Langsung ke konten utama

Women Portrayal in Indonesian Horror Cinema: A Feminist Critique


Konstruksi akan gender, yang terbagi ke dalam feminitas dan maskulinitas, bukanlah kualitas esensial yang melekat pada subjek, akan tetapi masalah representasi (Barker & Jane, 2016). Melalui literatur, budaya populer, maupun pertunjukan, representasi akan perempuan dan laki-laki dibangun sebagai bentuk ekspresi realitas sosial atau distorsi dari realitas tersebut (Barker & Jane, 2016). Khususnya dalam kerangka feminisme, kritik terhadap representasi muncul seiring berkembangnya asumsi tersebut. Seringkali imaji yang ditampilkan tentang perempuan dilihat dari perspektif laki-laki yang menimbulkan misrepresentasi atas perempuan yang ‘sesungguhnya’. Dalam konteks social power, hal ini dapat berdampak pada relasi gender dan konsekuensi yang mungkin terjadi. Dinamika ini dikenal dengan istilah ‘politics of representation(Barker & Jane, 2016).

            Sebagai bentuk budaya populer, film merupakan institusi sosial atau bentuk media komunikasi massa yang dapat memengaruhi audiensnya sebab mampu menjangkau berbagai segmen sosial dengan diseminasi informasi yang cepat (Amaliananda et al., 2017). Selain itu, film juga mampu menjangkau emosi, suatu bentuk alam bawah sadar manusia yang dapat membentuk persepsi tanpa disadari. Karena menampilkan gambaran tentang laki-laki dan perempuan dengan karakter dan makna yang berbeda-beda, psikolog menilai bahwa hal ini dapat memengaruhi cara pandang masyarakat dalam melihat realita sosial (Alzahrani, 2016). Hal ini dapat menstimulasi perilaku anti-sosial seperti kekerasan, kejahatan (Alzahrani, 2016). Sementara itu, dalam pandangan feminis kritis, media massa seperti film juga dapat dilihat sebagai agen male chauvinism (Alzahrani, 2016).  

            Imaji yang ditampilkan dalam film biasanya berangkat dari stereotype, yang dapat mengurangi kualitas individual ke dalam bentuk yang dilebih-lebihkan dan negatif. Representasi yang ditampilkan secara masif dalam sinema akan berpengaruh pada bagaimana realitas sosial terkonstruksi. Dalam studinya pada tahun 1983, Diana Meehan menganalisis apa saja jenis representasi perempuan yang ditampilkan dalam siaran hiburan televisi Amerika Serikat. Ia memperoleh kesimpulan bahwa perempuan yang ‘baik’ ditampilkan sebagai sosok yang submisif, sensitif, dan rumahan, sementara perempuan yang ‘nakal’ ditampilkan sebaliknya—keras kepala, independen, dan mementingkan diri sendiri (Barker & Jane, 2016). Beberapa contoh stereotip yang umum antara lain (1) the imp (anak nakal, setan, berandal) yang digambarkan sebagai pemberontak, tomboy, dan aseksual; (2) the good wife (istri yang baik) yang digambarkan bersifat domestik, atraktif, suka melakukan pekerjaan rumah; (3) the harpy (diambil dari mitologi Yunani, makhluk mitos yang digambarkan berwujud setengah wanita setengah burung yang cantik. Diasosiasikan dengan perebut pria). Biasanya dideskripsikan sebagai wujud wanita yang menawan, agresif, dan lajang; (4) the bitch (jalang) yang digambarkan bersifat licik, suka menggoda, dan manipulatif; (5) the victim (korban) yang digambarkan bersifat pasif, selalu menderita oleh karena kekerasan; (6) the decoy (pemikat) yang dideskripsikan sebagai perempuan yang terlihat lemah padahal sebetulnya kuat; (7) the siren (penggoda) yang digambarkan memikat pria secara seksual dan mengarahkan mereka pada akhir yang buruk; (8) the courtesan (pelacur) yang biasanya digambarkan mendiami salon, cabaret, atau prostitusi; (9) the witch (penyihir) yang digambarkan memiliki power yang lebih namun tetap menjadi subordinasi dari pria; dan (10) the matriarch (ibu pemimpin keluarga) yang digambarkan memiliki kekuasaan dalam peran keluarga, sudah berusia lanjut, dan tidak memiliki ketertarikan seksual (Barker & Jane, 2016). Sementara itu, tokoh pria memiliki diferensiasi peran yang lebih luas dan seringkali ditampilkan sebagai pahlawan, memiliki petualangan sendiri, dan menjadi tokoh utama dalam petualangan tersebut.

            Kendati demikian, yang lebih mengejutkan, representasi perempuan seperti yang telah dikategorikan oleh Meehan ternyata tidak hanya pada media Amerika Serikat saja, tapi juga secara global terdapat penggambaran yang konsisten atas perempuan yang dikomodifikasi dan distereotipkan dalam citra biner (Barker & Jane, 2016). Representasi yang sama muncul di India, dengan atribut yang berbeda antara karakter laki-laki dengan perempuan. Laki-laki misalnya, digambarkan rasional, dominan, decisive, dan percaya diri. Sementara itu, perempuan seringkali dihubungkan dengan atribut seperti dependen, sangat ingin menyenangkan orang lain, emosional, sentimental, dan melihat dunia melalui relasi keluarga.

            Ditarik lebih jauh ke seni dan literatur Barat abad pertengahan, representasi perempuan sebagai subordinasi dan diperlakukan seperti komoditas juga muncul. Sebagai contoh seperti drama “The Taming of the Shrew” karya Shakespeare. Drama ini menceritakan upaya seorang laki-laki untuk ‘menjinakkan’ seorang perempuan melalui perlakuan-perlakuan material.

            Di Indonesia, kecenderungan memakai stereotip tertentu pada perempuan terlihat dari maraknya homogenisasi atau keseragaman sifat perempuan baik dan jahat di sinema-sinema film televisi, seperti serial “Azab”, “Kisah Nyata”, dan “Pintu Berkah”. Perempuan selalu direpresentasikan dengan oposisi biner. Perempuan “baik”, digambarkan sebagai perempuan yang solehah, paham agama, dan tanpa cela. Ia biasanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, sekalipun bekerja namun bukan untuk menghidupi dirinya sendiri. Perempuan yang “jahat”, selalu digambarkan sebagai perempuan yang tidak paham agama, seduktif, membawa laki-laki ke kehancuran, dsb. Ketika perempuan “baik” ini disakiti, semua yang bisa ia lakukan hanyalah mengeluh, menangis, dan mengadukannya kepada Tuhan. Ia seringkali digambarkan sebagai sosok lemah yang tidak dapat berkonfrontasi dengan laki-laki. Jalan cerita yang hampir pasti, dengan alur yang mudah ditebak dan karakter yang hampir selalu mirip, kisah-kisah dalam film televisi ini mendapat popularitas yang merebak di kalangan masyarakat Indonesia. Popularitas ini tentu menimbulkan pertanyaan tersendiri.

            Studi kasus yang menarik diperlihatkan oleh sinema horor. Demi menjaga kerampingan tulisan dan fokus esai, sinema horor dipilih untuk secara khusus menganalisis bagaimana perempuan direpresentasikan. Hal ini disebabkan karena sinema horor memiliki beberapa keunikan yang dapat dilacak sejarahnya dari era 70-an, pasca jatuhnya rezim Orde Baru, dan pasca Reformasi. Ketiga periodisasi ini menunjukkan adanya representasi perempuan yang berbeda dengan nilai dan dampak yang dibawa kepada masyarakat. Beberapa pola representasi yang berhasil penulis temukan antara lain feminine grotesque, femme fatale, serta komodifikasi tubuh dan seksualitas perempuan.

            Dalam esainya mengenai feminine grotesque dalam sinema horor Indonesia, Veronika Kusumaryati membagi periodisasi film horor Indonesia ke dalam dua masa, yakni pada masa Orde Baru (1967-1998) dan pasca-Orde Baru atau Reformasi. Ia melihat bahwa meski keduanya sama-sama memiliki esensi feminine grotesque yang ditampilkan sebagai ciri utama sang hantu, akan tetapi masing-masing menunjukkan elemen sosio-politik yang berbeda. Akan tetapi, meski telah menyinggung mengenai potret perempuan dalam sinema horor, di akhir esainya Kusumaryati masih belum dapat menjawab pertanyaan mengenai representasi misoginis mengenai perempuan dalam sinema horor Indonesia (Kusumaryati, 2016). Bahwa representasi tersebut dipengaruhi oleh masyarakat patriarkis dan bentuk problematika sosial, kultural, dan politis, tentu. Namun bagaimana hal ini diejawantahkan dalam film horor Indonesia merupakan sesuatu yang lain. Adapun, esai Kusumaryati masih terbatas pada genre grotesque, sementara representasi perempuan dalam film horor Indonesia memiliki dimensi yang lebih luas lagi. Penulis akan mencoba untuk lebih mengeksplorasi jenis-jenis representasi tersebut dan bagaimana hal ini dilihat dalam pendekatan feminis.

            Film horor di Indonesia didominasi oleh jenis film horor dengan tokoh sentral hantu dan keunikannya. Film-film subgenre horor lainnya semisal thriller atau slasher kurang populer di Indonesia. Karenanya, kita bisa menemukan berbagai judul film dengan persona hantu yang berbeda-beda, misal “Jelangkung”, “Kuntilanak”, “Pocong”, “Sundel Bolong”, “Pembalasan Ratu Selatan”, “Wewe”, “Genderuwo”, dll. Karena itu, persona hantu tersebut menjadi sesuatu yang krusial sebab akan menceritakan banyak hal dari film tersebut.

            Keistimewaan sinema horor Indonesia lainnya adalah genre grotesque yang banyak dipakai mulai dari era 70-an hingga sekarang. Genre ini mengangkat hal-hal yang aneh, absurd, dan abnormal, yang ditampilkan dalam penampilan fisik serta aspek monster-ness persona hantu tersebut (Fiumara, 2012). Pendekatan yang dipakai dalam melihat aspek grotesque dalam sinema horor adalah melalui bagaimana rupa fisik mereka dan darimana mereka datang (Kusumaryati, 2016), atau latar belakang kemunculan mereka. Salah satu aspek paling penting dari karakter hantu ini adalah tubuh perempuan yang banyak digunakan sebagai tokoh hantu (Kusumaryati, 2016).

            Penggunaan hantu perempuan dalam sinema horor Indonesia menunjukkan bagaimana kultur problematis seksualitas perempuan di Indonesia (Kusumaryati, 2016). Dalam sejarah perkembangannya, fenomena ini sangat dipengaruhi oleh budaya dan resonansi politik di Indonesia. Senada dengan yang diungkapkan oleh Meehan dalam studinya, analisis Stephen Galdwin di tahun 2003 juga menunjukkan bahwa representasi perempuan dalam sinema horor di Indonesia juga mengalami stereotip biner. Ada stereotip perempuan yang jahat dan meresahkan masyarakat dengan perempuan domestik yang tradisional dan patuh terhadap aturan. Menurut Galdwin, hal ini menunjukkan fungsi ideologis yang sejalan dengan ideologi Orde Baru untuk mempertahankan tatanan sosial (Kusumaryati, 2016). Analisis lain oleh Robert Wessing yang ditunjukkan Kusumaryati juga memperlihatkan bagaimana fenomena keperempuanan hantu-hantu dalam sinema horor Indonesia dipengaruhi oleh sejarah traumatis seperti kerusuhan Mei ’98, dimana banyak korban-korban pemerkosaan dan pembunuhan berjatuhan.

            Salah satu yang menarik dari aspek feminitas dalam sinema horor Indonesia adalah bagaimana penggambaran dari tokoh perempuan tersebut. Tokoh-tokoh seperti Kuntilanak dan Sundel Bolong selalu digambarkan sebagai perempuan yang mengalami masa lalu pahit yang berhubungan dengan laki-laki, lalu kembali dari kematian untuk membalaskan dendam tersebut. Mereka biasanya seorang primadona yang mengalami tindak perkosaan dan pembunuhan, atau hamil dan memutuskan bunuh diri. Sementara itu, tokoh sang pria masih bisa hidup dengan nyaman dan aman masyarakat seolah terlindungi dari perbuatannya di masa lalu. Yang menarik, kemunculan hantu-hantu perempuan ini selalu memiliki motif balas dendam yang baru bisa mereka lakukan dari alam kubur. Hal ini kemudian terejawantahkan melalui penampilan fisik yang karakter hantu tersebut yang ditampilkan dalam rupa unik seperti Sundel Bolong dan bagian perutnya yang bolong karena melahirkan, dsb. Representasi-representasi tersebut menunjukkan bahwa elemen ketubuhan memainkan peran yang penting (Kusumaryati, 2016). Bagaimana penampilan fisik mereka yang direpresentasikan secara terdistrosi dan menakutkan ini kemudian memunculkan imaji bahwa tubuh perempuan adalah sesuatu yang mengerikan, kurang, dan keanehan ini sarat akan konotasi ketakutan dan kebencian (Kusumaryati, 2016).

            Film-film horor terbaru seperti “Danur” (2017) menunjukkan narasi penokohan dan motif pembalasan dendam yang hampir serupa. Tokoh hantu Asih diceritakan sebagai perempuan yang memutuskan bunuh diri setelah ia membunuh bayinya yang merupakan hasil dari hubungan zina. Ia kemudian gentayangan dan berusaha menculik anak-anak sebagai upaya untuk mengganti bayi yang telah dibunuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang kemunculan hantu-hantu perempuan seringkali dilatarbelakangi oleh kejadian yang hampir sama. Mulai dari Kuntilanak, Sundel Bolong, sampai hantu Asih, ketiganya memiliki latar belakang dan motif yang tidak muncul secara tiba-tiba. Hantu lain yang dikonotasikan berjenis kelamin laki-laki, seperti misal Genderuwo, muncul sebagai sekadar tokoh hantu saja, yang ada karena ada. Jarang sekali menunjukkan masa lalunya karena dalam narasi tersebut ia memang tidak memiliki masa lalu. Ia muncul begitu saja, di rumah kosong, hutan, dan sebagainya. Berbeda dari hantu perempuan yang seringkali berangkat dari peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan, menunjukkan bahwa ada latar belakang traumatis yang mengakibatkan kehadirannya.

            Hal lain yang seragam adalah bagaimana narasi tentang pemerkosaan dan kekerasan terhadap wanita ditampilkan dalam sinema tersebut. Bukan secara kebetulan semua korban wanita ini membalas dendam. Mereka membalas dendam karena pelaku masih bisa hidup dengan aman dan sejahtera. Hal itu menunjukkan kultur problematis bahwa masyarakat tidak bisa menghukum pelaku sampai-sampai harus sang korban sendiri yang datang dari dunia lain untuk menghukumnya. Jarang—atau mungkin tidak pernah—ada sanksi sosial yang datang dari masyarakat dan diceritakan dalam film bagi para pelaku. Sang perempuan sebagai korban yang harus menanggung trauma tersebut sendirian dan akhirnya memilih untuk melakukan bunuh diri. Hal itu secara tak langsung menunjukkan bahwa dalam masyarakat patriarkis, perempuan tidak dapat mengungkapkan apa yang dialaminya dan memperjuangkan keadilannya. Perempuan hanya bisa diam, memilih untuk mengakhiri hidupnya, sementara pelaku pria masih bisa hidup sejahtera tanpa tekanan apapun. Tidak ada pembalasan dendam di dunia material ini karena perempuan tidak bisa membela dirinya. Balas dendam itu baru mungkin untuk dilakukan setelah ia menjadi arwah.

            Kritik ini diperkuat oleh Wulandari Pratiwi dalam artikelnya di Jakarta Post. Dalam penelitian sosiolinguistiknya tentang dominasi perempuan dalam sinema horor Indonesia melalui sampel empat film horor, ia menemukan bahwa hantu perempuan baru digambarkan sebagai sosok yang kuat dan dominan di dunia supernatural, berbanding terbalik dengan ketika ia ada di kehidupan sebelumnya sebagai korban pelecehan seksual yang hidup dalam tekanan (Pratiwi, 2018). Hal ini menunjukkan bagaimana posisi inferior perempuan di dunia nyata sehingga dominasi yang mereka lakukan hanya dapat dilakukan di dunia supernatural.

            Di tahun 70-an, narasi film horor kebanyakan bermula dari cerita tentang desa tempat seorang protagonis wanita yang biasanya primadona dan religius tinggal bersama kekasihnya yang biasanya keturunan Eurasia, dengan wajah tampan dan heroik (Kusumaryati, 2016). Kemudian, seorang antagonis yang selalu laki-laki akan mencoba untuk menghancurkan hidup protagonis perempuan dengan upaya pemerkosaan dan pembunuhan. Sang protagonis perempuan akhirnya meninggal, menjadi hantu, dan membalaskan dendamnya pada laki-laki tersebut. Di akhir narasi, pemuka agama—yang selalu laki-laki—muncul dan membebaskan jiwa hantu tersebut.

            Narasi yang sama banyak didapatkan di sinema-sinema horor di masa sekarang. Meskipun motif dan kejadian masa lalu yang dialami hantu tersebut berbeda, akan tetapi satu hal yang sama adalah scene akhir yang menunjukkan pembebasan jiwa hantu tersebut. Seorang pemuka agama yang berjenis kelamin pria selalu muncul di akhir sebagai pahlawan dan membebaskan jiwa hantu perempuan itu dari ikatan duniawi.

            Selain itu, aspek grotesque yang lain dimunculkan melalui scene-scene humoris untuk melengkapi film horor. Di era 70-an, peran ini hampir pasti dimainkan oleh tokoh Hansip, yang merupakan level paling rendah penegak keamanan yang diciptakan Orde Baru (Kusumaryati, 2016). Mereka menunjukkan ketidakpatuhan sipil dengan menertawakan hal paling serius sekalipun (Kusumaryati, 2016). Karakter film-film horor masa ini lebih kompleks lagi, biasanya ditunjukkan dengan beberapa karakter stereotipikal seperti remaja tampan dan heroik, gadis pemberani, gadis manja yang seksi, dan remaja gendut yang konyol (Kusumaryati, 2016). Representasi visual dan narasi inilah yang menunjukkan genre grotesque dalam sinema horor Indonesia, yakni melalui representasi visual aneh dan mengerikan serta gabungan dari dua ekstrem yang berbeda.

            Representasi visual dan narasi atas hantu perempuan inilah yang dipermasalahkan, dimana mereka menjadi monster dan di sisi lain juga menjadi korban, yang menyiratkan ideologi konservatif masyarakat patriarkal (Kusumaryati, 2016). Tubuh perempuan dinarasikan dengan transformasi yang sedemikian rupa, menunjukkan problem hierarkis yang masih ada dalam masyarakat.

            Representasi stereotipikal lain yang menunjukkan distorsi besar-besaran atas keperempuanan muncul dari karakter-karakter sensual dalam sinema horor Indonesia. Meski tidak sedang menyinggung konteks feminitas, Makbul Mubarak menyebut judul-judul seperti “Rintihan Kuntilanak Perawan” dan “Pocong Mandi Goyang Pinggul” sebagai bentuk-bentuk film horor yang sengaja memasukkan nama-nama artis porno untuk mengundang perhatian audiens (Mubarak, 2016). Kendati film-film ini bukanlah film porno dan tidak mengandung adegan telanjang, persona porno tersebut tetap ada dan memengaruhi bagaimana film tersebut diterima dalam masyarakat (Mubarak, 2016).

            Representasi perempuan melalui eksploitasi seksual atau sexploitation semacam ini muncul dalam beberapa film horor Indonesia, seperti Sundel Bolong (1981), Gairah Malam III (1996), dan Air Terjun Pengantin (2009), seperti riset yang dilakukan oleh Anggit Pangastuti dalam tesisnya. Ketiganya mewakili tiga periode politik dalam sejarah Indonesia, yakni Orde Baru, masa transisi, dan pasca Orde Baru (Pangastuti, 2019). Penelitiannya menemukan bahwa perempuan direpresentasikan sebagai objek seksual untuk dinikmati oleh audiens laki-laki heteroseksual, melalui dua kategori biner perempuan ‘baik’ dan ‘buruk’ (Pangastuti, 2019). Hal ini menampilkan bagaimana secara politis imaji tentang perempuan pada masa Orde Baru yang diharapkan untuk pasif, tunduk, dan tidak berdaya. Sementara itu, meskipun memiliki karakter yang lebih kompleks dengan penggambaran sebagai penyintas yang mandiri di masa pasca Orde Baru, tetapi perempuan masih belum bisa sepenuhnya lepas dari patriarki (Pangastuti, 2019).

            Dalam analisis semiotiknya tentang film “Setan Jamu Gendong”, Octavita dan Zaimar menunjukkan seksualitas perempuan yang erat dalam tokoh sang penjual jamu. Hal ini terlihat dari stereotip yang terdapat dalam penjual jamu yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Dengan pakaian dan suara yang dijadikan objek seksual dan menempatkan sang perempuan dalam posisi tersebut, menarik perhatian laki-laki untuk kemudian memerkosa sang penjual jamu (Octavita & Zaimar, 2018).

            Dari berbagai analisis atas film-film horor Indonesia, melalui penokohan dan latar belakang cerita yang dibangun, dapat ditarik kesimpulan bahwa representasi perempuan dalam sinema horor Indonesia masih didasari atas konstruksi patriarkis yang berkembang di masyarakat Indonesia sejak lama. Secara sosio-kultural, imaji tentang perempuan telah berkembang dan diperkuat oleh media, salah satunya bahkan sebagai bentuk penguatan ideologis di masa Orde Baru. Dari sudut pandang feminisme, hal ini semata-mata bukanlah kebetulan. Ada konstruksi yang dibangun dalam masyarakat yang diangkat atas realitas sosial (masyarakat patriarki, subordinasi perempuan), dan distorsi realitas sosial (sexploitasi, stereotip) akan perempuan. Hal ini dapat terlihat melalui bagaimana penggambaran akan hantu perempuan yang terlihat dari feminine gretosque, latar belakang cerita dan penokohan yang hampir seragam, serta eksploitasi seksual yang dilakukan untuk mengundang perhatian dari audiens laki-laki. Representasi ini baik secara sadar maupun tidak telah melanggengkan gagasan subordinasi perempuan dalam masyarakat patriarkis.


*) Tulisan ini merupakan tugas individu saya untuk mata kuliah Perspektif Alternatif dalam HI. :) 

 

Referensi

Alzahrani, F. (2016). The portrayal of Women and Gender Roles in Films. International Journal of Scientific & Engineering Research, 7(4), 533. http://www.ijser.org

Amaliananda, A., Rahayu, L. P., Hidayati, R. N., & Savira, N. A. (2017). Gender-role portrayals in Indonesian movies. Proceedings on Social Science and Humanities, 1(2012).

Barker, C., & Jane, E. A. (2016). Cultural Studies: Theory and Practice (C. Rojek (ed.); 5th editio). SAGE Publications Ltd.

Fiumara, J. J. (2012). Grotesque Attractions: Genre History, Popular Entertainment, and the Origins of the Horror Film. https://repository.upenn.edu/dissertations/AAI3509002/

Kusumaryati, V. (2016). The Feminine Grotesque in Indonesian Horror Films. Cinema Poetica. https://cinemapoetica.com/the-feminine-grotesque-in-indonesian-horror-films/

Mubarak, M. (2016). Raping Aoi: Censorship Board and Adult Film Stars in Indonesian Horrors. Cinema Poetica. https://cinemapoetica.com/raping-aoi-censorship-board-and-adult-film-stars-in-indonesian-horrors/

Octavita, R. A. I., & Zaimar, Y. S. (2018). Semiotic in Interpreting the Text of Women’s Role Indonesian Horror Film in “Setan Jamu Gendong.” Journal of English Language and Culture, 9(1), 72–79. https://doi.org/10.30813/jelc.v9i1.1452

Pangastuti, A. (2019). Female Sexploitation in Indonesian Horror Films: Sundel Bolong ( A Perforated Prostitute Ghost , 1981 ), Gairah Malam III ( Night Passion III , 1996 ), and Air Terjun Pengantin ( Lost Paradise – Playmates in Hell , 2009 ).

Pratiwi, W. (2018). Women should not only be powerful as ghosts. The Jakarta Post.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...