Langsung ke konten utama

Perayaan Kesabaran

El Clasico yang saya ingat selalu tentang degup kencang jantung, teriakan pengiring setiap gerakan, dan yang paling penting—persiapan telinga untuk menelan mentah caci maki dan pelapangan dada—seperti yang diajarkan Sheila on 7. Namun, lebih dari sekadar menang-kalah, setiap pertandingannya selalu gegap gempita dan layak untuk dirayakan.

*Putar lagu Fariz RM – Barcelona untuk pengalaman membaca yang lebih baik.*

Sumber gambar : twitter.com/fcbarcelona

            Delapan Desember 2021, sehari sebelum pertandingan Bayern Muenchen lawan Barcelona di Liga Champions. Sudah dua minggu sejak kedatangan Xavi yang memulai era baru kepemimpinan Barca setelah hengkangnya Koeman. Para Cules menyambut kedatangannya bagai merayakan kembalinya seorang kesatria. Di Pundak Xavi-lah tercurah seluruh harapan fans untuk menyelamatkan muka Barca di liga nomor satu Eropa.

            Dalam wawancara dengan jurnalis pra-pertandingan, tak banyak yang berubah dari nada bicara Pique. Pemain senior Blaugrana itu mengenal betul gaya permainan Bayern yang brutal, terus menyerang dan haus akan gol meski sudah pasti lolos ke babak enam belas besar. Mereka ongkang-ongkang kaki sambil minum bir saja takkan mengubah kenyataan sebagai pemuncak klasemen. Barcelona-lah yang dalam keadaan gawat, karena jika mereka kalah dan Benfica menang, maka sayonara Barcelona, selamat berjumpa di Liga Eropa. Bagi tim seraksasa Barca, berada di divisi kedua liga Eropa bukanlah suatu hal yang diinginkan. Ini memalukan, terutama karena sudah belasan tahun mereka langganan bermain bersama raksasa lain di tempat elit.

            Maka dari itu, dengan raut penuh harap Pique berkata, “Ada hal-hal yang bisa diharapkan. Kita tidak berada dalam situasi yang kita inginkan, tetapi tim melakukan hal-hal yang kita inginkan.”

            Saat itu memang berat bagi Barcelona. Gaya permainan yang tidak jelas, kurang efektifnya pemain mahal seperti De Jong, cabutnya Griezmann dan Messi ke tempat baru, sampai akhirnya Koeman pun hengkang. Segalanya terjadi dalam sekejap mata. Kritik terus dilayangkan, belum lagi kondisi mental pemain yang selalu disalahkan setiap kali kalah. Kritik itu bahkan datang dari sang mantan pelatih sendiri, Koeman, yang kemudian memicu perdebatan besar di internet.

            “Hanya inilah yang kita punya, hanya inilah yang tersedia. Barca yang dulu bukanlah yang sekarang,” keluhnya ketika kalah dalam leg pertama melawan Bayern. Saat itu, ia masih menjadi manajer Barcelona. “Saya tidak bisa komplain. Bayern memang lebih baik daripada kita, baik itu pemainnya maupun penggantinya.” Seolah dengan jari tertunjuk, Koeman menuding Sergi Roberto dan Mingueza tepat di wajahnya. “Mereka berdua tidak bisa mengalahkan Davies satu lawan satu.”

            Kali lain, ketika Barcelona jumpa Atletico Madrid dan kalah di tangan Suarez, Koeman seolah tak punya jawaban lain selain lagi-lagi menyalahkan pemainnya. Yang menjadi persoalan, kesebelasan yang tampil didominasi banyak pemain muda, yang menurut Koeman kurang pengalaman. Sebagai pelatih, tentu perkataan seperti itu tidak seharusnya dilontarkan pada mereka yang baru saja tanding dan kalah, karena akan berdampak pada mental pemain.

            Ketika akhirnya Koeman pergi dan Xavi datang, Barca ada dalam kondisi terpuruk. Setelah kemenangan 1-0 atas Espanyol, mereka harus bertemu lagi dengan raksasa Bayern yang brutal dan ganas. Saat itulah Pique sadar, tim bisa dengan mudah hancur di tangan anak-anak Nagelsmann. Membayangkan cerdiknya Mueller, kuatnya Lewandowski, dan gesitnya Sane sudah cukup membuat gentar. “Di saat-saat seperti inilah seorang Cules akan diuji kesetiaannya,” ucap Pique. “Jika Anda seorang Cules, Anda akan benar-benar merasakannya. Cinta untuk klub ini, lencana ini, ditunjukkan pada saat-saat buruk seperti ini. Inilah saat dimana Anda akan melihat siapa yang benar-benar mendukung kami.”

            Demi membuktikan janji pada Pique itulah saya sengaja berganti baju dengan satu-satunya jersey Barca yang saya punya. Pertandingan penentuan yang membuat saya masa bodoh meski Barca kalah, yang penting main bagus. Kalaupun harus diobok-obok Bayern lagi seperti yang sudah-sudah, saya cuma akan mengelus lambang Barca di dada kiri seperti yang dilakukan oleh bapak-bapak di video wholesome ini.


            Pertandingan itu akhirnya berjalan juga, dan benar seperti prediksi banyak orang, Barcelona kalah 3-0 dari Bayern. Namun, jauh dari lubuk hati terdalam seluruh penggemar Barcelona, ada sesuatu yang telah berubah dari permainan mereka. Sesuatu yang sedikit demi sedikit membuat segalanya terasa kembali benar.

***

            Pertandingan melawan Bayern memang tidak berakhir sebagaimana diharapkan, tapi jelas membawa kesan tersendiri bagi para penggemar Barcelona. Sejak itu, meski sempat jatuh bangun kalah-menang-seri, penampilan mereka berangsur membaik. Puncaknya adalah ketika El Clasico pertama Xavi sebagai pelatih pada Piala Super Spanyol. Kendati kalah dengan agregat 3-2 kontra Real Madrid, para penggemar tak begitu mempersoalkan hal tersebut. Kekalahan memang pahit, tapi setiap gol harus tetap dirayakan. Dan, melihat cara bermain Barcelona kala itu, mereka sejatinya layak untuk menang. Mereka sudah berhasil menjadi “mereka yang dulu”, mendominasi permainan dan penguasaan bola, lebih percaya diri dalam menyerang, dan akurat dalam pemosisian. Tidak tampak lagi pemain yang seolah kebingungan sendiri di tengah lapangan. Segalanya berjalan baik meski Valverde harus melayangkan gol terakhir di babak penambahan waktu. Xavi sendiri, ketika ditanya perasaannya melihat anak didiknya saat itu, menjawab bangga. “Mereka seharusnya bisa menang,” ujarnya mantap ketika ditanyai wartawan.

            Kedatangan pemain-pemain pilihan Xavi—Aubameyang, Ferran Torres, Adama Traore, dan Dani Alves—seolah semakin menegaskan keyakinan Xavi bahwa tim ini bisa bangkit dari keterpurukan. Terhitung sejak laga kontra Alaves pada 24 Januari 2022, Barcelona konsisten tak pernah kalah. Seri 3 kali, sisanya menang semua. Bahkan, beberapa kali mereka menang besar dengan menelurkan empat gol lawan beberapa tim seperti Atletico Madrid, Valencia, Napoli, Athletic Bilbao, dan Osasuna. Puncaknya, ketika Xavi berhasil mencetak sejarah dengan merayakan kemenangan besar di derby paling panas di seluruh dunia, El Clasico. Barcelona pesta empat gol di tengah Santiago Bernabeu, dengan berbagai macam selebrasi mulai jungkir balik sampai selebrasi Dragon Ball Aubameyang. Dan ingat, ini adalah El Clasico pertama Xavi sebagai pelatih, dan ia termasuk baru datang di La Liga dengan pengalaman yang notabene lebih “sedikit” di Liga Qatar!

Sumber gambar: twitter.com/fcbarcelona

***

            Merunut kembali El Clasico dari sejarah awalnya tentu memusingkan. Banyak yang merasa bahwa El Clasico ada bukan hanya semata-mata sebagai pertandingan bola. Mereka mengaitkan El Clasico dan rivalitas Barcelona-Real Madrid dengan kondisi sosial politik di Spanyol. Real Madrid diasosiasikan dengan bangsa Spanyol, sementara Barcelona merupakan wakil dari bangsa Catalan. Namun, El Clasico sendiri nyatanya lebih daripada itu. Banyak orang percaya bahwa duel ini menyajikan epos, histori kepahlawanan yang bisa disamakan dengan kisah superhero Marvel, hanya benar-benar nyata. Maka dari duel di tanah Camp Nou dan Santiago Bernabeu inilah kita mendapati nama-nama yang selamanya akan selalu kita kenang: Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Charles Puyol, Fernando Hierro, Iker Casillas, Xavi Hernandez, Alfredo Di Stefano, Ronaldo Nazario, Luis Figo, dll. Meski banyak dari mereka yang datang dan pergi silih berganti, kisah kepahlawanan itu tetap digaungkan turun temurun.

            Dari sekira 279 total pertandingan El Clásico, terdapat beberapa pertandingan ikonik yang selalu diulang-ulang oleh kedua tim untuk dikenang. Ambil saja misalnya, duel pada April 2017, ketika Barca menggilas Real Madrid dengan skor 3-2. Aksi Messi melahirkan salah satu komentar paling ikonik dari komentator Sky Sports Rob Palmer, “Oh my goodness, Lionel Messi has done it again, he’s superhuman! Messi pun merayakan gol extra time-nya dengan selebrasi menunjukkan kaosnya pada fans Madrid di Bernabeu. Salah satu selebrasi paling tak terlupakan.

Sumber gambar: https://barcauniversal.com/fan-amazes-lionel-messi-with-giant-el-clasico-celebration-tattoo/

            Atau ketika El Clasico rajin menyajikan adu taktik dari dua pelatih hebat masa kini, Pep Guardiola dan Jose Mourinho. November 2010, Camp Nou gegap gempita oleh sorakan penonton atas kemenangan 5-0 untuk Barcelona. Para pemain terbaik keluaran La Masia seperti Xavi, Pedro, dan David Villa sama-sama menyumbangkan gol yang cukup untuk membuat Ramos dkk. tersulut emosi. Masih pada era keemasan rivalitas Pep-Mou, kita tentu ingat terciptanya salah satu gol paling ikonik abad ini, yakni saat Busquets memberi umpan santuy pada Messi yang lalu menembus seluruh lapisan pertahanan Madrid sebelum menjebol gawang Casillas. Pertandingan bertabur kartu itu terjadi pada Liga Champions 2010/11 yang diakhiri dengan keluarnya Barça sebagai juara, sekaligus mengantarkan mereka meraih Piala Dunia Antarklub dan Piala Super UEFA.

            Atau salah satu favorit saya pribadi, ketika Barcelona berhasil menang 4-0 pada tahun 2015. Saat itu, Andres “Sang Penari” Iniesta menelurkan sebuah gol cantik ke gawang Navas setelah menerima backheel dari Neymar. Aksi Iniesta itu tak hanya mendulang sorakan dari Cules, tapi juga mendapat tepuk tangan dari Madridista.

            Cerita lain datang ketika Real Madrid berhasil menang dramatis 1-0 berkat Ronaldo kala berjumpa dalam final Copa del Rey tahun 2011. Pertandingan ini tentu diingat karena merupakan kali pertama dalam 18 tahun Los Blancos kembali memenangi gelar Copa del Rey. Apalagi, gol penentu kemenangan itu dicetak pada babak tambahan waktu pula. Yang lebih membuatnya ikonik tentu karena insiden jatuhnya trofi yang dipegang Sergio Ramos dan nahasnya trofi itu tergilas bus yang sedang bergerak.

            Pada El Clasico tahun sesudahnya, saat Barcelona menjamu El Real di Camp Nou, pertandingan panas bertabur kartu kembali tersaji bagi penonton. Laga kali itu berhasil diakhiri oleh sorak-sorai Madridista, setelah Sami Khedira dan Cristiano Ronaldo membungkam Sanchez dkk. di rumahnya sendiri. Di depan para pemuja Blaugrana, Ronaldo bergaya, “Calm down, Barca!” sembari menggerak-gerakkan tangannya dari atas ke bawah.

Sumber gambar: https://www.bbc.co.uk/sport/football/32044512

            Setiap pertandingan El Clasico memang selalu memiliki cerita tersendiri. Beberapa diantaranya familiar dengan kartu merah Ramos, hattrick Messi dan Suarez, gol penyelamat extra time Ronaldo, dan lain sebagainya. Kita dikisahkan pula kepahlawanan Busquets dan mastermind-nya, tiki-taka Xavi-Iniesta, ketajaman Benzema dalam memainkan peluang, permainan epik Toni Kroos dan Luka Modric, dan masih banyak lagi.

            Namun, semakin ke belakang, El Clasico seolah mengalami penurunan tensi. Penyebabnya ada banyak. Salah satunya karena bergantinya pelatih dan pemain yang seringkali dirivalkan satu sama lain. Ketika awal kepindahan Ronaldo, misalnya. Agak aneh melihat Real Madrid tanpa Ronaldo. Kendati kemudian Benzema mampu bersinar mengisi bagian yang kosong itu, tetap saja ada yang berbeda. Belum lagi ditambah kepindahan yang paling menggemparkan tahun kemarin, yakni saat Messi dan Ramos sama-sama berlabuh ke PSG. El Clasico berubah? Jelas iya. Persaingan tetaplah ketat, tapi barangkali tidak sepanas dulu.

            Epos berangsur berganti. Kita diperkenalkan nama-nama baru, pahlawan-pahlawan baru. Beberapa diantaranya bahkan masih sangat muda: Camavinga, Vinicius Jr., Pedri, Gavi, Ferran Torres. Ada pula Aubameyang, yang berhasil menciptakan brace di El Clasico perdananya. Mungkin inilah saatnya kita memasuki era El Clasico yang baru, tokoh-tokoh yang segar. Derby panas yang selalu membuat saya siap-siap duluan. Menyiapkan mata, hati, telinga, entah untuk menerima gegap gempita perayaan atau justru caci maki dan hinaan.

            Sama seperti hari ini. El Clasico kedua Xavi sebagai pelatih. Perasaan was-was itu muncul kembali. Pertama, karena Real Madrid sudah lima kali berturut-turut menang. Barcelona kehilangan tajinya sejak 2019 di El Clasico. Apalagi, ketika La Pulga benar-benar hengkang sebagai buntut dari ketidakbecusan Bartomeu, El Clasico seolah jadi hari yang paling dihindari fans Barcelona. Kedua, tentu karena, meski Barcelona telah bermain baik akhir-akhir ini, Real Madrid sama sekali bukanlah lawan yang bisa diremehkan. Saya selalu deg-degan setiap kali bola menggelinding di bawah kaki Tuan Muda Vini. Rasa-rasanya traumatis mengingat gol hasil serangan balik Vini di pertandingan pertama kala Xavi masih memegang Baraa sekitar dua minggu. Kaki-kaki itu bergerak lincah, gesit, dan alamak, menakutkan sekali kecepatannya.

            Ketika pada akhirnya laga berlangsung hari ini dan Barcelona secara mengejutkan membantai Madrid 4-0, yang bisa saya lakukan hanyalah menangis. Mungkin lebih tepatnya menitikkan air mata haru, sebab klub yang sempat jatuh ini boleh bangkit kembali. Ketika Koeman pergi dan digantikan oleh Xavi, ada kesegaran baru yang tak mudah dijelaskan dalam tim. Mungkin cara Xavi memperlakukan para pemain, mungkin taktik baru yang mengembalikan DNA Barcelona, atau mungkin sihir sang legenda, tapi jelas Barca banyak berubah. Ada gairah positif yang terlihat setiap pertandingan, seolah para pemain ini terhubung satu sama lain.

            Orang mungkin mengulas kemenangan Barca juga salah satunya karena kesalahan Ancelotti menempatkan peran para pemainnya, terutama karena Benzema absen. Saya pikir, mungkin itu ada benarnya. Kalau melihat susunan pemain, menempatkan Modric sebagai false nine tentu keputusan yang kurang dapat dipahami. Apalagi dengan tidak menurunkan Hazard yang jelas-jelas ada disana dan mungkin mampu memecah kebuntuan Madrid.

            Sebagian yang lain mencibir respon tim maupun fans Barcelona sebagai berlebihan. Mereka bilang, “senangnya bukan main, seperti sudah menang final liga saja.” Namun saya pikir, pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Kegembiraan ini tidak berlebihan, mengingat Xavi memberikan lebih dari sekadar kemenangan: sebuah gairah, semangat, harapan. Barcelona mungkin memang belum memenangkan apapun, tapi hell yeah, ada semangat yang sudah lama terkubur di sana. Semangat yang terlihat jelas dari wajah para pemain. Maka benar jika kita katakan, kemenangan ini, meski bukan final sebuah liga, tetap terasa begitu manis. Inilah hadiah, suatu perayaan akan kesabaran yang berlangsung cukup lama. Sedikit demi sedikit, kesabaran berbuah manis di saat yang tepat. Suatu penantian panjang yang dibayar lunas.

            Mungkin terlalu dini, mungkin juga tidak, saya tak mau menebak-nebak. Saya hanya percaya, di tengah tim yang saling percaya satu sama lain, yang berpegang teguh pada filosofinya sendiri, mereka bakal baik-baik saja. Dan saya akan tetap jadi penonton setianya.

Sumber gambar: https://kebumentalk.pikiran-rakyat.com/sport/pr-1274033069/pecundangi-4-0-barcelona-vs-real-madrid-kembali-menjanjikan-rivalitas-berikut-susunan-pemain-kedua-tim


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...