Langsung ke konten utama

Liebe Deutschland: Alberta Meinstein Datang ke Tanah Kelahiran Para Filsuf dan Ilmuwan!

#Tanti’sJourneyAroundTheWorld


“Aku tidak ingin kaya. Aku hanya ingin hidup. Aku ingin melihat banyak tempat. Aku ingin mendengar banyak suara. Aku ingin menghirup seribu satu bau kehidupan. Alangkah mengerikannya terpenjara di satu tempat. Alangkah menjemukannya. Alangkah memuakkan. Aku mesti pindah tempat setiap saat, meski cuma selangkah.”
-         Seno Gumira Ajidarma


          Masih segar dalam ingatan, waktu itu hari Rabu. Sekitar pukul 10 malam, saya dapat telepon WA. Saat saya cek, ternyata dari guru Bahasa Jerman saya. Segera saya angkat sambil deg-degan. Semua percakapan itu kalau dirangkum bisa jadi satu ujaran singkat: Puji Tuhan. Frau (panggilan Mrs. dalam Bahasa Jerman) Setya bilang, kalau saya menjadi salah satu penerima beasiswa Sommerjugendkurs (kursus musim panas remaja) di Schule Birklehof, Hinterzarten, Jerman! Hal ini merupakan keajaiban bagi saya. Setiap sekolah dipilih dua anak, dan di sekolah saya sudah ada perwakilannya. Saya adalah perwakilan tambahan untuk berangkat kesana.
Pic 1.1 Sertifikat Jugendkurs


          Banyak orang bilang saya beruntung. Sebagian lagi merasa, semua itu ‘hanya’ karena keberuntungan. Saat itu, perasaan bahagia menutupi semuanya hingga saya tidak menyadarinya. Sekarang, kalau dipikir lagi, mungkin orang-orang itu benar. Itu semua ‘hanya’ keberuntungan. Kalau diingat saya jadi agak sedih dan minder. Namun, saat saya membaca pesan dari Frau Ekadewi, koordinator proyek acara ini, yang memberi alasan mengapa saya turut terpilih, juga pesan dari Frau Raya yang cerita sama saya, perasaan minder itu hilang. Barangkali saya memang tidak sepintar teman lain yang berangkat, atau barangkali itu juga faktor keberuntungan, tapi kata saya, saya juga telah berusaha. Apa yang terjadi saat ini, bagi saya, adalah buah yang telah kita lakukan di masa lalu. Terima kasih Roy Kiyoshi, sudah mengajarkan saya banyak dari acara “Karma”. Wwkwkkwwk… Intinya, saya sudah berusaha dan ternyata Tuhan kasih bonus. Kalau di masa lalu saya pilih gak usaha, saya juga gak bakal dapat bonus.
          Oke, lanjut lagi. Wkwkwkw…
          Pertama, respon keluarga saya. It was like drinking some bottles of Tebs! So shocking! Kakak saya nangis gak percaya. Ayah dan Ibu saya juga demikian. Saya sendiri? Jangan tanya. Gabisa tidur karena senyum-senyum sendiri semua ini bisa terjadi. Dulu, bagi saya, mimpi ke luar negeri adalah sesuatu yang jauh. Saya pikir saya bakal bisa ke luar negeri kalau sudah kerja sendiri, itupun mungkin pake nabung dulu. Yang paling bikin saya geleng-geleng, saya gak nyangka bakal jadi orang pertama di keluarga kecil saya yang naik pesawat duluan. Wwkwkwkwk :P sungguh ndeso. Biarin. Dulu orang-orang yang sekarang sering naik pesawat juga pernah ngrasain gimana rasanya pertama kali naik pesawat.
          Jadi, dimulailah segala tetek bengek persiapan keberangkatan. Saya agak terburu-buru karena harus menyusul teman yang lain walau saya berangkat bulan Agustus. Saya mulai mengisi banyak form, membuat paspor, dan mengirim berkas-berkas visa. Tapi puji Tuhan semua lancar dan sampailah hari dimana saya berangkat ke Jakarta untuk membuat visa! Yeaay!
          Hari itu kali pertama saya bertemu teman-teman dan orang-orang Goethe-Institut yang semuanya superrr baikk! Ada Frau Eka, Frau Rasti, Frau Neza, Pak Didi (sopir Goethe yang luar biasa baik!) serta anak-anak lain yang nantinya jadi teman saya di kursus musim panas di Jerman. Ada sedikit cerita, sih. Karena saya doang yang berangkat Agustus (teman saya yang lain berangkat Juli) saya jadi harus mengurus semua keperluan visa sendiri (sebenernya banyak dibantu teman-teman sih, wkw). Maksudnya, saya harus berangkat sendirian ke Jakarta yang mana itu adalah kali pertama buat saya. Thousand thanks buat Ajeng dan Ageng (teman saya yang berangkat ke Jerman juga) yang sudah kasih saya bimbingan ini-itu, makasih udah mau direpotin. I love you to the Mars and back:* Tapi, walau udah dikasih tau banyak hal, saya tetap tegang dong berangkat sendirian. Semua itu adalah kali pertama buat saya. Di Bandara Abdurrachman Saleh Malang, saya masih ingat betul, saya ketemu sama seorang tentara yang ceritanya juga mau pergi (saya lupa kemana). Pak Tentara itu kasih tahu saya buat hati-hati, saya simpan itu dalam hati.
          Waktu nunggu boarding, lagi-lagi saya ketemu bapak-bapak. Sumpah, waktu itu saya gak tau apa-apa dan takut ketinggalan pesawat. Saya tanya bapak-bapak itu buat memastikan kalau pesawat saya sudah datang apa belum. Parno banget memang. Kalau dipikir sekarang jadi pengen ketawa sendiri, hehehe. Dari sana bapak itu cerita, kalau dia mau ke Jakarta lalu ke Malaysia. Bapak itu tanya saya mau kemana, saya bilang saya mau ke Jakarta. Beliau kaget karena saya sendirian, dikiranya saya masih kecil. Beliau sempat khawatir karena tempat duduk kita berjauhan, tapi beliau kasih saran: ikutin orang-orang aja. Saya nurut aja.
Pic 1.2. Pemandangan dari pesawat

          Sesampainya di Jakarta, saya beneran ikutin orang-orang. Sampai saya kehilangan jejak orang-orang yang saya ikuti itu :D
          Kemudian inilah cerita saya bertemu Bapak Didi sang sopir Goethe yang baik hatinya J
          Di tengah kekalutan mencari jalan keluar, saya dapat SMS dari Frau Rasti yang berisi nomor bapak Didi. Saya lantas telepon Pak Didi, lega setengah mati akhirnya saya gajadi nyasar di ibukota. Saya cemas banget, soalnya banyak pikiran seliweran di otak saya: JAKARTA KERAS, BUNG! Gitu terus sampe berkali-kali. Untung ditelpon Pak Didi. Wwkwkwkw…
          Pak Didi bilang, “Saya tungguin di Grapari ya, di dekat tulisan nomor 5.” I was like, HELL WHAT?! No. 5??? Dimana saya bisa cari no 5????? Saya tetap aja kalut dan mondar-mandir seperti anak ayam mencari induknya. Sementara, Pak Didi terus membimbing saya dengan sangat sabar. Sepertinya ada kesalahpahaman antara saya dengan Pak Didi waktu itu. Beliau melarang saya keluar, mungkin maksudnya keluar area bandara. Saya mikirnya beliau melarang saya keluar gedung, wah pantas aja ga ketemu-ketemu. Wkwkw.. Sampai sekitar setengah jam-an, takdir mempertemukan kita berdua J
          Dengan penuh keberanian saya memutuskan untuk keluar gedung, dan terlihat dengan jelas ada angka 5 yang sangat besar dan terlihat bersinar-sinar. Jalan keluar:’) Saya bertemu Pak Didi. Saya mohon maaf berkali-kali karena sudah ngabisin pulsa Pak Didi. Dan gitu, ORANGNYA NGGAK MARAH SAMA SEKALI. Beliau malah tertawa-tawa, dan dengan ramahnya ngobrol sama saya! Aduh, sungkan sekali saya sama Pak Didi. Baik sekali orang ini. Sampai kapanpun saya gabakal lupa, Pak. J
          Setelah beberapa waktu menunggu teman yang lain, Pak Didi mengantar kami dari Cengkareng menuju Menteng. Di sepanjang jalan, saya berasa ada di FTV. Semua plat kendaraan diawali huruf B. Rasanya lucu. Pak Didi mengantar saya menikmati pemandangan kota Jakarta. Dan dimulailah petualangan Tanti, selangkah menuju manusia millennium yang modern. Hidup Darwin! Hidup teori evolusi!

Dilanjut lagi di episode selanjutnya. Tetap jadi pembaca setia, ya…


N.B.: Alberta Meinstein adalah nama samaran yang saya buat pada waktu SMP. Terinspirasi dari, tentu saja Anda tahu, Albert Einstein, ilmuwan dari Jerman.

          

Komentar

  1. Waaaah. Keren mbak. Mau lagi mau lagiii.
    Akhirnya terjawab sudah. Dari dulu pingin tau gimana mbak bisa berangkat ke Jerman. Ternyata begini toh 😊. Semoga saya bisa menyusul mbak mencari pengalaman naik pesawat ke luar negeri ya mbak. Amiin 😊

    BalasHapus
  2. Wah makasih bangettt wkwk .. Tunggu cerita selanjutnya yaa.. Amin amiinn aku yakin nana bisa nyusul juga, kalau perlu kita barengan! Wkwkwk ... Amiinn...

    BalasHapus
  3. Waahh cerita yg keknya belum pernah kamu ceritain ke aku tan, entah kenapa malh terharu baca ini :3 keep going Alberta!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduhhh aku yg lebih terharu baca komenmuuuu :3 makasih Valerie nanti aku kasih tahu Alberta, yaaa!! Wkwkwkkwkw

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...