Langsung ke konten utama

Give Thanks*

#30DaysWritingChallenge #Day1 

Terinspirasi dari Kevin Anggara, berikut merupakan 30 Days Writing Challenge versi saya!

*Challenge pertama disuruh bikin list tentang “three things you are grateful for and why”. Pertama kali saya tahu kata “grateful” dari lagu gospel berjudul “Give Thanks”. So be it.

***

            Kalau disuruh membuat daftar tiga hal yang saya syukuri, sebenarnya ada banyak sekali. Saya bingung kalau cuma disuruh pilih tiga, pakai indikator apa ya? Kedengaran ribet banget, kayak lagi mubes aja. Saya pilih tiga yang lagi berseliweran di kepala saja, ya. Sisanya biarlah menjadi konten On The Spot: 7 Misteri Kedalaman Hati Tanti. BWAHAHAHAHA. OKE. Kalau kata Bang Fabrizio Romano, HERE WE GO!

1.      Tulisan

            Oke, dimulai dari tulisan dan segala bentuk adaptasinya seperti film, lagu, dan lain-lain. Orang yang bilang buku itu jendela dunia, pasti nggak bilang begitu dalam keadaan mabuk. Dia pasti ngomong begitu dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya orang sadar. Soalnya, kata-katanya itu benar banget, dan hal itu yang membuat saya bersyukur bahwa tulisan diciptakan dan dikumpulkan ke dalam tempat ajaib bernama Perpustakaan. Maka, terima kasih juga kepada pendiri perpustakaan tertua di dunia, Perpustakaan Asyurbanipal, yang mungkin menjadi perpustakaan pertama di dunia.

            Rasa bersyukur itu paling terasa waktu masuk kelas Bahasa di SMA. Suatu keputusan yang nggak akan pernah saya sesali seumur hidup. Sejak masuk Bahasa, rasanya kayak menemukan jati diri. Semacam perasaan ditampar kenyataan dalam skala yang paling halus tapi bisa membuat kita benar-benar sadar. Ibarat membuka mata di tengah-tentang keramaian Shibuya (belum pernah ke sana, sih). Tubuh ini tiba-tiba bergetar dan otak mengirim pesan: Hei, kau ada! Kau hadir! Kau hidup! Kau berdiri! Kau menjejak bumi! Persetan dengan apa yang terjadi sebelum kau lahir dan sesudah kau mati! Kau hidup saat ini, dan detik ini adalah yang terpenting! Akhirnya kau bangun juga! Sejak saat itu, rasanya lidah ini benar-benar bisa mencecap nikmatnya Tempura Garuda dan Teh Poci rasa lemon yang cuma tiga ribuan itu. Aneh banget kan cuy, rasa cinta pada tulis menulis di kelas bahasa bisa membuat saya merasa kayak gitu?

            Kadang-kadang, saat berbaring di kasur sambil melamun, saya teringat kata-kata yang saya tulis di tembok kamar Bapak ketika masih kecil: Rumah Rita gak karu-karunau. Maksudnya sih ingin menulis “Rumah Rita gak karu-karuan”, tapi maklumlah masih anak kecil. Saya nggak tahu Rita itu siapa, kayaknya imajinasi saya saja. Saya ingat menggambar sebuah coretan-coretan abstrak di sebelahnya yang saya anggap sebagai rumahnya si Rita.            

            Saya yakin itu bukan kata pertama yang saya tulis. Namun, agaknya kalimat itu adalah cerita pertama yang saya tulis, suatu perwujudan dan pengejawantahan imajinasi yang diabadikan melalui tulisan. Bahwa ada anak yang namanya Rita, punya rumah yang nggak karu-karuan berantakannya. Siapa sangka dari satu kalimat tersebut beranak-pinak jadi banyak, jadi jutaan huruf yang tersebar mulai dari tugas SD, paper kuliah, cerpen-cerpen saya yang sudah selesai maupun belum, puisi-puisi alay, puisi-puisi (yang menurut saya sih) nggak alay, dan naskah-naskah lain yang sudah dan belum lahir. Merinding nggak sih, membayangkan dua puluh enam abjad bisa melakukan sebegitu banyak?

            Saya suka menulis dan membaca, makanya bersyukur sekali di dunia ini ada tulisan. Saya juga bersyukur kalau tulisan itu kemudian bisa hadir dalam bentuk lain, seperti film, lagu, drama, apapun itu. Gara-gara tulisan, saya bisa tenggelam dalam dunia lain, kayak legendarium Tolkien dimana saya membayangkan diri sebagai seorang elf keren yang pintar berkelahi. Ketika buku The Hobbit difilmkan dan adegan-adegannya bisa menangkap tulisan di buku dengan sempurna, gara-gara itu juga saya bisa menangis lama sekali sampai credits selesai dan menghasilkan gambar tokoh kesukaan saya ini:

            Niat hati ingin menggambar Gandalf, malah jadi kayak lukisan makhluk astralnya Ust. Sholeh Pati.

2.      Sepak Bola

           

Waktu main futsal untuk Class Meet. Lebih mirip girlband kurang gizi.

Kesukaan saya pada sepak bola itu sebenarnya sejak SD. Waktu itu, karena keseringan begadang, saya suka nonton sepak bola bersama Bapak. Saya nggak ngerti tata permainannya gimana, pokoknya kalau gol berarti menang, dan pemain nggak boleh pakai tangan. Karena, kalau pakai tangan, itu bola tangan namanya. Jokes saya sudah sangat kebapakan, kan?

            Saat itu juga, Bapak saya suka berkomentar tentang bola. Bapak suka marah-marah kalau timnya kalah, ketawa kalau timnya menang. Tapi, yang paling saya ingat adalah ketika bapak bilang, “Kalau reinkarnasi itu ada, Bapak pengen jadi Lionel Messi.”

            Uwah… Itulah kali pertama saya tahu pesepakbola Lionel Messi. Sejak saat itu saya menasbihkan Messi sebagai idola saya. Nama kedua yang saya tahu adalah pelatih Arsenal, sang legenda Arsene Wenger.

            Saya ikut hype Piala Dunia dan Piala Eropa juga. Timnas Italia selalu jadi tim favorit saya. Nggak tahu asalnya bagaimana. Bapak pernah menuduh saya suka timnas Italia karena pemainnya terkenal ganteng-ganteng. Saya marah dong, tapi kemudian saya berpikir, “Iya juga sih.” Hahaha.

            Gara-gara nonton sepakbola saya suka sekali jam olahraga waktu SD. Biasanya masih ada sisa waktu yang banyak karena dulu jam olahraga sekitar empat jam pelajaran. Saya dan teman-teman main bola di lapangan rumput sekolah yang banyak lumpurnya. Seru banget karena kami bisa sekaligus prusutan macam selebrasi pemain bola beneran. Saya nggak tahu dulu berperan jadi apa, pokoknya ikut main saja. Namanya juga anak SD, cuy. Satu-satunya yang saya ingat adalah saya pernah sekali jadi bek sendirian dan dikejar seluruh anggota tim lain karena bola mengarah ke saya. Itu seru sih. Saya lari kencang-kencang bukan karena mengejar bola tapi menghindari amukan massa. Hahaha.

            Ketika masuk SMP, saya sudah punya klub favorit, FC Barcelona. Saya sudah mulai mengerti dikit-dikit permainannya. Saya ingat pernah mengirim pesan Facebook ke Messi, bilang kalau saya mengidolakan dia. Saya ulang-ulang iklan Messi dengan Indosat Ooredoo di laptop.

            Ketika SMA, saya punya beberapa kawan sesama penggemar Barca. Saya ingat saya sedih waktu Neymar pindah dari Barca, tahun 2017, sendirian di hotel di Jakarta.

            Ketika kuliah, saya jarang mengikuti perkembangan sepak bola. Kadang-kadang saja kalau sempat. Barulah ketika Piala Eropa tahun 2021 segalanya kembali seperti sedia kala.

            Segalanya terasa berat saat itu. Selain tekanan pandemi, saya sempat berada di titik dimana saya nggak tahu lagi apa yang saya suka. Saya nggak tahu mau ngapain. Yang paling bangsat adalah saya merasa kehilangan kemampuan merasa. Saya nggak merasakan apa-apa.

            Sepak bola tiba-tiba saja jadi pelarian paling menakjubkan yang saya alami saat itu, saya benar-benar merasa bahagia. Saya menangis terharu waktu Italia menang. Saya marah, frustasi, deg-degan, senang, uwah emosional banget pokoknya. Hari demi hari saya lewati dengan mengisi stiker Panini lewat aplikasi hape. Oiya, saat itu juga lah saya jatuh hati dengan Frenkie de Jong. Tidur rasanya nggak nyenyak kalau belum stalking Instagramnya. HAHAHAHAHAH. Sekarang udah biasa aja kok.

            Sekarang, saya masih sering menjadikan sepak bola sebagai pelarian yang menggembirakan. Saya nggak pernah absen nonton pertandingan Barca meski kalah mulu akhir-akhir ini. Semoga keadaan membaik, ya.

            Sepak bola menurut saya juga sesuatu yang sangat menarik untuk dipelajari. Mulai dari taktik, strategi, sejarah, seni, budaya, sampai dari segi bisnis perusahaan, lengkap. Sepak bola itu juga sangat ke-HI-an, lho. Beberapa fenomenanya sangat dipengaruhi oleh politik global. Wkwkw.

            Kadang saya pengin banget bisa mengulang masa-masa bermain sepak bola waktu SD. Tapi saya tahu saya nggak bisa. Saya nggak jago main bola, mungkin cuma bisa asal-asalan kayak dulu, tapi saya selalu suka perasaan nonton bola. Kapan ya kerandoman dunia bisa membawa saya ke Camp Nou? Minta amin-nya dong, saudara-saudara.

3.      Bakso

Rutin makan bakso setiap hari pukul 3 sore. 
  

Saya bersyukur banget ada bakso di dunia ini! Sudahlah murah, enak, nggak membosankan, dan kenyang lagi!

            Kawan bakso saya ada Alin, Awal, dan Liva, tiga orang yang sering makan bakso bersama saya. Mbaktin juga, tapi dia lebih ke tim Mie Ayam. Kalau kebanyakan anak muda pergi ke café, kami lebih sering nongkrong di warung bakso. Saking cintanya pada bakso, kemarin waktu lewat SMA 5 saya mampir ke bakso langganan dan bapaknya masih ingat sama saya. Padahal, kalau dipikir-pikir, sudah hampir empat tahun yang lalu, lho.

            Saya dan Alin punya Instagram khusus bakso, namanya @jurnalbakso. Masih belum jalan karena pandemi dan karena kami sering nggak punya uang.

            Aktivitas makan bakso selalu lebih dari sekadar makan. Saya, Alin, Liva, dan Awal sering berfilsafat ketika makan bakso. WKWKWKKW. Benar lho. Alin sampai punya istilah “Filsafat Semangkuk Bakso”.

            Saya punya cita-cita menjelajahi warung-warung bakso di seluruh dunia. Ini semua bermula ketika waktu kecil dulu saya dan kakak membaca sebuah koran yang memuat cerita seseorang melakukan perjalanan dari Malang ke Surabaya hanya sekadar mencicip bakso. Bayangkan, orang itu berhenti setiap kali ada warung bakso sepanjang jalan Malang-Surabaya. Betapa tak terbayangkan dedikasi semacam itu. Saya menaruh hormat terhadap orang tersebut.


*30DaysWritingChallenge : Ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan, saya akan menulis setiap hari sesuai dengan tema yang telah ditentukan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...