Langsung ke konten utama

We Rule The School*

*) Judul diambil dari lagunya Belle and Sebastian, salah satu favorit saya sepanjang masa.

            Tema hari keduabelas: Write about the three most important people you’ve ever met.

            Pertanyaan ini bikin saya mikir kalau diri kita ini bukan sesuatu yang ujuk-ujuk muncul sebegini adanya. Kita selalu dibentuk oleh orang lain, pengalaman, lingkungan. Maka dari itu, sampai hari ini, kita masih terus belajar untuk mengenali diri kita, yang mungkin berbeda sama diri kita lima tahun yang lalu, atau lima tahun yang akan datang.

            Nah, diantara serangkaian pengalaman itulah, kita bertemu ratusan, bahkan ribuan orang-orang yang berbeda setiap harinya. Beberapa dari mereka nggak cuma lewat begitu saja. Ada yang tinggal lama dalam hidup kita, membentuk kita lebih dari yang kita sadari. Kata tinggal disini bukan hanya berwujud fisik, tapi juga ide, inspirasi, maupun pelajaran yang mereka berikan untuk kita. Bisa dibilang, mereka adalah orang-orang yang penting yang membentuk kita jadi kita yang kita kenal hari ini. Buset, ribet amat kalimatnya.

            Orang-orang ini jumlahnya bisa jadi sedikit, bisa jadi banyak, bisa jadi kurang atau lebih dari tiga. Saya punya tiga nama yang muncul setelah saya pikir lama. Berikut adalah ketiga orang itu, orang-orang yang saya temui pada satu masa dalam hidup saya, yang dampaknya masih terasa sampai hari ini. Bitiwai, ketiganya tidak saya ambil dari keluarga sendiri biar seru.

1.      Pak D, Guru Antropologi SMA

            Di sini, saya bilang bahwa ketika umur 15 tahun, saya mulai melihat kehidupan dengan cara yang berbeda. Salah satu penyebabnya barangkali adalah pelajaran-pelajaran yang saya dapat dari Pak D waktu SMA. Ceramahnya yang selalu membuat kepala saya berkecamuk, seiring dengan terbukanya lembar-lembar pengetahuan yang saya nggak tahu sebelumnya.

            Pak D guru Antropologi saya di SMA. Kelasnya adalah salah satu yang paling saya tunggu. Biasanya sih mapel Antro dapat jam yang paling akhir. Saya nggak peduli bel sekolah sudah berbunyi, saya ingin terus mendengarkan beliau. Kalau harus pulang sampai maghrib, nggak papa! Saya ikhlaz.

            Seingat saya, kelas paling lama bareng Pak D itu sampai jam 5 lebih 15 menit. Kami sudah terlambat 15 menit saat itu. Tapi, siapa peduli? Saya merasa benar-benar belajar dari kata-katanya.

            Pak D juga adalah guru yang unik. Selain ceramahnya yang bisa meluas hingga sekat-sekat yang selama ini membatasi otak saya, kupikir beliau juga bukan orang yang berorientasi sepenuhnya pada nilai. Ulangan harian Antropologi itu seringkali mengejutkan. Dari sekian soal yang ada, beberapa kali Pak D menyelipkan soal demikian: Apa yang sudah kalian pelajari tentang topik ini?

            Saya semangat banget jawab soal begituan. Bukan karena jadi ajang pamer apa yang sudah diketahui. Nggak. Saya malah kadang nggak begitu paham. Tapi saya suka ditanyai begitu, karena dengan demikian beliau percaya saya sudah belajar. Beliau menghargai prosesnya. Nggak peduli jawabanmu apa, tapi kamu sudah berusaha mempelajari apa? Jadi, saya tuliskan jawaban saya yang kadang lebih mirip seperti curhat.

            Saya pernah sekali dipuji Pak D waktu tugas presentasi. Pujian begitu, keluar dari mulut beliau, rasanya bikin saya senang banget. Pak D percaya pada kami sekelas. Beliau membesarkan hati kami, menganggap kami penting, punya kesempatan yang sama besar dengan yang lain. Kalau diingat lagi, itu adalah pelajaran pertama saya untuk menjadi percaya diri. Sesuatu yang sulit dilakukan, padahal harusnya nggak sulit. Pokoknya, untuk semua pelajaran yang telah Pak D berikan, membuat beliau jadi salah satu orang terpenting yang pernah saya temui.

           

2.      Frau R, guru Bahasa Jerman SMA

            Frau R itu orangnya baik sekali, gaul, dan salah satu yang terpenting: beliau percaya sama muridnya.

            Ketika saya dapat kabar bahwa saya berhasil jadi penerima beasiswa tambahan ke Jerman, Frau R cerita ke saya. Beliau bilang, waktu hari pengumuman beasiswa sebelumnya, ketika dua orang sudah diumumkan dan saya tidak dipanggil, beliau berbincang dengan salah satu guru lainnya. Beliau bilang kira-kira begini, “sebenarnya ada tiga di sini yang layak berangkat. Sayang, jatah penerima beasiswanya hanya dua.”

            Saat itu, secara kebetulan, sekitar sebulan setelah hari pengumuman, kami mendapat informasi bahwa pihak penyedia beasiswa memberikan tambahan kuota karena mekanisme tes ditingkatkan kesulitannya. Dan, karena nilai saya tertinggi ketiga di sekolah, saya keluar sebagai salah satu penerima tambahan. Sampai hari ini saya bersyukur atas kesempatan yang diberikan Tuhan tersebut.

            Saya nggak pernah cerita ini sebelumnya ke orang lain. Jujur saja, waktu Frau cerita hal itu ke saya, saya menangis sejadi-jadinya. Sejak kecil, pergi ke luar negeri adalah salah satu impian yang terasa jauh sekali. Saya nggak berani memimpikannya kalau belum dewasa dan kerja sendiri. Saat Frau cerita tentang itu, saya langsung berpikir. Saya belum genap 17 tahun, dan sebentar lagi saya menapakkan kaki di negeri orang. Sesuatu yang nggak berani saya impikan dan tiba-tiba saja sejangkauan tangan.

            Saya menangis karena saya pikir selama ini saya nggak layak. Saya menangis karena saat itu saya sudah nggak berani berharap apa-apa lagi ketika tahu saya gagal. Saya menangis karena saya pikir saya cuma orang bodoh yang beruntung. Saya menangis karena ternyata, ada seorang guru yang percaya sama saya saat saya sudah nggak percaya lagi sama diri saya sendiri. Frau R-lah orangnya.

            Jadi, ketika hari besoknya saya berangkat, saya chat Frau R sore-sore, di kamar hotel saat sedang sendirian. Saya bilang, “Frau, besok saya berangkat. Vielen Dank für alles.” Beliau jawab, “Nichts zum Danken.” Ya, beliau bilang, “nothing to thank for”. Saya pengen bilang sebetulnya: Frau, saya nggak hanya berterima kasih untuk ini. Saya mau terima kasih buat semua pelajaran dan kepercayaan yang besar artinya buat saya. Aduh, jadi mau nangis lagi T_T. Pokoknya, makasih banyak ya Frau. Semoga Frau sekeluarga sehat-sehat dan bahagia selalu.


3.      Bu T, guru Sastra Indonesia SMA

            Kalau ada yang nanya ke saya siapa guru paling kreatif di dunia saya bakal jawab dengan yakin dan tanpa bimbang dangdut: Bu T, guru Sastra Indonesia di SMA saya. Bu T adalah salah satu orang yang bikin saya jatuh cinta sama sastra Indonesia. Bahkan nggak hanya pelajaran kreatif seperti membuat puisi atau cerpen, mengulik dan menganalisisnya pun juga jadi seru sama Bu T.

            Bu T sering bikin kuis di kelas, tapi kuisnya super seru karena jadi macam tebak-tebakan. Misalnya waktu kuis kata baku. Bu T bakal kasih kita daftar pilihan dan kita harus memilih mana kata baku yang benar dengan waktu singkat. Kayak game-game TikTok yang lagi rame sekarang itu, lho!

            Bu T itu, di mata saya dulu, ahli bahasa banget, deh. Apa-apa tahu jawabannya. Keren banget sih menurut saya. Ilmu Bahasa kan bukan sesuatu yang pasti, jadi berbagai rasionalisasi harus meyakinkan. Bu T punya wawasan yang luas soal kebahasaan.

            Yang paling saya suka dari Bu T itu adalah beliau tidak pernah mengandalkan textbook saja. Pengetahuan itu lebih luas dari buku paket, kesan itulah yang saya dapat dari beliau. Makanya, kami diminta mengulik berbagai buku, karya, dan lain-lain.

            Dari Bu T saya belajar kalau mengajar itu nggak semata-mata guru ngomong dan murid mendengarkan. Bu T benar-benar memancing kami semua untuk berpikir, merasa, memahami. Sekolah terasa menyenangkan betul dengan adanya pelajaran Sastra Indonesia.

            Sekarang sudah hampir empat tahun sejak saya lulus SMA. Sejak hari pertama masuk sampai kelulusan, saya selalu bersyukur sudah dipertemukan dengan mereka.


#30DaysWritingChallenge: ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan saya akan menulis setiap hari sesuai tema yang telah ditentukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...