“Lewat
sastra aku belajar mengenal-Nya.”
Ada sebuah cerita pendek berjudul “The
Egg” karya Andy Weir yang saya baca saat sedang menunggu kelas di suatu siang
yang mendung tahun lalu. Sebuah cerita yang berkali-kali memukul hati saya. Bukan
karena sedih, melainkan karena kagum dan terkejut akan interpretasi sang penulis
terhadap rahasia alam semesta dan keilahian. Sebuah imajinasi yang luar biasa.
Ditarik lebih jauh lagi, tepat hari
Senin, tanggal 18 Januari 2016, amanat Pembina upacara di sekolah saya membuat
saya mampu bertahan berdiri tanpa mengeluh. Itu adalah amanat terbaik sepanjang
masa. Kalau biasanya amanat diisi dengan nasihat-nasihat basi yang sudah
diulang ribuan kali macam menjaga lingkungan dan meningkatkan pretasi sekolah,
amanat pembicara hari itu, yang disampaikan seorang guru, membuat saya tertarik
untuk mendengarkan alih-alih mengusili teman di depan saya. Amanat itu singkat
dan padat, diiringi guyon, tapi saya suka mendengarkannya karena jauh lebih
berbobot. Saya lupa detil ceritanya, yang jelas ada satu kutipan yang saya
suka, di pembuka narasinya: kita adalah ikan.
Setahun kemudian, saya sudah lupa
isi dari amanat itu. Guru Antropologi saya menghadirkan kisah yang sama di
kelas. Saya selalu suka mendengarkan beliau. Beliau punya segudang cerita
menarik dengan pengetahuan yang luas, ditambah cara mengajar yang menyenangkan.
Saya terpana kedua kalinya ketika beliau menceritakan kisah yang mengingatkan
saya pada amanat itu. Kata guru Antropologi saya, yang beliau ceritakan ulang
dari sang Pembina upacara dalam kesempatan yang berbeda, kita semua seperti
ikan kecil di laut. Kita selalu bertanya-tanya, dimana laut? Kita mencari dan
mencari. Sama seperti manusia. Kita bertanya-tanya dimana Ia dan mengapa kita
tak bisa melihat-Nya. Padahal, Tuhan ibarat laut itu sendiri. Kita tidak bisa
melihat-Nya bukan karena Ia tak ada namun karena kita tak sanggup melihat Ia
secara utuh. Beliau menambahkan, bahwasanya alam semesta ini, dengan segala
keajaiban didalamnya, hanyalah sebagian kecil dari wujud keberadaan Tuhan.
Saya kira ini menarik sekali. Bukan
pendapat yang dapat mematahkan semua premis ateisme, tentu saja. Namun cukup menjadi
titik awal untuk mengenal-Nya lebih dalam lagi, dengan sebuah analogi sederhana
yang saya kira cukup masuk akal.
Beberapa bulan yang lalu saya sempat
menulis mengenai iman, dengan argumentasi bahwa iman merupakan ruang yang sangat
mungkin dipertanyakan. Ia tidak terbatas pada dinamika interpretasi dan
imajinasi, logika dan ilham, dan lain sebagainya. Karena itu, saya kira ada
banyak sekali cara untuk mengenal-Nya, dalam rupa-rupa pengalaman, bacaan,
diskusi, bahkan amanat Pembina upacara. “Semua Ikan di Langit” mengingatkan
saya akan pengalaman-pengalaman diatas. Lagi-lagi ini merupakan cara baru untuk
memaknai spiritualitas.
Novel “Semua Ikan di Langit” karya
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (saya suka sekali nama uniknya!) ini membuka
ruang interpretasi dan imajinasi yang lebih dalam dan luas lagi bagi saya untuk
menyelami dongeng kompleks mengenai spiritualitas. Ziggy nggak mengakuinya sih,
ia bilang bahwa buku ini adalah curhatan pribadinya alih-alih hasil tulisan
kontemplatif.1 Itu yang bikin saya semakin heran. Sekaligus kaget.
Curhatan pribadi bisa sekeren ini, ya. Hahaha. Tapi, saya setuju dengan
pendapat Dewan Kesenian Jakarta, sih. Novel ini penuh dengan campuran antara
fiksi ilmiah, fantasi, dongeng, cerita anak, serta mitos.2 Tipikal
novel Little Prince-nya Antoine de-Saint Exupery yang bukan sekadar dongeng
anak biasa.
Secara singkat, novel ini bercerita
tentang sebuah bus Damri dalam kota yang trayeknya berubah, dari yang
sebelumnya hanya melewati Dipatiukur-Leuwipanjang, kini mengelilingi angkasa
dan melintasi ruang dan waktu, setelah bertemu tokoh bernama Beliau yang
dikelilingi ikan-ikan julung-julung. Petualangan mereka yang seru bersinggungan
dengan banyak kisah-kisah menarik yang berasal dari berbagai dimensi ruang dan
waktu yang berbeda.
Buat
saya pribadi, ini novel unik sekali. Ada begitu banyak kisah-kisah di dalamnya
yang ringan untuk diikuti, tapi sangat berkesan dan menawarkan perspektif baru
dalam melihat sesuatu. Misalnya saja tokoh Beliau. Sesuai dengan interpretasi
saya pribadi sebagai pembaca, tokoh ini mengarah ke sosok Tuhan. Tuhan yang biasanya
digambarkan secara kuat, perkasa, dan maskulin, diperlihatkan dalam perspektif
lain, yakni serupa anak kecil laki-laki yang ‘diam, tak bernapas tapi hidup,
dengan tungkai kaki kurus dan mata yang bundar’. Kisah perjalanan bus Damri
(iya, tokoh utamanya adalah sebuah bus!) juga sangat kompleks, walau ringan. Melintasi
ruang dan waktu, kita dibawa ke berbagai kisah-kisah yang berwarna, mengharukan,
membahagiakan, menyedihkan, hingga campur aduk dari semua perasaan itu.
Tokoh kesukaan saya adalah Bus Damri.
Ia mengajarkan saya jenis cinta yang paling tinggi dari semua: cinta yang
berserah, yang percaya, yang mengagumi, yang memaklumi keterbatasan, yang mendengarkan,
yang rela berkorban, yang lugu dan sederhana, yang tidak menuntut, yang mencintai
segala hal yang Beliau cintai. Saya suka tokoh Bus Damri karena ia mengingatkan
saya pada ketidaktahuan saya akan banyak hal. Tokoh kesukaan saya yang lain adalah
tukang sepatu yang cerewet dan kritis, tapi baik hati.
Saya tipikal yang lambat dalam
membaca, tapi novel ini adalah salah satu yang tercepat yang saya baca (selain
buku-buku Raditya Dika yang bisa seharian saja—karena adiktif, hahaha). Dari
total tiga hari saya membaca novel ini, dua kali saya habiskan malam-malam
menangis banyak-banyak. Menangis untuk apa, saya tidak tahu. Tapi perasaan saya
penuh. Dan karena saya mampu menangis, ya saya menangis. Saya menangis untuk
bus Damri yang tak bisa menangis karena ia sebuah bus. Kebanyakan juga karena perasaan
saya sesak oleh keharuan dan sakit karena tertampar, hahaha. Tapi yang jelas, hari
pertama dan kedua saya membaca diiringi doa-doa subuh jam setengah 4 pagi. Kata
teman saya, Alin, namanya tahrim. Saya selalu menyukai saat-saat itu. Rasanya sangat
menenangkan dan menggetarkan hati. Saya selalu merasa bahwa saat-saat itu rasanya
alam semesta buesar dan muegah sekali, sedang diam mendengarkan puji-pujian
kepada-Nya. Dan saya seperti makhluk kecil yang masih terbangun sendirian dalam
kesunyian dan kegelapan langit.
Membaca “Semua Ikan di Langit” di
saat seperti itu benar-benar saat yang keren. Rasanya tenang dan mengharukan.
Sensasi yang takkan terlupakan.
Dari buku ini juga saya belajar
untuk tidak menjadi sombong dan sok tahu. Untuk lebih menerima cara pandang
orang lain dalam mempercayai sesuatu. Tidak lagi memaksakan apa yang menurut saya
saya ketahui dan saya percayai. Toh, ada banyak cara dan banyak nama untuk memanggil
‘Beliau’. Dan ‘Beliau’ sendiri tak pernah mempermasalahkan hal itu selama kita
terus menerus mengingat dan menyebut nama-Nya.
Kalau diingat-ingat dulu saya cukup serius akan hal ini. Bisa dibilang saya agak tertutup dalam menerima sudut pandang baru. Sangat yakin pada diri sendiri kalau saya yang paling benar. Saya juga bukan orang religius yang tahu banyak. Banyak yang saya nggak ngerti, belum dengar, belum paham, belum baca. Tapi saat ini saya sudah merasa lebih legowo, sih. Menerima keterbatasan kalau kita nggak selamanya mesti jadi yang paling benar dan paling tahu. Toh Ia tidak memaksa kita untuk mengenal-Nya secara utuh bulat-bulat karena kita takkan kuat. Yang Ia inginkan hanya kita untuk tak pernah berhenti belajar mengenal-Nya sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, sesuai cara kita sendiri.
Akhir kata, saya nggak ingin terlalu
banyak-banyak membocorkan isinya, nanti nggak seru buat yang baru baca. Pokoknya
novel ini keren dan berkesan, buat saya pribadi tentunya. Saya penasaran dengan
pendapat Anda juga. Kalau sudah baca, boleh tolong komentar dibawah, ya. Saya
menerima semua jenis komentar kecuali komentar iklan.
Referensi:
1 Yuniar, Nanien. 21 Maret 2017. "Bincang-bincang bersama Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie". Antara News. https://www.antaranews.com/berita/619352/bincang-bincang-bersama-ziggy-zezsyazeoviennazabrizkie-1
2 Ibid
And here goes some quotes I took from the book (ada banyak sebenarnya yang favorit, tapi ini yang paling nancep).
Anyway here's the book I borrow from library
Sangat menggugah, terima kasih sebab telah menulis
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya! Semoga bermanfaat. Selamat membaca tulisan-tulisan lainnya :)
Hapus