Langsung ke konten utama

What is Faith?


Beberapa minggu yang lalu saya sedang duduk bersama dengan keluarga, berbincang santai sambil makan malam. Di akhir suapan, entah dari mana asalnya, kami kemudian bicara mengenai iman.
            Apa itu iman? Bagaimana seharusnya kita beriman?
          Iman adalah suatu konsep yang menarik bagi saya pribadi. Saat ini, pengertian paling pas bagi saya mengenai iman digambarkan secara tepat dalam Ibrani 11:1 “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
            Kata kunci yang penting mengenai iman adalah: percaya.
         Kepercayaan menjadi hal penting dalam iman. Iman berarti meyakini sesuatu, mempercayai, mengimani. Sesuatu yang tidak kita lihat, yang kita harapkan demikian adanya. Dan karena itu, bagi saya, iman adalah ruang yang sangat personal. Seseorang bisa jadi memiliki agama yang sama tapi iman yang berbeda. Bagaimana saya atau Anda mengimani sesuatu, adalah sangat tergantung pada pribadi kita.
Saya masih ingat salah satu kutipan film yang sampai saat ini masih sangat membekas bagi saya, yakni ketika Pi Patel berbincang dengan Rafe Spall dalam Life of Pi, yang kurang lebih begini:
Pi         : Faith is a house with many rooms.
Spall    : But no room for doubt?
Pi         : Oh plenty, on every floor. Doubt is useful, it keeps faith a living thing. After all, you cannot know the strength of your faith until it has been tested.
                        Kata-kata Pi sangat membekas bagi saya, yang kemudian melempar saya pada kelas katekisasi beberapa tahun yang lalu. Di awal pertemuan, Pak Pendeta menjelaskan bahwa kelas katekisasi ini diadakan untuk mengenal lebih dalam mengenai iman Kristen untuk memantapkan diri apakah ingin menerimanya melalui baptisan, atau tidak. Saya kira ini sangat penting untuk membangun reasoning dibalik iman, untuk mengenal iman itu sendiri, apa dan siapa yang saya imani. Serta, untuk secara dewasa memilih apakah ini yang saya yakini atau tidak.
        Dan karena itu jugalah, iman menjadi konsep yang menarik bagi saya. Iman menjelaskan mengenai rasa percaya, sementara rasa percaya dan bagaimana manusia bisa percaya adalah sesuatu yang juga menarik. Apa itu percaya? Mengapa manusia memercayai sesuatu? Mengapa manusia bisa percaya? Dan seterusnya dan seterusnya. Hingga kemudian, pertanyaan ini sampai pada titik, mengapa manusia memiliki kepercayaan yang berbeda dan mengapa seharusnya itu bukan menjadi masalah.
          Kembali ke percakapan kami sekeluarga pada malam itu, saya berargumen bahwa iman, seperti kata Pi Patel, seharusnya adalah ruang yang sangat mungkin dapat dipertanyakan. Dari sanalah menurut saya iman itu tumbuh. Dari sanalah iman itu menjadi sesuatu yang hidup.
            Agama memang merupakan sesuatu yang bersifat dogmatik, tapi bagi saya, iman jauh lebih besar daripada itu. Kenapa saya tidak boleh bertanya kenapa? Kenapa harus menerima semuanya sedemikian adanya? Bukankah dogma lahir dari interpretasi? Dan bukankah interpretasi lahir dari pertanyaan? Apakah firman bersifat denotatif atau konotatif? Bukankah dalam prosesnya kita menggunakan metode hermeneutik untuk menginterpretasi?
            Back to the first premise, faith is about believe. And to believe we need to understand. To understand we need to know deeply. And to know, means that we need to learn. And to learn, we need to ask, and find for the answers.
            So, why not to ask and doubt?
            Sehingga, saya sampai pada kesimpulan, bahwa iman itu harus dipertanyakan, dan terus menerus dipertanyakan. Tapi, obrolan kami malam itu menjadi menarik ketika kemudian bapak dan ibu saya menentang hal ini, bahwa menurut mereka iman itu memiliki beberapa bagian yang tidak dapat dipertanyakan, dan pasti ada saat dimana kita harus berhenti bertanya, menyerahkan segalanya pada Tuhan.

            Lantas, bukankah dalam ruang yang penuh pertanyaan itu, konsep mengenai Tuhan sendiri juga harus dipertanyakan?
            Saya memahami keresahan orangtua saya yang takut apabila saya menjadi tidak percaya pada Tuhan atau keluar dari kekristenan. Saya paham. Dan saya setuju. Diskusi kami malam itu berarti banyak untuk saya, bahwa orangtua saya mengajar saya untuk tetap menjejak tanah. Rasa keingintahuan dan terlalu banyak pertanyaan barangkali justru akan membawa saya dalam pemahaman yang sia-sia dan kosong yang berujung pada kesombongan. Poin itu yang ingin tetap saya pegang, kendatipun beberapa aspek kami banyak berseberangan.
Kedua orangtua saya membesarkan saya dalam keluarga Kristen yang ingin terus menjaga tradisi kekristenan ini. Tapi, untuk menjaga iman yang sehat, seperti yang dilakukan melalui kelas katekisasi, adalah dengan menjadikan iman sebagai sesuatu yang penuh pertanyaan. Sama seperti hari dimana Ibu mendaftarkan saya kelas katekisasi, saat itulah Ibu memberikan saya kebebasan penuh sebagai orang dewasa untuk memilih kebenaran yang saya yakini sendiri. Terlepas saya lahir dari keluarga dengan agama apa, terlepas dari baptis pertama saat saya bayi dimana agama saya saat itu merupakan warisan dari keluarga kepada saya. Dan, di hari akhir katekisasi, saat saya memutuskan untuk percaya pada pilihan itu, ketika dengan sungguh-sungguh dari mulut saya terucap Pengakuan Iman Rasuli, saat itulah lahir sebuah iman dalam hati yang benar-benar karena saya percayai, bukan lagi karena pengaruh orangtua. Dan, iman itu harus dihayati dengan penuh tanggung jawab, membuatnya tumbuh dan mengakar, menurut jalan hidup saya dan perjumpaan-perjumpaan yang memengaruhi pertumbuhan iman tersebut.
Justru menjadi berbahaya menurut saya ketika iman itu tidak mengalami pergoncangan, pertumbuhan, alias statis saja di satu tempat. Itu menandakan bahwa iman tidak sedang mengalami proses apa-apa. Dan itu berbahaya.
Iman yang sehat bagi saya adalah iman yang bergerak, yang memberikan kesadaran baru dan menumbuhkan rasa percaya. Iman yang tak lelah mencari kebenaran. Dan salah satu cara mencari kebenaran adalah dengan bertanya. Iman yang mengingatkan untuk tetap percaya tapi juga menghargai apa yang dipercayai orang lain. Dan bahwa iman itu adalah suatu proses belajar yang tak pernah selesai hingga akhirnya tiba. Bahwa iman adalah sesuatu yang personal dan tidak boleh dipaksakan pada orang lain. Iman juga berarti integritas yang dipegang mengenai sesuatu yang dipercayai.
As the Bible say in the Matthew 6:33 “But seek first His kingdom and His righteousness and all these things will be given to you as well.” Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya. We are struggling with the word ‘truth’, and that’s what feed faith to a living thing.
Salah satu yang saya kira penting untuk menjawab proses ini adalah melalui apologetika, the logical reasoning of faith. Berbagai pertanyaan-pertanyaan mengenai Alkitab dapat dijelaskan melalui sejarah, teologi, filsafat, arkeologi, dan lain sebagainya.
Yang terpenting adalah bahwa yang kita percayai bukan iman yang kosong, iman yang secara cuma-cuma kita terima, yang taken for granted tanpa mempertanyakan mengapa ini dan mengapa itu. Seperti yang dikatakan Ibu saya, beberapa hal mungkin takkan pernah terjawab. Selama kita hidup dan mempertanyakan ini dan itu, mungkin takkan semuanya dapat terjawab di dunia. Simply because no one knows, maybe. But it’s not literally the point. The point is to seeking the truth by doubting the faith itself. To never let your curiosity die. Believe me, at some moments in your life, suddenly a thought appears in your brain or heart to answer one or two question, something we know as ‘ilham’. But what matters is not the answer, but the question and spirit to let your faith grows.
Jadi, beginilah cara saya mengimani ‘iman’. Selebihnya, saya kembalikan pada Anda.

N.B.:
Oya, sebagai bonus, berikut adalah beberapa foto gereja-gereja lokal di Jerman, kenangan dari perjalanan saya dua tahun yang lalu. 


Gambar 1: Freiburger Münster, sebuah katedral tua bergaya gotik yang dibangun pada tahun 1120-an. Terletak di Freiburg im Breisgau, selatan Jerman. Pada saat foto ini diambil, sekitar Agustus 2017, sedang dalam konstruksi pada beberapa bagian.

Gambar 2: Berfoto di depan katedral. Di depan katedral ini ada pasar, sehingga suasana sangat ramai dan buru-buru mengambil foto. Jadinya agak blur dan kurang jelas, hehehe.
Gambar 3: Katedral ini sangat tinggi dan menjulang, menjadi salah satu ikon kota Freiburg yang terkenal.
Gambar 4: Suasana di dalam katedral yang ramai. Saat itu sedang tidak ada misa sehingga katedral dibuka untuk wisatawan. Didalamnya terdapat beberapa ornamen menarik dan tua, berupa patung, lukisan, dan lain sebagainya. Untuk lengkapnya dapat dilihat di Wikipedia karena pada saat itu saya memiliki waktu yang terbatas, hehehe:v
Gambar 5: Bagian interior gereja. Aduh, maaf ya, saya kurang jago motret! Ini masih saya sesali sampai sekarang. Semoga, di lain kesempatan, kalau jalan-jalan bisa punya potret yang lebih bagus. Amin. Hehehe.
Gambar 6: Karena bergaya gotik, suasananya memang cenderung gelap. Terdapat lilin-lilin yang dimatikan karena sedang tidak ada misa.
Gambar 7: Yang ini gereja lokal lain, bukan katedral yang sebelumnya. Gereja ini lebih kecil dan terletak masuk di dalam gang. Kami sempat berbincang dengan seorang Ibu (mungkin penjaga gereja atau jemaat) mengenai sejarah gereja ini dan kemudian menawarkan untuk mengambil foto kami berdua. :D
Gambar 8: Sedikit gambaran mengenai interior gereja kecil ini. Letaknya tidak jauh dari katedral Freiburger Münster, dapat ditempuh dengan jalan kaki tanpa terasa capek :P

Gambar 9: Sedikit gambaran mengenai ornamen-ornamen unik dalam gereja ini. 










Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...