Dia adalah
pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka
aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali
dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai
mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.
Ia benci malam hari, tapi suka
sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak,"
katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka
ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi
kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada
konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah
keniscayaan."
"Teori Ramsey?"
sahutku cepat.
"Ya, ya, benar." Ia
mengangguk. "Aku pernah menonton videonya, dan tidak berhenti
memikirkannya setelah itu."
Ia suka sekali membaca, tapi
sering lupa. Seringkali saking lupanya ia seperti tak memiliki satu pengetahuan
pun tentang hal tersebut. Karena itu ia selalu terlihat antusias akan apa saja
yang baru.
Dia suka sekali mendengarkan
lagu-lagu Tom Waits, tapi benci saat aku menyanyikannya. Dia bilang suaraku
lembut, tapi justru kontras dengan keunikan Waits yang serak itu. Aku suka
menggodanya tentang itu, dan ketika ia mendengarku menyanyi lagu "Martha"
disampingnya, ia melemparku dengan sapu.
"Kau boleh nyanyi lagu itu
asal ketika aku tidak ada," wajahnya memerah menahan tawa. "Kau
merusak lagu itu untukku."
Terkadang, jika aku sedang
merokok sambil membaca koran dan mengamati gerak-geriknya membuat kopi, aku
teringat betapa uniknya kepribadian dia itu. Mungkin itu yang membuatnya terlihat
menarik, paradoksal, one of a kind. Tapi jangan pikir ia seperti manic pixie dream
girl. Dia sama sekali berbeda dari karakter-karakter MPDG dalam film romantis
yang seolah dipaksakan itu. Ia biasa saja, sederhana, tidak cantik (kata
ibuku), tidak eksentrik, tapi benar-benar mampu membuatku merasa bahagia. Kedengarannya
sangat basi tapi mungkin kami benar-benar diciptakan untuk satu sama lain.
Ia datang dalam hidupku di saat
semua terasa menyenangkan. Kau paham tidak? Summer bertemu Tom untuk
memberikannya gairah baru tentang hidup. Ruby Sparks apalagi. Aku pertama kali
menonton filmnya di TV waktu SMA dan tidak paham dengan alur ceritanya.
Belakangan baru kutahu kalau Ruby Sparks adalah karakter novel yang hidup dan
harus bertubrukan dengan visi idealis sang penulis. Wanita impian yang
dicita-citakan Calvin Weir-Fields. Konstruksi yang kini habis-habisan dikritik
banyak orang.
Berbeda dengannya. Ia hadir ketika
aku sedang berada di puncak dunia, tidak perlu diselamatkan siapapun. Kami
berkenalan, memutuskan untuk menyukai satu sama lain, dan kemudian menikah.
Begitu saja. Kisah cinta kami dijual jadi buku roman seharga seribu pun tak
bakal laku.
Kesederhanaan itu tetap kami
bawa sampai menikah, dan beli rumah sendiri. Ia membayangkan bahwa segala
kemewahan membuat hidup begitu gendut, dan suatu saat sulit untuk
meninggalkannya ketika tiba waktu penjemputan. Ia ingin hidup yang ramping. Dan
aku pun setuju.
“Jadi kau pikir kita ini seperti
anak TK yang dititipkan di sebuah daycare? Suatu ketika akan dijemput oleh
orang tua kita?”
“Ya, bisa jadi begitu. Atau
dunia ini TK-nya itu sendiri. Suatu saat masa-masa bermain itu akan berakhir.
Kita dijemput oleh orang tua kita, mengucapkan salam perpisahan. Tapi anak TK tidak
akan larut dalam kesedihan. Ia kembali bermain, tertawa, berlari-lari. Karena
ia tahu besok akan bertemu lagi. Makanya, hadapilah perpisahan dengan gagah
berani.”
“Jadi kalau suatu saat nanti kau
pergi, aku tidak boleh menangisi kepergianmu?”
“Nah, siapa bilang kalau menangis
itu bukan tindakan gagah berani?”tanyanya balik, menantang mataku.
Lagi-lagi aku setuju.
“Kau kutantang, saat ini juga,
menangis keras-keras bagai ditinggal orang yang paling kau sayang. Atau
ditinggal Ciki Ciki Bamba, selama-lamanya. Kau coba menangis keras-keras, tidak
peduli apa kata orang, saat ini juga di balkon rumah kita.”
Aku mengangguk. “Iya ya,
menangis itu bukan berarti kau pengecut.”
“Nah, semua orang punya cara
untuk berduka. Dan setiap mereka yang melakukannya adalah manusia-manusia paling
berani yang kutahu.” ia berkata ringan, lalu mengangkat Ciki Ciki Bamba dan
mengelusnya dengan sayang. Anjing golden retriever itu tampak mengantuk, beberapa
kali mengedipkan mata. “Kalau Ciki Ciki Bamba pergi, apa yang bakal kita
lakukan, ya?”tanyanya pelan lalu menyenandungkan nada pengantar tidur. Nada
yang sama, selalu ia gunakan untuk meninabobokan Ciki Ciki Bamba.
Di rumah berlantai dua itu kami
membangun kehidupan yang kami impikan. Ia seorang fotografer sekaligus pemain
harmonika yang andal. Harmonika itu hadiah dariku saat ulang tahunnya yang
ke-31. Ia bilang itu hadiah paling unik yang pernah diterimanya, walaupun
dengan jujur ia mengatakan bahwa ia tak pernah terpikir membutuhkan sebuah
harmonika. “Tapi aku suka belajar sesuatu yang baru. Jadi anggap saja hadiahmu
ini bukan berupa harmonika, tapi sebuah pelajaran.”celetuknya lalu tertawa
terbahak-bahak. Ketika ia bertanya apa alasanku memberinya harmonika, aku juga
tidak tahu-tahu amat. Aku cuma terpikir saat itu, ia sedang suka-sukanya dengan
Joni Mitchell, dan lagu Both Sides Now-nya adalah lagu favoritku. Aku pikir lagu
itu akan enak dimainkan dengan harmonika. Ia tertawa terbahak-bahak, lalu memukulku
dan mengangguk-angguk dengan heboh. Tandanya ia setuju.
Sejak saat itu, setiap kali
menonton sepakbola dan tim jagoanku kalah, ia akan memainkan harmonikanya
dengan nada yang menyebalkan. Begitulah caranya mengejekku, dan itu membuatnya
tertawa puas.
Kami punya sebuah sudut di ruang
keluarga tempat menyimpan peralatan-peralatan musik, sebab kami berdua dulunya
tergila-gila pada kehidupan band. Cita-citanya dulu adalah menjadi rockstar.
Kalau kubayangkan sekarang, mungkin ia bisa menjadi sosok yang sangat
karismatik. Atau mungkin juga tidak. Ia tipe yang pendiam, menyimpan segalanya
sendiri, tapi bisa sangat canggung dan ceroboh saat berbincang dengan orang
lain. Yang jelas orang-orang akan segan kepadanya. Sebab dalam diamnya ia tidak
terlihat kosong. Meski bibirnya terkatup, kau bisa lihat matanya penuh dengan
ide, berkilat-kilat dan berbinar setiap kali membahas hal kesukaannya.
Cita-citaku sendiri adalah wartawan
sepakbola. Tapi kuurungkan sebab sebenarnya yang ingin kulakukan adalah menjadi
bajak laut. Ya, seperti dalam komik One Piece-lah. Sepakbola adalah hal kedua
yang kucintai. Namun pekerjaanku justru hal kesepuluh yang kucintai, yakni bekerja
kantoran. Bagaimana bisa aku bekerja jadi pegawai kantoran adalah cerita
panjang yang tak ingin kuceritakan padamu.
Di sudut itulah kami suka
menyanyi dan membayangkan diri sebagai duo terkenal yang juga adalah suami
istri. Seperti Everything But The Girl, yang kebetulan juga adalah idola kami.
Terkadang saking bersemangatnya saat ‘konser’ kami suka memanggil satu sama
lain dengan sebutan Tracey dan Ben, alias anggota duo itu.
Namun, di antara semua
kesukaannya, Tom Waits dan lagu Martha masih tetap menduduki peringkat pertama
di daftarnya, dan aku masih tetap tidak boleh menyanyikannya saat ada dia.
***
Sesaat setelah matahari suntuk
langit membiru, lama lama hitam hingga gelap. Suara manusia berganti suara
jangkrik, kecuali riuh rendah kendaraan yang melintas jauh di jalan raya sana.
Sebelum matahari datang kembali, aku masih berdiam diri di balkon. Menyaksikan
seluruh kemegahan langit setelah mendengarkan khotbah Chris Anderson bahwa jumlah
semesta di dunia ini adalah di suatu tempat antara nol dan tak terhingga. Aku mengira-ngira
jumlahnya, berusaha menemukan jawaban yang mungkin saking ngawurnya akan
membuatku ditimpuki para ilmuwan dan membuat marah Hawking di alam kubur. Tapi
aku tak berhenti. Berapa lama yang dibutuhkan untuk menjejaki seluruh semesta
itu? Aku kembali mengira-ngira. Sebab diam saja pun membuatku semakin gelisah.
Meski balkon ini adalah titik nol. Aku tetap ingin terbang.
Sebelum memutuskan tidur, aku
berjalan ke ruang keluarga. Mengambil gitar, alat musik kesukaan kita berdua,
walau cukup memicu kejengkelan ayahmu gara-gara aku nekat menyanyikan Three
Little Birds di nikahan kakakmu. Hampir saja membuat ayahmu mengira aku mabuk.
Tapi mau bagaimana lagi? Marley mengajarkan kita untuk menyanyi sambil
tersenyum gembira.
“Those were days of roses, poetry,
and prose. And Martha, all I had was you and all you had was me.”
Plug! Sapu terjatuh. Aku
berhenti memainkan gitar. Tersenyum dan berpikir, “kau masih saja benci
mendengarku menyanyikan lagu itu.”
Komentar
Posting Komentar