Langsung ke konten utama

A Retrospective's Bliss

 *) Lagunya Little Sur.

             Tema hari keduabelas: write a letter to a close friend that you lost contact with.

            Nah, tema ini susah, nih. Saya sudah coba pikir-pikir lama tapi belum ketemu juga. Temen-temen yang saya anggap dekat sejak dulu nggak pernah benar-benar lost contact sih, tapi memang sudah jarang ngobrol saja. Minimal, kami masih follow-follow-an medsos, lah. Kalau benar-benar lost contact, ya mungkin karena kami nggak sedekat itu.

            Ada sih, satu nama yang terlintas di kepala saya. Kalau dipikir-pikir sekarang, kita nggak yang dekat banget, tapi sering main bareng dan lumayan kenal. Orang ini belum saya dengar kabarnya lagi sampai sekarang, jadi kepikiran.

            Dia adalah tetangga saya. Dia anak perempuan yang agak lebih tua dari saya, mungkin cuma beda dua-tiga tahun. Kita panggil saja Lisa, biar kayak Blackpink. Lisa ini, seingat saya, cantik banget, rambutnya panjang, kulitnya langsat, mungkin kalau jaman sekarang dia ini termasuk kategori cewek hits. Karena umurnya lebih tua dari saya, saya panggil dia Mbak Lisa. Rumahnya kebetulan cuma berjarak dua rumah dari saya. Kenangan yang paling saya ingat adalah saat kami bertiga (saya, kakak, dan Mbak Lisa) main di rumahnya Mbak Lisa dan dibikinin es blewah. Itu kali pertama saya tahu ada buah namanya blewah. Makanya keingat sampai sekarang.

            Mbak Lisa nggak tinggal lama di kampung kami. Entah berapa tahun, dia dan keluarganya memutuskan pindah. Kalau nggak salah saya masih SD. Ingatan saya tentang Mbak Lisa samar sekali. Saya sudah lupa sama wajahnya, tapi saya ingat dia nggak seperti anak-anak kampung saat itu. Mungkin kalau di ibu kota dia sudah diorbitkan jadi artis, wkwk.

            Sejak kepindahannya, saya nggak pernah dengar kabar apapun darinya. Saat itu belum ada hape, belum kepikiran mau surat-suratan, pokoknya sama sekali kehilangan jejak, deh. Saya bahkan nggak ingat apakah dia bilang kalau mau pindah. Mungkin kami bisa minta alamat barunya saat itu.

            Rumah tempat tinggalnya dulu kemudian ditempati oleh beberapa orang silih berganti. Eksteriornya pun sudah banyak berubah. Sekilas ingatan tentang interior rumahnya yang saya suka juga sepertinya sudah tergantikan seiring datangnya pendatang baru.

            Kalau disuruh nulis sesuatu buat Mbak Lisa, saya ingin tanya bagaimana kabarnya. Sekarang tinggal dimana? Apa beneran pindah ke Jakarta terus jadi artis, dan karena sudah beranjak dewasa saya jadi nggak mengenali wajahnya lagi? Kalau benar demikian, selamat! Kalaupun enggak, bagaimanapun kehidupannya saat ini, semoga Mbak Lisa sehat-sehat dan bahagia.

            Mungkin itu saja. Nggak tahu mau ngomong apa lagi. Seiring kita beranjak dewasa, kemungkinannya dua, kita semakin mirip satu sama lain atau justru enggak. Bisa jadi sekarang kita sama-sama suka Lord of The Rings, suka game Crazy Taxi, suka baca buku “1001 Arti Nama Anak” dan “Kumpulan Tebak-Tebakan Lucu Dijamin Ngakak Aseli”. Atau justru, kita malah tumbuh jauh berbeda. Saya suka main layangan, dia main drone. Saya suka Lionel Messi, dia suka Lionel Richie. Saya nggak bisa naik motor, dia jadi pembalap motor. Dia temenan sama artis, saya hanya bisa memandangi dari layar kaca (*insert lagu Project Pop). Dan, itu nggak papa. Kita tumbuh dewasa dari pengalaman dan lingkungan. Kita nggak harus selalu sama, nggak harus selalu barengan. Saya tetep pingin ketemu kalaupun kita sudah jauh beda sama sekali. Walaupun bakal awkward, sih. Hahaha. Kalaupun sudah bukan jatahnya lagi untuk ketemu, juga nggak papa. Kadang, beberapa orang ditakdirkan hadir hanya di satu masa dalam hidup kita.

                Saya pingin mulai coba cari keberadaan Mbak Lisa. Masalahnya ada tiga. Pertama, saya nggak tahu nama lengkapnya! Cuma nama panggilannya saja, yang termasuk ke dalam "100 Nama Paling Banyak Dipakai di Indonesia." Kedua, saya lupa wajahnya. Jangan-jangan kita pernah satu angkot dan saling nggak sadar kalau kenal. Ketiga, saya nggak punya motivasi lebih macam urusan yang belum selesai atau apapun yang bikin Tim Termehek-Mehek tergerak untuk membantu saya. Ya cuma sekadar pengen reunian aja gitu lho, guys.

            Jadi, ya sudahlah pasrah saja. Saya serahkan pada dunia yang kadang suka bercanda ini. :)


#30DaysWritingChallenge: ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan saya akan menulis setiap hari sesuai tema yang telah ditentukan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...