Langsung ke konten utama

What Would I Do Without You*

 *) Lagunya Drew Holcomb & The Neighbors. Enak banget!

Tema hari kesembilan: What is that one thing you regret very badly and cannot change?

            Duh sebenernya kalau disuruh menceritakan hal yang disesali, saya nggak begitu suka, sih. Rasanya kayak sebal aja gitu, tiba-tiba keinget hal yang mati-matian berusaha dilupakan. Saya punya mantra sebenarnya kalau memutuskan sesuatu supaya nanti-nanti nggak disesali: saya akan ucapkan keras-keras dalam hati, “Beneran ya ini. Sudah lho ya. Nggak boleh menyesal. Kamu udah memutuskan.” Udah gitu aja. Gampang banget mantranya. Saya kadang pakai ini kalau jawab soal ujian yang nggak saya ngerti dan memutuskan untuk mengarang bebas. Soalnya, dengan bilang kayak gitu saya punya perasaan kalau sudah dipikir matang-matang dan waktu nggak akan bisa diputar kembali. Anehnya, kalau saya kelupaan bilang mantra itu, saya suka menyesal. Anjrit, kenapa tadi nggak jawab B ya padahal sudah hampir yakin :D

            Tapi namanya juga kehidupan, bukan sinetron Suara Hati Istri, beberapa hal di dunia ini baru kita sesali setelah kejadiannya lewat. Alias, kita nggak secara sadar memutuskan untuk begitu. Bisa jadi itu respon spontan akan sesuatu yang nggak kita duga. Misalnya kayak kita marah-marah sama orang lain, pasti kita menyesal di akhir kan. Apalagi kalau kita baru sadar bahwa perkataan kita menyakiti orang lain.

            Tapi, kalau disuruh menceritakan satu hal yang paling disesali, saya akan rangkum semua penyesalan saya pada satu sebab: ignorance. Ya, saya menyesal akan ketidaktahuan atau ketidakinginan untuk mengetahui.

            Beberapa kesempatan dalam hidup ini, saya lewati begitu saja. Kesempatan-kesempatan yang sejatinya kalau mau saya kejar, daftar mimpi saya bisa di-ceklis satu-satu. Saya menyesal karena nggak tahu. Saya menyesal nggak mencari tahu. Saya menyesal nggak mengikuti kata hati untuk mencoba mencari tahu. Saya menyesal jadi orang yang kudet.

            So, “ignorance is bliss” is somewhat bullshit for me. Dengan pengetahuan yang luas, pilihan yang kamu punya juga akan lebih banyak. Dengan pilihan yang lebih banyak, keputusan yang kamu ambil juga akan lebih optimal. Saya berharap bisa kembali memutar waktu dan mengeplak jidat ini sambil bilang: ayo, jangan jadi orang yang ignorant dan malas cari tahu.

            Saya mau aja cerita hal-hal yang bikin saya menyesal sekarang karena ignorance ini. Tapi nggak usah, lah ya. Nanti jadi keinget lagi dan sebel sendiri. Hahaha. Nggak lah, saya sudah berdamai kok dengan masa lalu. Ceilah.


#30DaysWritingChallenge: ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan saya akan menulis setiap hari sesuai tema yang telah ditentukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...