*A masterpiece from Vanessa Carlton.
Tema hari kedelapan: What
fascinates you about life and people around you?
Tweet Dokdes yang selalu relevan. |
Tahun 2015, sekolah saya mengadakan
acara sambang desa selama tiga hari ke Jabung. Suatu malam, entah hari keberapa,
kami berkumpul di lapangan desa untuk… lupa ngapain. Kalau nggak salah
pementasan. Pokoknya ada kumpul-kumpul, lah. Saya duduk bareng teman-teman di
bagian agak belakang. Kebetulan, langit malam cerah hari itu. Ada banyak
bintang bersinar di atas kami, jumlah yang besar dibandingkan satu dua bintang
di malam tercerah di tengah kota tempat saya tinggal. Saat mendongak, keberuntungan
datang. Saya lihat dua bintang jatuh malam itu. Salah satu pemandangan terindah
yang pernah saya lihat.
Hidup ini aneh betul. Terasa aneh
mungkin karena kita berada di dalamnya. Menjadi bagian dari sesuatu yang amat besar, semesta.
Kalau diibaratkan benda, Bumi adalah salah satu partikel terkecilnya, dan di dalamnya
masih ada kita. Rasanya aneh sekaligus menakutkan menyadari betapa kecil kita
ini, di dunia yang superluas dimana hanya nol koma sepersekian yang kita
ketahui secara pasti.
Tata surya terletak di galaksi Bima
Sakti, sebagaimana yang kita tahu, dimana terletak di bagian agak tepi dan jauh
dari pusatnya. Galaksi Bima Sakti sendiri terletak di Grup Lokal yang merupakan
bagian dari Supergugus Virgo. Selanjutnya kita tahu, ada bintang-bintang, rasi
bintang, planet, nebula, dan lain-lain. Dari seratus persen kepadatan alam semesta,
hal-hal yang bisa kita lihat ini, atau yang disebut dengan materi biasa,
menempati hanya sekitar lima persen dari total energi semesta. Dua puluh tujuh
persen lainnya adalah materi gelap (dark matter), yang tidak bisa kita
lihat, namun ada. Sementara itu, 68% lainnya adalah energi gelap (dark
energy), yang lebih misterius lagi. Kita tidak tahu partikel apa yang
menyusunnya, sifatnya yang anti-gravitasi, dan merupakan konstanta kosmologis.
Artinya, sejalan dengan alam semesta yang terus membesar, ia juga akan terus
membesar untuk menjaga kepadatannya tetap konstan. Berbeda dengan materi gelap
dan materi biasa yang tidak membesar, justru semakin menipis. Maka, alam
semesta di masa depan akan lebih banyak terisi oleh energi gelap, sebelum akhirnya hanya akan ada energi gelap, dan kemudian alam semesta itu mati, heat death.
Kadang, sebelum tidur, saya
berpikir, bagaimana mungkin kehidupan ini ada dan saya bisa berada di dalamnya.
Aneh rasanya tiba-tiba terlahir sebagai seorang Tanti, berjenis kelamin
perempuan, di sebuah kota di negara yang bernama Indonesia. Mengapa bisa begitu?
Apa yang terjadi sebelum kelahiran, sebagaimana apa yang terjadi setelah
kematian, akan selalu menjadi misteri. Semua yang pernah kita dengar tentang itu hanyalah
kira-kira, tebakan, tafsiran, testimoni semu yang takkan pernah kita benar-benar tahu selama
hidup di dunia ini.
Bayangkan, betapa tak tahunya kita. Betapa
besar ketidaktahuan ini selalu bisa membuat saya merinding.
Ilmuwan menggunakan frasa yang keren
untuk menyebut satuan jarak di alam semesta: tahun cahaya. Satu tahun cahaya.
Sepuluh ribu tahun cahaya. Satu juta tahun cahaya. Jutaan tahun cahaya. Kita
tahu dengan pasti, ada bagian dari alam semesta yang tak kita ketahui. Jarak
yang lebih jauh lagi. Kedengarannya mengerikan sekaligus menakjubkan.
Saya pikir, hanya karena kita belum
menemukan bukti kehidupan lain di luar Bumi kita, bukan berarti lantas
kehidupan itu tidak ada. Kita selalu merasa begitu, sendirian, terasing, di
luasnya alam semesta yang seolah ada tanpa tujuan. Buat apa ada begitu banyak
planet jika hanya kita makhluk hidupnya? Begitu terkadang kita bertanya-tanya.
Bagaimana jika, tidak hanya kita yang merasa begitu? Bisa jadi, kita hidup ‘sendirian’
di semesta yang ‘ramai’ ini. Kita hidup secara terpisah, tapi sebenarnya kita ini bersama-sama. Segala perkiraan bahkan masih terus beranak-pinak
perkiraan yang lain, mengingat kemungkinan bahwa tidak hanya ada satu semesta. Beberapa
ilmuwan berpendapat, ada semesta lain di luar sana. Perkiraan-perkiraan yang
sama dilontarkan oleh sastrawan, penyair, dan lain-lain. Artinya, kita punya
imajinasi mengenai hal tersebut.
Yang lebih mengherankan lagi, selain
alam semesta yang seolah tak terbatas, pikiran kita juga terus memikirkan hal-hal
besar itu, menjadi semakin besar dan besar. Sampai mana batas pikiran kita itu?
Ya, saya juga tidak tahu.
Setiap jengkal dunia fisik yang kita
kenal, mungkin masih belum ada apa-apanya dibandingkan dunia yang tak bisa kita
lihat. Kita terus mempertanyakan asal-usul, realitas yang ada, hakikat akan
sesuatu. Menjadi ada adalah sesuatu yang sudah cukup ajaib bagi kita.
Saya terpesona akan keberadaan kita,
dan karenanya keberadaan segala hal yang ada di sekitar kita. Dulu, waktu masih
kecil, saya pernah terobsesi dengan mata. Saya coba tutup mata saya, lalu saya
buka lagi, lalu saya gerak-gerakan bola mata dengan cepat. Aneh banget.
Bagaimana bisa kita melihat? Maksudnya, bagaimana bisa mata mempunyai fungsi
untuk itu? Itu baru mata. Indera lain memiliki keajaiban tersendiri untuk membuat kita merasakan yang dinamakan keberadaan itu.
Sekarang, mari kita coba berhenti
sebentar. Berhenti sejenak dari segala keriuhan dan keramaian dunia. Kita lihat
kembali ke belakang, seberapa jauh kita melangkah. Kita ada di sini. Sebuah fakta
yang menakjubkan. Orang-orang yang pernah kita kenal, orang-orang yang ada di
sekitar kita. Mereka semua membantu kita menjalin sebuah kisah panjang yang
kita namakan kehidupan. Kita, masing-masing, adalah bagian dari setiap cerita. Miliaran
cerita yang berbeda. Kita semua tak pernah sama.
Terkadang, kita terlalu sibuk
berpikir bahwa kita adalah tokoh utama di kehidupan ini. Bahwa dunia berputar
pada diri kita sebagai porosnya. Jika saya melewati seseorang di jalan, saya
pikir, mereka hanyalah orang yang lalu-lalang, kebetulan saja lewat dan tidak
memiliki arti apa-apa. Mereka itu seperti orang-orang yang ada di jalan raya
waktu Goblin Kim Shin ketemu Ji Eun Tak. Ketika kamera dipercepat, mereka cuma sekelebat
pintas. Ketika kamera dibuat slow motion, mereka cuma figur kabur yang
ada untuk memenuhi kebutuhan visual.
Saya sadar, itu semua tidak benar.
Mereka adalah tokoh utama di kehidupan mereka masing-masing. Mereka semua
adalah orang-orang yang punya kehidupan. Dari Raisa sampai orang-orang yang
memenuhi kolom komentar Instagramnya, mereka semua itu adalah orang-orang
nyata, yang setara, yang sama-sama hidup, yang sama-sama bagian dari Bumi ini. Tidak
ada orang yang tidak berarti. Kalau saya lagi naik angkot, saya sering berpikir,
kehidupan orang-orang ini seperti apa, ya? Mereka mau ngapain? Mereka mau
kemana?
Jadi, jika ditanya apa yang membuat
saya terpesona pada kehidupan dan orang-orang di sekitar saya, maka berikut
jawabannya:
Saya terpesona pada ketidaktahuan
kita. Ketidaktahuan kita tentang apapun itu. Seiring bertambah pengetahuan
kita, bertambah pula ketidaktahuan kita. Begitu kalimat yang saya baca dari kolom
komentar di YouTube. Seolah setiap pertanyaan beranak-pinak. Karenanya, pembelajaran
itu tidak pernah selesai. Kita akan selalu belajar, karena kita selalu tidak
tahu akan sesuatu.
Saya terpesona pada ke-tahu-an kita,
akan apa yang kita tahu saat ini dan apa yang berusaha kita cari tahu.
Saya terpesona pada kita. Kita
semua, seluruh manusia di dunia ini yang ada, pernah ada, dan akan ada.
Saya terpesona pada betapa kecilnya
kita. Kita yang ibarat debu di sepatu koboi. Kita yang ibarat upil di lubang
hidung raksasa. Kita yang selalu bertanya-tanya, “apa sih tujuan kita hidup di semesta
yang begitu luas ini? Emang kalau kita ada sama nggak ada, apa bedanya?”
Orang bilang, ngapain berpikir hal-hal seperti ini. Hal-hal yang barangkali nggak akan kita ketahui jawabannya. Saya pikir, memang kenapa? Memikirkan hal yang besar bisa mengubah cara pandang kita pada hal-hal kecil. Kalau pakai logika yang sama, ngapain cuy dulu Eratosthenes mengukur keliling Bumi segala? Sudah hidup saja cukup, kan. Ngapain juga Galileo mengemukakan bahwa matahari adalah pusat dari tata surya? Ikut saja apa kata gereja saat itu, sudah cukup. Ia nggak perlu jadi tahanan rumah sampai meninggalnya.
Tapi, nggak kan. Mereka terus bertanya, dan bertanya, dan bertanya, dan pada akhirnya, menemukan jawaban yang mereka cari. Maka, teruslah bertanya! Teruslah mencari jawabannya! Peduli amat apa kata orang. Kalau sesuatu membuatmu tertarik, dalami saja tanpa perlu memikirkan kata orang lain. Pada akhirnya, hidup ini adalah tentang mengalami. Tentang menghidupi suatu anugerah bernama kehidupan.
Jadi, demikianlah. Saya terpesona
pada kamu, saya, dan segala hal yang mengisi ruang di antara kita.***
Saya membuat puisi untuk kalian: Tak Terhingga
Untuk menjadi renungan: Tentang Kematian Alam Semesta,
Ada Berapa Banyak Alam Semesta di Luar Sana?
#30DaysWritingChallenge: ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan saya akan menulis setiap hari sesuai tema yang telah ditentukan.
Komentar
Posting Komentar