Langsung ke konten utama

Man of The Hour*

“Now the man of the hour is taking his final bow. As the curtain comes down, I feel that this is just goodbye for now.”

*) Lagu oleh Pearl Jam, one of my favorite ever.

            Tema hari keenam belas: You are allowed to change one thing in your life. What will it be?

            Saya sudah punya jawaban buat pertanyaan ini sejak lama sebenarnya, tapi sekarang setelah dipikir-pikir lagi kira-kira relevan nggak ya? Anggap saja iya lah ya, soalnya ini jugalah permintaan saya kalau dikasih 1 permintaan oleh jin lampu gosok.

            Oke. Satu hal yang ingin saya ubah ini sebenarnya nggak secara langsung terjadi dalam hidup saya, tapi sangat berkaitan. Gimana ya. Pokoknya, saya pingin, kalau bisa, saat malam di mana Kakek saya jatuh dari tangga, saya ada disana.

            Gara-gara kejadian jatuh dari tangga itu, sekira lima tahun yang lalu, Kakek saya menderita penyusutan otak kecil. Secara berangsur kemampuan motoriknya berkurang luar biasa. Padahal, Kakek adalah orang yang sangat suka bergerak dan bekerja.

            Kalau saja saya bisa, saya ingin balik ke malam itu dan ada di tangga rumah Kakek. Saya akan tangkap Kakek, atau menahan tubuhnya, supaya kepala beliau nggak terbentur lemari dan benjol.

            Saya punya masa kecil yang indah sekali dengan Kakek. Kakek adalah orang terbaik dan terpintar yang pernah saya temui. Dan, saya sudah bertemu banyak orang pintar (bukan paranormal, woy!). Kakek saya tipikal pendiam, tapi asik diajak ngobrol. Paham, nggak? Kakek bukan orang yang cerewet atau banyak bicara, tapi ngobrol apapun sama beliau selalu seru dan nyambung. Kakek juga orang yang humoris. Beliau suka bercanda, dan kadang bercandaannya bikin mikir saking cerdasnya beliau. Beliau suka begadang (sama kayak saya. Memang pertanda orang cerdas kayaknya, HAHAHA), sambil nonton film Jackie Chan di Trans TV. Kesukaannya memang film-film silat komedi kayak Jackie Chan itu.

            Sejak kecil, Kakek dikenal pintar. Ketika teman-teman seusia beliau main-main sepulang sekolah, beliau malah jalan kaki ke perpustakaan atau toko buku. Ketika teman-teman sebayanya membeli kue atau jajan, beliau malah beli perangko buat mengirim surat ke kedutaan. Berbekal Bahasa Inggris seadanya dan keberanian diri, beliau menulis surat buat para duta besar. Kakek cerita, suratnya sering dibalas. “Gimana jawabannya?” tanya saya waktu masih kecil. Kata Kakek, mereka semua ramah, senang katanya mendapat surat dari Kakek. Lalu, Kakek dihadiahi hadiah-hadiah kecil seperti majalah, alat tulis, kalender, pajangan, dll. Saya sama kakak terpukau mendengar cerita itu.

            Waktu SD atau SMP (saya lupa), Kakek mendapat penghargaan sebagai siswa teladan nomor satu di seluruh kota. Beliau menguasai hampir seluruh mata pelajaran, terutama hitung-hitungan. Sesuatu yang nggak nurun ke saya. Hahaha. Beliau juga jago menggambar. Makanya, beliau terjun ke bidang teknik selepas lulus sekolah menengah atas. Kakek langsung bekerja karena nggak bisa kuliah. Pada saat itu, kondisinya tidak memungkinkan baginya untuk kuliah.

            Kakek sudah keliling hampir seluruh Indonesia untuk mengerjakan proyek bangunan, mulai dari jembatan, jalan raya, gedung, dll. Kakek membelah hutan untuk proyek jalan raya. Kakek pernah lihat Pulau Komodo. Kakek bertugas pada bagian hitung-hitungan desain proyek. Nggak tahu juga namanya apa itu. Namun, saat kecil dulu dan Kakek masih bekerja disana, saya lihat banyak tumpukan kertas dengan gambar-gambar dan perhitungan yang rumit. Keren betul pokoknya. Kakek adalah orang keren nomor satu di dunia ini.

            Ibu saya cerita, katanya bahkan bos Kakek sendiri segan terhadap beliau. Dulu, mereka berdua satu sekolah. Teman Kakek berhasil masuk perguruan tinggi, sementara Kakek tidak karena masalah biaya. Mereka kemudian bertemu lagi di kantor yang sama.

            “Jangan salah, saya selalu tanya-tanya sama Pak Budi ini,” kata bos Kakek setiap beliau bertamu ke rumah Kakek. “Saya selalu minta pendapatnya.”

            Ketika pensiun, Kakek berjualan kue dengan nenek saya. Mereka bangun subuh hari jam 3, lalu membuat kue. Saya kadang terbangun dan penasaran dengan apa yang mereka kerjakan. Paginya, Kakek mengantarkan kue-kue itu ke pasar dan toko-toko. Setiap hari, selepas pulang mengantar kue, Kakek selalu membawakan saya dan kakak makanan ringan. Dan, Kakek tidak pernah nanggung. Ia selalu beli makanan ringan yang versi jumbo. “Kok belinya yang besar banget, Kek?” saya bertanya. Beliau menjawab, “Ya, biar puas makannya.”

            “Kalau uangnya habis gimana?” cecar saya dan kakak lagi.

            Kalau ditanyai begitu, Kakek selalu tertawa dengan mata menyipit dan bilang, “Ya tinggal cari lagi!”

            Kakek orang yang nggak pernah marah. Tidak pernah sekalipun saya dimarahi Kakek. Ibu saya, yang adalah anak Kakek dan hidup serumah lebih lama dengan Kakek, juga mengaku hanya satu kali seumur-umur dimarahi sama Kakek. Ceritanya, waktu itu Kakek lagi buru-buru, tapi Ibu saya yang masih kecil malah berlama-lama mainan di kamar mandi. Kakek pun marah. Tapi, ketika pulang dari urusannya, Kakek sepertinya menyesal dan membawakan Ibu makanan-makanan ringan.

            Saya juga nggak pernah dengar Kakek mengeluh. Bahkan sekilat kata-kata ‘duh’ saja. Nggak tahu kalau dalam hati atau di kesempatan lain. Tapi selama saya bersama Kakek, saya nggak pernah dengar kata itu keluar dari mulut beliau. Kakek selalu nampak tenang dan santai dalam berbagai situasi. Mungkin segala kemungkinan dan informasi beliau kalkulasi sendiri dalam pikirannya.

            Kakek juga orang yang suka bekerja. Meski sedang sakit kepala, beliau tetap mengusahakan bergerak. “Nanti tambah pusing,” katanya ketika saya bertanya kok nggak istirahat saja saat pusing. Beliau malah mengambil cangkul dan pergi ke kebun belakang, mengurusi tanaman singkongnya. Saya dan kakak selalu mengikuti Kakek ke kebun. Kami pernah bersama-sama menembus kebun Kakek jauh ke belakang, melewati kompleks kuburan, sawah, sungai, dll. Ternyata, ada ‘dunia’ lain di belakang kebun Kakek. Kami melewati sawah-sawah dengan pemandangan terasiring yang begitu indah. Kami bertemu dengan para petani yang selalu berhenti untuk ngobrol dengan Kakek. Itu kali pertama kami ke sana, dan belum pernah kembali lagi. Tanpa Kakek, saya yakin akan tersesat.

            Kakek adalah orang yang punya banyak talenta. Beliau bisa main harmonika dengan bagus banget. Bisa lagu apa saja! Saya kagum sekali waktu kecil dulu. Saya lalu minta ajari Kakek. “Do re mi nya gimana Kek?” Kakek mengendikkan bahu. “Mainnya itu pakai feeling saja.” Lah! Saya protes dong. Feeling bagaimana? Saya sudah pakai feeling tapi kok suaranya jadi asal banget kayak orang kesulitan napas. “Coba dari sini ke sini.” Kakek mengajari. Tapi tetap saja, suaranya jauh beda sama waktu Kakek melakukannya. Baru dua tahun lalu saya beneran bisa main harmonika. Tapi cuma satu lagu, Twinkle-Twinkle Little Star, itupun dengan napas patah-patah.

            Kakek baik pada hampir seluruh makhluk. Dulu, Kakek punya seekor ayam dengan kaki pincang yang selalu mengikuti Kakek kemanapun ia melangkah di kebun. Kakek bercerita kalau ayam ini dulu hampir dimakan musang, dan kakinya terluka hingga pincang. Sejak itu, ayam ini sering nggak kebagian makan karena kalah rebutan sama ayam-ayam lain. Jadi, setiap ia melihat Kakek di kebun, ia akan mengikuti Kakek ke manapun Kakek pergi untuk mendapat perlindungan. Kakek lalu memberi makan dia secara pribadi. Saya ingat, waktu kecil saya lihat ayam itu hampir selalu sendirian. Kasian, dia dibully sama teman-teman ayamnya waktu itu.

            Itu semua cerita sebelum Kakek jatuh sakit. Sekarang, Kakek sudah jauh berubah. Kakek kesulitan berjalan, jalannya lambat sekali. Beliau kesulitan bicara. Saya hampir nggak mengerti dengan apapun yang berusaha dikatakannya. Kakek kurus, jauh berbeda dengan dulu. Kakek pikun, beliau sering lupa saya siapa. Satu-satunya orang yang diingatnya hanya Nenek.

            Setiap saya pulang kampung, saya akan menemani Kakek duduk di beranda rumah sementara Nenek mengerjakan pekerjaan lain. Kakek diam saja, melihat pemandangan luar. Saya bercerita ngalor ngidul, cerita apapun yang bisa saya ceritakan. Kakek memang diam, tapi ia senang mendengarkan orang lain dan senang ketika melihat keluarganya berkumpul (walau ia lupa mereka siapa satu per satu). Saya cerita mulai dari kuliah, Olimpiade bulu tangkis (karena beliau suka bulu tangkis), lagu-lagu, kandang sapi, teman-teman, dan banyak hal lain. Saya bertanya-tanya padanya. Kakek berusaha keras untuk menjawab, sepatah dua patah kata. Dua tahun lalu, saya cerita ke Kakek bahwa saya pingin punya sapi. Kakek lalu bilang dengan terbata-bata bahwa di rumahnya dulu waktu masih kecil ada kandang sapi.

            Kali lain, saya menunjukkan buku gambar saya ke Kakek. “Kek, lihat. Aku coba-coba gambar. Ini Aristoteles, ini Socrates, ini patung Buddha, ini kumpulan orang lagi selfie, ini anjing Siberian husky…” Kakek menatapnya satu-satu, lalu dengan tertatih bilang sebaris kalimat yang nggak akan pernah saya lupa: “situ pintar nggambar, ya.”

            Keluar dari mulut seorang Kakek yang mungkin lupa saya siapa, seorang seniman sejati yang gambarannya jauh lebih bagus, seorang idola terkeren di seluruh dunia, bilang bahwa gambaran saya bagus. Saya tersenyum, tapi rasanya pengen nangis waktu itu. Saya lalu tertawa. “Hehehe, ini niru dari internet, kok. Makasih Kek.” Hanya itu yang akhirnya bisa saya ucapkan.

            Kakek mungkin lupa saya siapa waktu itu. Tapi, ketika saya pulang lagi ke Malang, Nenek telepon. Katanya, Kakek mencari-cari saya. Beliau bahkan ingat nama saya! Saya senang sekali. Saat itu saya semakin yakin, meski Kakek kelihatan diam saja atau minim reaksi ketika diajak ngobrol, beliau sadar bahwa saya ada disana. Beliau senang ‘mengobrol’ dengan saya. Beliau senang saya cerita nggak jelas dari A-Z dan balik lagi ke A.

            Kalau saja bisa, kalau saja. Saya ingin mengubah hari itu. Saya ingin supaya Kakek nggak perlu bangun tidur sambil masih setengah ngantuk untuk ke kamar mandi. Saya ingin supaya Kakek nggak jatuh dan terbentur. Mungkin sampai hari ini saya bisa mendengarnya bermain harmonika lagi. Jalan-jalan menembus kebun belakang, nonton Jackie Chan sampai larut malam, cerita-cerita tentang masa lalu Kakek yang lebih seru dari aktivitas saya waktu gabut.

            Tapi, meskipun hal itu nggak bisa, saya tetap bersyukur atas keberadaan Kakek terkeren di dunia dalam hidup saya. Saya bersyukur jadi cucunya. Saya bangga menyandang nama beliau di nama saya. Saya bahagia pernah memiliki masa-masa terbaik dengan Kakek.

 

*) Kakek saya meninggal dunia sekitar dua minggu lalu. Tulisan ini sudah jadi beberapa hari sebelumnya, tapi belum saya terbitkan sampai hari ini karena entah bagaimana ada perasaan yang mengganjal di hati saya. Mungkin ini sekaligus obituari bagi Kakek.

Selamat jalan, Kung! Jangan pernah lupa sama cucumu ini, ya!

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...