Langsung ke konten utama

1979

 


Judul hari ini disponsori oleh Smashing Pumpkins, diambil dari one of their greatest album ever, Mellon Collie and The Infinite Sadness. Sebenarnya dibanding 1979 saya lebih suka Mayonaise dari album Siamese Dream, tapi kayaknya lagu ini lebih cocok dengan tema hari ini, hehe. Lagipula saya nggak begitu paham lagu Mayonaise cerita tentang apa……………

            ANYWAY.

            Tema hari kesepuluh: What is the biggest lesson you learned till now?

            The last sentence in Kevin Anggara’s article on this theme actually pretty much sums up what I have in mind. The biggest lesson I learned is to live. But hey, how’s that according to me?

            Saya baru sadar kalau hidup itu nggak cuma sekadar bernapas dan bergerak adalah waktu berumur 15 tahun. Tidak ada peristiwa khusus sebenarnya yang terjadi pada tahun itu, but damn, I feel like I was being slapped right in my face. Berbagai hal dan perasaan yang saya alami saat itu terakumulasi jadi satu kesadaran bahwa inilah hidup dan beginilah rasanya.

            Mungkin ya, mungkin banget lho ini, itu jugalah yang dirasakan Billy Corgan waktu nulis lagu 1979, yang menceritakan kehidupannya waktu ia berumur 12 tahun. Iya, 1979 itu tahun dimana Billy Corgan mengalami transisi menuju remaja. Lagu ini memang bertema coming of age. Nggak tahu Corgan beneran merasakan hal yang sama atau nggak, sotoy aja saya. Tapi, kalau bagi Corgan umur 12 tahun adalah umur yang menjadi titiknya memasuki masa baru dalam hidup, bagi saya umur 15 tahunlah saatnya.

            Bisa dibilang saat itu gejolak hidup saya secakep riff lagu 1979. Rasanya tidak ada sehari tanpa tertawa. Semua mimpi terasa sejangkauan tangan, dunia ini cuma bola bulat yang menggelinding di bawah kaki saya. Dan, saya berlarian bebas diatasnya. Saya bertemu orang-orang terbaik, mengalami hal-hal baru, menikmati apa yang saya lakukan saat itu. Karena hari-hari yang enjoy banget itulah mungkin saya jadi sedikit mencicipi apa itu kebahagiaan, sesuatu yang saya maknai sebagai saat dimana hidup hanya untuk hidup itu sendiri. Sesuatu yang kedengarannya abstrak, tapi berasa nyata saat dialami.

            Mungkin juga karena saat itu saya sering naik angkot. Naik angkot PP ada hampir dua jam sendiri. Saya punya banyak waktu untuk berkontemplasi sembari menikmati semilir angin dengan untaian nada indah dari Green Day sampai Hijau Daun. Dari balik jendela angkot yang kalau dibuka sudah merupakan workout tersendiri saking beratnya, saya melihat rupa-rupa manusia berseliweran di jalanan. Orang-orang yang naik motor, mobil, jalan kaki. Mereka yang lagi menghidupi hidup mereka.

            Intinya, tweet yang bilang kalau life starts at the age of 20, 50, 30, dll., itu omong kosong. Life starts when you realize you really are living. Setiap orang mungkin beda kapan. Nggak tahu juga. Bagi Billy Corgan mungkin waktu umur 12 tahun. Bagi saya waktu umur 15 tahun. Bagi Luffy D. Monkey mungkin waktu umur 7 tahun, waktu dia ketemu Shanks dan sejak saat itu bercita-cita menjadi bajak laut.

            Ketika kesadaran itu sudah ada, bukan berarti lantas hidup baik-baik saja. Sampai sekarang, saya sering merasa kehilangan perasaan “hidup” itu. Nggak tahu kenapa. Masih saya cari jawabnya. Semoga ketemu tahun ini. Hahaha.

            Saya pikir, hidup ini selalu tentang berpindah. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu masa ke masa lain. Dari satu perhentian ke perhentian lain. Setelah dari sini, saya punya begitu banyak angan ke mana nanti saya akan singgah. Saya berharap punya waktu dan kesempatan untuk itu semua, karena dunia ini, sebagaimanapun keras dan banyak boroknya, tetaplah sebuah tempat yang indah. Saya berdoa semoga kaki ini bisa membawa saya berjalan sejauh mungkin.

            Jadi, pelajaran terbesarnya apa? Untuk menghidupi. Untuk mengalami. Untuk menyadari. Suatu anugerah bernama kehidupan.  


#30DaysWritingChallenge : ini adalah tantangan untuk menulis rutin kepada diri sendiri. Selama 30 hari ke depan saya akan menulis setiap hari sesuai tema yang telah ditentukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...