hari tiga malam. Yah memang adik tingkat yang menyebalkan (nggak gais, aku sayang kalian :P).

            Ceritanya saya dilempar malam-malam waktu saya tidur. Ketika merasakan air laut menyentuh kulit saya, saya kaget dan terbangun. Sementara mereka terus melaju dengan kapal mereka. Karena panik, saya berenang dan terus berenang sampai terdampar di sebuah pulau antah berantah.

            Nah, baru sekarang kita cerita di sana gimana (wow lama banget masuk ke intinya kak).

            Pulau itu adalah pulau yang sangat indah. Pasirnya putih bersih, luas, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda binatang buas. Saat itu sudah pagi, matahari baru saja terbit. Saya yang baru pulih dari syok hanya terdiam saja sambil menunggu siang untuk berkeliling pulau.

        Siang tiba. Matahari yang terik memaksa saya memanjat pohon kelapa dan meminum airnya yang segar. Saya pun berkeliling pulau dan mulai memikirkan cara untuk membuat peradaban.

            Wadaw. Mustahil.

    Nggak. Saya berkeliling saja, lalu mulai mencari cara untuk mendapatkan makanan. Di pulau itu banyak tumbuh buah-buah kesukaan saya. Dimana-mana ada semangka. Hm, imajinasi yang absurd tapi menyenangkan.

        Saya lalu mencari kayu, membuat tombak, dan mulai mencari ikan. Setelah mendapat ikan, saya bakar ikan itu seperti bocah-bocah di acara Si Bolang. Oiya, kebetulan saya pakai scarf dan topi merah.

            Selesai makan, sambil kekenyangan, saya tidur-tiduran di atas pasir. Malam mulai menjelang. Bintang-bintang bermunculan, memenuhi langit. Saya menontoni pemandangan itu dengan hati yang hangat. Saya sudah nggak pernah lihat langit sebagus itu selama ini. Dari kejauhan, air laut berubah warna menjadi cahaya kebiruan yang berbinar-binar, seperti fenomena bioluminesensi di Mosquito Bay, Puerto Riko. Lalu, tiba-tiba, dari kejauhan, terlihat semburan air keluar dari punggung seekor paus.

Sumber: https://boricuaonline.com/en/mosquito-bay-bioluminescent-bay/


            Hm. Indahnya. Saya bahkan nggak keberatan untuk berakhir di pulau itu. What a beautiful day to die.

                Tiba-tiba saya melihat bintang jatuh. Lalu saya berdoa.

            Esoknya, doa saya menjadi kenyataan. Saya melihat kapal Gratio dan Zhiffa mendekati pulau. Dengan raut melas mereka memohon maaf, katanya mereka salah jalan.

           Saya hanya tersenyum sombong sembari berkata, “Kan.”

***


#30DaysWritingChallenge: ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan saya akan menulis sesuai tema yang telah ditentukan. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...