Aku
cuma takut saja bulan tiba-tiba jatuh dan dimakan kecoa, sementara aku belum
bersepeda ke rumahmu malam-malam mengantarkan surat cinta. Karena orang zaman
sekarang suka sekali akan misteri, barangkali beberapa hal memang baik tetap
menjadi misteri.
Seperti
ketika aku menulis puisi di atap rumahku, ketika tiba-tiba salju turun di
daerah tropis dan semua orang tak tahu, ketika diantara salju-salju itu hadir
seorang peri kecil yang membuat malam itu sungguh cantik dan tiada yang tahu
karena semua orang sedang lelap tertidur. Kata peri itu, “Jangan bonceng dia
naik vespa, dia tidak suka. Satu angkot saja sama dia pulang-pergi, atau lebih
baik lagi kalian memancal sepeda bersama-sama ketika matahari hampir terbenam.”
Peri
itu masih kecil, kurasa dia sok tahu sekali. Tapi benar juga sih, apa katanya. Masalahnya,
hujan turun pada pagi setelah malam istimewa itu dan aku masuk angin. Karena itulah
aku tidak lagi menulis puisi malam-malam di atas genteng rumahku.
Lalu
kemarin sore aku bertemu tukang ledeng yang memberiku nasihat ajaib, “Buka
pintumu untuk keajaiban! Dia akan segera datang!” Aku terkejut. Aku
berlari-lari sampai rumah dan membuka pintu untuk menunggu keajaiban. Tapi tidak
ada satupun yang datang. Tidak ada dia, tidak ada surat dari pak pos, bahkan
tidak ada berkatan dari tetangga yang barangkali lagi syukuran.
Tapi
aku tak pernah menganggap tukang ledeng itu sebagai penipu. Barangkali yang dimaksudnya
bukan pintu rumah, tapi pintu yang lain. Karena itulah, apabila setelah
berkali-kali kau membuatku marah dan menunggu, membuatku sedih dan mengutuk,
membuatku muntab dan menangis, tapi aku masih bisa tersenyum ketika melihatmu,
mungkin itulah yang dimaksud tukang ledeng itu.
Aku
membuka pintu hatiku.
Sedang
bermain: Falling in Love at a Coffee Shop – Landon Pigg (2009)
Komentar
Posting Komentar