Aku selalu menyukai saat-saat menjelang malam. Matahari tenggelam
perlahan, menyisakan seberkas cahaya yang menembus awan tipis bagai noda di
kain putih. Rasanya hangat, berkas-berkas cahaya itu tak terlalu terik, namun
cukup terang sebagai teman membaca buku dan menyesap kopi. Semesta seolah
menawarkan sepersekian waktu dari keabadiannya untuk mengantar raja matahari
kembali tidur, sebuah ritual agung yang diikuti oleh burung-burung, tiupan
angin lembut dan pepohonan. Saat-saat seperti itu selalu membuatku menahan
napas. Ingin rasanya membungkus pemandangan itu ke dalam bungkus permen
sehingga dapat kukulum sewaktu-waktu.
Setelah
ritual mengantar matahari itu, langit seolah-olah berhenti bermain drama dan
menunjukkan jati dirinya. Bintang-bintang muncul dan bulan giliran jaga malam.
Seolah-olah mereka ada disana untuk menonton manusia yang tak pernah berhenti
bergerak. Langit malam selalu apa adanya. Mereka seolah mendorong manusia untuk
menunjukkan karakter aslinya. Dan memang benar demikian—pada waktu malam,
manusia akan membuka topengnya sendiri, bergelut dengan alam pikirannya
sendiri, berhenti menjadi bayangan orang lain, selesai berpura-pura menjadi
yang bukan dirinya. Manusia-manusia malam adalah mereka yang penuh dengan
rahasia. Dan karena itulah, semuanya jadi semakin menarik. Kompleksitas manusia
semakin memuncak saat malam tiba.
Begitupun
halnya, ketika hari ini menjelang malam tiba. Yang berbeda adalah aku tak dapat
menikmati senja karena sebentar lagi aku harus pergi menemui Kiara. Karena itu,
aku harus berdandan rapi dan wangi, menyiapkan mobil dan memikirkan beberapa
hal yang harus kusampaikan padanya sebelum kepergiannya.
Kiara
adalah teman baikku sejak SMA. Sepuluh tahun kami berteman dan kini saatnya kami
untuk berpisah, menelusuri jalan hidup masing-masing hingga mungkin suatu
ketika akan bertemu di persimpangan. Sepanjang jalan aku tidak dapat
benar-benar fokus pada jalanan, beberapa kenangan bersamanya melemparku ke
waktu-waktu lampau ketika kami masih bersama.
Lagu-lagu
Joan Armatrading mulai berputar di mobilku, menemani perjalananku menuju
restoran tempat kami akan bertemu. Tepat saat lagu The Weakness in
Me berputar, aku sampai.
Dari
kejauhan aku dapat melihat Kiara melambaikan tangan. Restoran itu lumayan sepi,
mungkin karena ini bukan akhir minggu. Kiara masih tetap sama seperti kali
terakhir aku bertemu dengannya setahun yang lalu, rambutnya saja yang bertambah
panjang hingga ke pinggang. Selebihnya masih sama. Kesibukan kami akhir-akhir
ini membuat kami jarang bertemu.
“Minusmu bertambah?”pertanyaan itulah yang
muncul dari mulutnya pertama kali ketika melihatku.
Aku
tersenyum dan mengangguk. “Begitulah,”
“Jangan
suka membaca dalam gelap atau sambil tiduran, dasar librocubicularist*”
ujarnya mencibir. “Untung kamu masih bisa melihatku dari kejauhan.”
Aku
tersenyum. “Sudah pesan?”tanyaku.
“Sudah,
dong. Aku sudah tahu apa yang akan kamu pesan,”Kiara terkekeh.
“Bagaimana
pekerjaanmu? Sepertinya seru, ya. Aku selalu iri dengan orang-orang sepertimu.
Mereka dibayar mahal untuk melakukan apa yang mereka suka. Graphic
desainer, hm… kedengaran keren banget,”cerocosnya panjang.
“Yah,
kelihatannya aku beruntung,” ujarku. “Bagaimana denganmu?”
“Entahlah.
Aku memutuskan untuk keluar,” ucap Kiara sembari mengangkat pundak.
Aku
tidak begitu terkejut, walau cukup heran. Kiara tak pernah langgeng dalam satu
pekerjaan. Dulu ia pernah bekerja di bank, lalu keluar. Ia juga pernah menjadi
sekretaris suatu perusahaan, lalu keluar juga. Yang terakhir aku tahu ia
bekerja di sebuah perusahaan start-up, tapi kini ia ingin keluar
juga.
“Perusahaan start-up itu?
Mengapa?”
“Kamu
tahu, that feeling of being the part of a group, itu yang aku
cari,” katanya sambil menatapku. “Kenyamanan, that’s how people called
it. Berada di tengah-tengah orang yang menganggapku ada. Hm, gimana, ya?
Aku nggak bisa kerja sendiri, Gem. Aku nggak bisa bertahan di suatu tempat
dimana orang-orangnya nggak menganggapku bagian dari mereka.”
“Jadi
karena itu?”
“Iya.
Dan buatku itu sangat penting. Kamu enak Gem, nggak perlu mikirin orang lain,
bekerja dengan dirimu sendiri. Komunikasi sama orang secukupnya aja. Tapi aku
nggak bisa. Rasanya nggak enak banget saat kamu sendiri merasa asing di tengah
orang-orang yang kamu kenal.”
Aku
mengangguk. Namun aku heran. Banyak pertanyaan berputar-putar dalam kepala.
“Jangan
bicarain ini lagi deh,”ucap Kiara lantas tersenyum. “Sebentar lagi kita pergi
kemana?”tanyanya bersemangat. “Eh, main-main, yuk. Nonton film, jajan es krim.
Balik jadi anak kecil,”lanjutnya menjawab pertanyaannya sendiri.
Aku
tertawa. “Ide bagus,”jawabku pendek. Kami menyelesaikan makan malam dan
bergegas pergi.
Semenjak
detik itu, aku menyukai malam lebih dari biasanya. Selama ini aku hanya
menikmati saat-saat menjelang malam, tapi kini aku juga sangat menyukai malam
hari. Kami pergi kesana kemari menelusuri mall. Lalu pergi menonton bioskop
tengah malam, dan berakhir menyantap es krim dan kentang goreng di restoran
cepat saji.
“Aku
nggak mau pulang ke rumah hari ini. Aku mau berada disini bersamamu sampai
penerbanganku besok pagi,”ujar Kiara sembari menikmati es krimnya. “Anggap saja
ini yang terakhir, Gema. Kita sama-sama nggak tahu kapan kita bakal ketemu
lagi. Aku sudah pamit sama Ibu dan Bapak kemarin di Bandung, jadi hari ini
bakal kuhabiskan bersamamu saja.”
Aku
tersenyum dan mengangguk. Semalam ini akan kuhabiskan bersama Kiara. Malam yang
penuh canda, tawa, cerita dan kenangan.
“Ayo
pergi ke taman kita. Masih ingat, nggak?”ajakku.
“Wah,
taman itu masih ada? Yang dekat rumahmu itu kan? Yang ada ayunannya?”
“Iya.
Kita habiskan dini hari disana.”
Saat
itu malam menunjukkan pukul dua pagi. Kami berkendara menuju taman di kompleks
perumahanku.
“Uwak,
lagu ini!!!”seru Kiara. “Ingat nggak saat Doni nembak aku pakai lagu ini? Aku
lupa karena apa, yang jelas kita cuma pacaran satu bulan. Hahaha…” Kiara
tertawa lebar. “Gema, lagu kesukaanmu masih sama?”
“Iya,
dong. Aku kan’ orangnya konsisten.” Akupun memutar lagu Mystery dari Indigo
Girls.
“Aku
gak ngerti kenapa kamu suka banget lagu ini. Maksudku, apa lagu itu punya makna
lain buatmu?”
“Bisa
dibilang begitu. Liriknya menyentuh, aku suka.”
“Entahlah.
Kedengaran sedikit tragis buatku.”ucap Kiara.
Kami
sampai di taman itu. Taman yang cukup luas, biasanya digunakan anak-anak kecil
bermain bersama orangtua mereka di sore hari, atau para lansia yang
berjalan-jalan pagi dan mencari sarapan. Segalanya masih terasa sama. Semuanya
kecuali kenyataan bahwa inilah barangkali kali terakhir aku mengajaknya kesini.
“Gema,”panggil
Kiara sembari duduk di ayunan. “Ada pesan-pesan terakhir, nggak?”
“Hahaha.
Apaan sih. Sekarang sudah abad ke-21, ada teknologi namanya Whatsapp.”
“Serius.
Ada nggak hal penting yang harus kamu sampaikan ke aku sebelum kita berpisah
nanti? Sesuatu yang saking seriusnya sampai nggak bisa dibahas di chat.”
“Hm,
apa, ya? Always remember that we’re living on the same earth. Selalu
ada kemungkinan untuk kita bertemu kembali.”
“Iya,
sih. Tapi kamu harus tahu Gem, meskipun selalu ada kemungkinan untuk itu,
semuanya nggak akan pernah sama.”ucap Kiara. “I might become a totally
different person than you met today. Dan kamu, bisa jadi saat kita ketemu
kamu adalah model Hollywood yang pacaran sama Jennifer Lawrence. Dunia kan’
emang penuh kejutan. Karena itu, ada nggak suatu hal yang ingin kamu sampaikan
pada aku yang sekarang?”
Aku
menatap mata Kiara dalam-dalam, menerawang jauh ke dalam bola matanya yang
jernih dan melihat kesungguhan disana. Malam itu sangat bersahabat. Rasanya
bintang-bintang dan bulan menonton kami berdua seakan prihatin karena bisa jadi
apa yang dikatakan Kiara benar. Karena itulah aku perlahan-lahan merangkai
tahun demi tahun yang kita lewati bersama, sejak pertama kali aku menemukannya
di dunia hingga kini harus melewati saat-saat yang sangat menyesakkan. Tahun
demi tahun itu membentuk memoar yang panjang, bagian dari hidupku yang sangat
berharga. Saat Kiara menanyakan hal ini, aku tak dapat menjawab langsung
pertanyaan itu. Sebab bagiku, kediamanku sekarang ini jauh lebih bermakna dari
sekadar pesan terakhir yang takkan mungkin diingatnya bahkan hingga setahun
kedepan. Saat aku menjawab pertanyaanmu dalam diam, seharusnya kau tahu bahwa
dalam diamku itu terkandung lebih dari apa yang bisa kuutarakan kepadamu.
Kiara
tak mengatakan apa-apa setelah itu. Ia hanya tersenyum dan menatap bintang lalu
menyenandungkan lagu kesukaanku itu. Saat itu pukul tiga kurang sepuluh dini
hari. Kukira aku mulai menyukai dini hari. Bintang-bintang tampak semakin jelas
seiring dengan langit yang semakin gelap. Lampu taman terlihat tenang dan
hidup. Angin yang mulai dingin berhembus pelan dan rasanya damai. Tak pernah
aku merasakan ketenangan dalam diam yang sedamai ini. Rasanya seolah sedang
berkomunikasi dengan diri sendiri.
Pukul
setengah empat pagi. Kami berdiam diri seperti itu cukup lama, hanya menikmati
pemandangan langit yang luar biasa indah ditemani hembusan angin yang sama.
Kukira kami sedang menyelami pikiran masing-masing. Kembali ke masa-masa awal
SMA, persahabatan selama sepuluh tahun yang seolah secepat kilat. Kiara dan
segala keunikannya. Kepribadiannya yang membuatnya selalu terlihat berbeda dari
orang lain. Aku tidak tahu bagaimana Kiara selama ini memandangku. Seperti
apakah aku di matanya? Kutu buku yang pendiam? Orang aneh berkacamata dengan
hobi menonton film lama? Atau sekadar graphic desainer yang
beruntung karena dapat bertahan di pekerjaan dalam waktu cukup lama?
Pukul
empat pagi kurang lima belas menit.
“Gema,
kembali ke rumahku, yuk. Aku harus ambil koper. Bisa kamu sekalian antar aku ke
bandara?”tanya Kiara memecah keheningan.
“Ki…”panggilku
pelan. “Terima kasih atas segalanya, ya.”
Setelah
lama terdiam dan berusaha mengucapkan kalimat perpisahan sebaik apapun, hanya
itulah kata-kata terakhir yang mampu kuucapkan. Dan kukira itu sudah mencakup
semuanya.
Kiara
tidak menjawab apa-apa. Ia hanya tersenyum dan memelukku sekitar tiga puluh
detik. Air matanya menetes membasahi bahu. Kalau boleh kuhentikan waktu, ingin
kubekukan saat ini selamanya. Lalu menjadi bunga salju dan kusimpan dalam saku.
Kami
berkendara dalam diam, memutar lagu-lagu kenangan dan bersenandung kecil.
Setiba di rumah Kiara, kami mengambil semua barang-barangnya dan Kiara mengecek
semua persiapannya untuk terakhir kali.
“Wah,
sepertinya aku benar-benar bakal kangen sambal goreng buatanmu,”serunya ceria.
“Dan rumah ini… Kalau bisa ingin kukemas dan kumasukkan ke koper,”
Aku
tertawa. “Kayaknya Jakarta bakal sepi tanpa kamu,”
“Hahaha,
makanya, sana cari pacar!”
Kami
berkendara menuju bandara. Pagi itu pukul tujuh. Kali terakhir aku melihatnya
melangkahkan kaki menuju ruang tunggu keberangkatan. Segalanya dari dirinya
takkan pernah kulupakan. Kiara… Namanya berarti ‘gelap’. Katanya, kegelapan itu
memiliki sisi keindahan yang mempesona. Bintang-bintang akan terlihat sinarnya
karena gelap. Aku setuju. Mungkin karena itulah aku menyukai malam.
Hari
itu aku menyadari, aku tak hanya menyukai saat-saat menjelang malam. Aku
menyukai saat malam, saat dini hari, saat subuh menjelang pagi. Aku menyukai
siang hari saat berkendara pulang dari bandara. Dan hari terus bergulir hingga
menjelang malam lagi.
Atau
barangkali sesederhana…aku menyukai saat-saat bersama Kiara. Setiap detik yang
tercurah kukumpulkan satu demi satu dan kutabung hingga waktu kami bertemu
kembali. Semuanya mungkin akan jauh berbeda. Tapi aku sangat bersyukur untuk
keberadaannya di dunia.
Kesukaanku
pada malam mungkin hanya sebuah ungkapan metaforik akan kenyataan yang lebih
menampar: yang sebenarnya kusuka adalah Kiara. Tak peduli kapan aku bertemu
dengannya, tak peduli arti namanya. Entah saking lamanya, saking nyamannya atau
saking tak pedulinya aku, merangkum semua kenyataan selama sepuluh tahun dalam
sebuah pesan terakhir takkan semudah itu. Aku menyadari bahwa, aku telah jatuh
terlalu dalam pada gadis itu sejak lama. Sejak ku tak ingat kapan, karena
mungkin aku tak menyadarinya. Karena itu, entah kapan ketika kita bertemu
kembali dan masing-masing dari kita telah sangat berubah, satu hal yang aku
yakin tak pernah berubah adalah kata-kata yang coba kusampaikan padanya dalam
diam sebagai pesan terakhirku untuknya.
Pesawat lepas landas. Aku berharap ia berbahagia memulai kehidupan barunya dengan seseorang yang telah menunggunya di Kanada sana.
*) Librocubicularist: orang yang suka membaca buku sambil tiduran
Kereennnnn.. kata katanya kreatif.. bikin merinding
BalasHapusWAAHH TERHARUUU ADA YANG BACA DAN KOMEN! T_T TERIMA KASIH BANYAKK RIANTI... JANGAN LUPA MAMPIR TERUS YAA WKWKWK...
Hapus"JUDI POKER | TOGEL ONLINE | TEMBAK IKAN | CASINO | JUDI BOLA / SBOBET | SEMUA LENGKAP HANYA DI : WWW.DEWALOTTO.ME
BalasHapusDAFTAR DAN BERMAIN BERSAMA 1 ID BISA MAIN SEMUA GAMES YUKK>> pin BB : 7BF59345
"
para Member setia Fansbetting,
BalasHapusuntuk kalian para pecinta permainan casino online
yang mungkin sedang mencari agen terpercaya dengan bonus rollingan yang besar
kami menyarankan kepada kalian semua para member setia kami
bahwa kami akan memberikan BONUS ROLLINGAN 0.70% untuk kalian semua
dan langsung otomatis masuk ke dalam id kalian,
jadi untuk kalian yang mau mencoba bonus ini dan ingin bermain di salah satu agen yang terpercaya
kalian bisa bermain bersama kami . fansbetting.com
* CLAIM NOW AND JOIN US *
Untuk keterangan lebih lanjut, segera hubungi kami di:
WA : +855963156245^_^
Ayo tunggu apalagi !!