Langsung ke konten utama

Liebe Deutschland: Alberta Meinstein Datang ke Tanah Kelahiran Para Filsuf dan Ilmuwan! (Part 2)



Dan karena hidup ini indah, aku menangis sepuas-puasnya.
-         Sapardi Djoko Damono

          Setelah muter-muter bandara dan akhirnya ketemu Pak Didi, beliau membawa kami menuju Menteng, tempat kami akan tinggal. Kami tinggal di Hotel Sofyan Betawi, yang jaraknya cukup dekat dengan Goethe-Institut Jakarta. Di hotel, aku sekamar dengan Rianti dari Ambon, yang akan menjadi teman dekatku selama nanti di Jerman!
          Keesokan harinya, aku dan teman-teman berkumpul di Goethe-Institut. Hari itu kali pertama kami berkenalan semuanya. Ada Mola, Abda, Olivia, Rianti, Gaby, Gaby yang satu lagi, Kanaya, Hizkia, Hengky, Audrey, Fatimah, Jofel, Rachel dan Farrel. Kami juga bertemu Frau Ekadewi yang sangat ramah dan bersahabat. Selepas berkenalan dengan teman-teman dan ‘berkenalan’ dengan Jerman, kami mulai mengerjakan tes penempatan kelas untuk kursus bahasa di Jerman sana. Jujur aja, soalnya cukup sulit. Padahal, semalam sebelumnya aku begadang buat belajar dan cukup kepikiran wkwk. Awalnya aku skeptis dan agak takut kalau harus ditempatkan di kelas A2 lagi, tapi ya mau gimana lagi. Tunggu aja kabar berikutnya, begitu pikirku.
          Selanjutnya mulailah kami mengurus visa! Rasanya pertama kali masuk ke gedung Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia itu……… ah, sulit dijelaskan! Pagarnya tinggi, dan masuk kesana cukup ketat. Agak deg-degan juga awalnya, tapi sangat menyenangkan! Rasanya ‘keren’. Wwkwkwkw…
          Sepulang dari membuat visa, kami berpisah dan kembali lagi ke hotel. Entah mengapa, tapi malam terakhir di Jakarta sangat berkesan buatku. Aku sudah nggak mikirin tes lagi, dan rasanya legaaa… Aku nonton TV sampai larut malam, bikin kopi dua cangkir (resep terbaik: satu kopi, dua gula, satu krimmer), dan tidur dengan perasaan bahagia :D
          Jam lima pagi, Rianti sudah harus berangkat ke bandara. Aku sendirian di kamar karena pesawatku agak siang. Dalam hati ada sedikit rasa takut walau gak sabar: sampai ketemu satu bulan lagi!

Edisi kali ini cukup singkat. Soalnya aku gatau harus cerita apa lagi wkwk. Kasih bonus puisi aja, deh. Hihihi…


Bersambung…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...