Konstruksi akan gender, yang terbagi ke dalam feminitas dan maskulinitas, bukanlah kualitas esensial yang melekat pada subjek, akan tetapi masalah representasi (Barker & Jane, 2016). Melalui literatur, budaya populer, maupun pertunjukan, representasi akan perempuan dan laki-laki dibangun sebagai bentuk ekspresi realitas sosial atau distorsi dari realitas tersebut (Barker & Jane, 2016). Khususnya dalam kerangka feminisme, kritik terhadap representasi muncul seiring berkembangnya asumsi tersebut. Seringkali imaji yang ditampilkan tentang perempuan dilihat dari perspektif laki-laki yang menimbulkan misrepresentasi atas perempuan yang ‘sesungguhnya’. Dalam konteks social power, hal ini dapat berdampak pada relasi gender dan konsekuensi yang mungkin terjadi. Dinamika ini dikenal dengan istilah ‘politics of representation’ (Barker & Jane, 2016).
Sebagai bentuk budaya populer, film merupakan institusi sosial atau bentuk media komunikasi massa yang dapat memengaruhi audiensnya sebab mampu menjangkau berbagai segmen sosial dengan diseminasi informasi yang cepat (Amaliananda et al., 2017). Selain itu, film juga mampu menjangkau emosi, suatu bentuk alam bawah sadar manusia yang dapat membentuk persepsi tanpa disadari. Karena menampilkan gambaran tentang laki-laki dan perempuan dengan karakter dan makna yang berbeda-beda, psikolog menilai bahwa hal ini dapat memengaruhi cara pandang masyarakat dalam melihat realita sosial (Alzahrani, 2016). Hal ini dapat menstimulasi perilaku anti-sosial seperti kekerasan, kejahatan (Alzahrani, 2016). Sementara itu, dalam pandangan feminis kritis, media massa seperti film juga dapat dilihat sebagai agen male chauvinism (Alzahrani, 2016).
Imaji yang ditampilkan dalam film
biasanya berangkat dari stereotype, yang dapat mengurangi kualitas
individual ke dalam bentuk yang dilebih-lebihkan dan negatif. Representasi yang
ditampilkan secara masif dalam sinema akan berpengaruh pada bagaimana realitas
sosial terkonstruksi. Dalam studinya pada tahun 1983, Diana Meehan menganalisis
apa saja jenis representasi perempuan yang ditampilkan dalam siaran hiburan
televisi Amerika Serikat. Ia memperoleh kesimpulan bahwa perempuan yang ‘baik’
ditampilkan sebagai sosok yang submisif, sensitif, dan rumahan, sementara perempuan
yang ‘nakal’ ditampilkan sebaliknya—keras kepala, independen, dan mementingkan
diri sendiri (Barker & Jane, 2016). Beberapa contoh
stereotip yang umum antara lain (1) the imp (anak nakal, setan,
berandal) yang digambarkan sebagai pemberontak, tomboy, dan aseksual; (2) the
good wife (istri yang baik) yang digambarkan bersifat domestik, atraktif,
suka melakukan pekerjaan rumah; (3) the harpy (diambil dari mitologi
Yunani, makhluk mitos yang digambarkan berwujud setengah wanita setengah burung
yang cantik. Diasosiasikan dengan perebut pria). Biasanya dideskripsikan
sebagai wujud wanita yang menawan, agresif, dan lajang; (4) the bitch (jalang)
yang digambarkan bersifat licik, suka menggoda, dan manipulatif; (5) the
victim (korban) yang digambarkan bersifat pasif, selalu menderita oleh
karena kekerasan; (6) the decoy (pemikat) yang dideskripsikan sebagai
perempuan yang terlihat lemah padahal sebetulnya kuat; (7) the siren (penggoda)
yang digambarkan memikat pria secara seksual dan mengarahkan mereka pada akhir
yang buruk; (8) the courtesan (pelacur) yang biasanya digambarkan
mendiami salon, cabaret, atau prostitusi; (9) the witch (penyihir) yang
digambarkan memiliki power yang lebih namun tetap menjadi subordinasi
dari pria; dan (10) the matriarch (ibu pemimpin keluarga) yang
digambarkan memiliki kekuasaan dalam peran keluarga, sudah berusia lanjut, dan
tidak memiliki ketertarikan seksual (Barker & Jane, 2016). Sementara itu,
tokoh pria memiliki diferensiasi peran yang lebih luas dan seringkali
ditampilkan sebagai pahlawan, memiliki petualangan sendiri, dan menjadi tokoh
utama dalam petualangan tersebut.
Kendati demikian, yang lebih
mengejutkan, representasi perempuan seperti yang telah dikategorikan oleh
Meehan ternyata tidak hanya pada media Amerika Serikat saja, tapi juga secara
global terdapat penggambaran yang konsisten atas perempuan yang dikomodifikasi
dan distereotipkan dalam citra biner (Barker & Jane, 2016). Representasi
yang sama muncul di India, dengan atribut yang berbeda antara karakter
laki-laki dengan perempuan. Laki-laki misalnya, digambarkan rasional, dominan, decisive,
dan percaya diri. Sementara itu, perempuan seringkali dihubungkan dengan
atribut seperti dependen, sangat ingin menyenangkan orang lain, emosional,
sentimental, dan melihat dunia melalui relasi keluarga.
Ditarik lebih jauh ke seni dan
literatur Barat abad pertengahan, representasi perempuan sebagai subordinasi
dan diperlakukan seperti komoditas juga muncul. Sebagai contoh seperti drama
“The Taming of the Shrew” karya Shakespeare. Drama ini menceritakan upaya
seorang laki-laki untuk ‘menjinakkan’ seorang perempuan melalui
perlakuan-perlakuan material.
Di Indonesia, kecenderungan memakai
stereotip tertentu pada perempuan terlihat dari maraknya homogenisasi atau
keseragaman sifat perempuan baik dan jahat di sinema-sinema film
televisi, seperti serial “Azab”, “Kisah Nyata”, dan “Pintu Berkah”. Perempuan
selalu direpresentasikan dengan oposisi biner. Perempuan “baik”, digambarkan
sebagai perempuan yang solehah, paham agama, dan tanpa cela. Ia biasanya
bekerja sebagai ibu rumah tangga, sekalipun bekerja namun bukan untuk
menghidupi dirinya sendiri. Perempuan yang “jahat”, selalu digambarkan sebagai
perempuan yang tidak paham agama, seduktif, membawa laki-laki ke kehancuran,
dsb. Ketika perempuan “baik” ini disakiti, semua yang bisa ia lakukan hanyalah
mengeluh, menangis, dan mengadukannya kepada Tuhan. Ia seringkali digambarkan
sebagai sosok lemah yang tidak dapat berkonfrontasi dengan laki-laki. Jalan
cerita yang hampir pasti, dengan alur yang mudah ditebak dan karakter yang
hampir selalu mirip, kisah-kisah dalam film televisi ini mendapat popularitas
yang merebak di kalangan masyarakat Indonesia. Popularitas ini tentu menimbulkan
pertanyaan tersendiri.
Studi kasus yang menarik
diperlihatkan oleh sinema horor. Demi menjaga kerampingan tulisan dan fokus
esai, sinema horor dipilih untuk secara khusus menganalisis bagaimana perempuan
direpresentasikan. Hal ini disebabkan karena sinema horor memiliki beberapa
keunikan yang dapat dilacak sejarahnya dari era 70-an, pasca jatuhnya rezim
Orde Baru, dan pasca Reformasi. Ketiga periodisasi ini menunjukkan adanya
representasi perempuan yang berbeda dengan nilai dan dampak yang dibawa kepada
masyarakat. Beberapa pola representasi yang berhasil penulis temukan antara
lain feminine grotesque, femme fatale, serta komodifikasi tubuh dan
seksualitas perempuan.
Dalam esainya mengenai feminine
grotesque dalam sinema horor Indonesia, Veronika Kusumaryati membagi
periodisasi film horor Indonesia ke dalam dua masa, yakni pada masa Orde Baru
(1967-1998) dan pasca-Orde Baru atau Reformasi. Ia melihat bahwa meski keduanya
sama-sama memiliki esensi feminine grotesque yang ditampilkan sebagai
ciri utama sang hantu, akan tetapi masing-masing menunjukkan elemen
sosio-politik yang berbeda. Akan tetapi, meski telah menyinggung mengenai
potret perempuan dalam sinema horor, di akhir esainya Kusumaryati masih belum
dapat menjawab pertanyaan mengenai representasi misoginis mengenai perempuan
dalam sinema horor Indonesia (Kusumaryati, 2016). Bahwa
representasi tersebut dipengaruhi oleh masyarakat patriarkis dan bentuk
problematika sosial, kultural, dan politis, tentu. Namun bagaimana hal ini
diejawantahkan dalam film horor Indonesia merupakan sesuatu yang lain. Adapun,
esai Kusumaryati masih terbatas pada genre grotesque, sementara
representasi perempuan dalam film horor Indonesia memiliki dimensi yang lebih
luas lagi. Penulis akan mencoba untuk lebih mengeksplorasi jenis-jenis
representasi tersebut dan bagaimana hal ini dilihat dalam pendekatan feminis.
Film horor di Indonesia didominasi
oleh jenis film horor dengan tokoh sentral hantu dan keunikannya. Film-film
subgenre horor lainnya semisal thriller atau slasher kurang
populer di Indonesia. Karenanya, kita bisa menemukan berbagai judul film dengan
persona hantu yang berbeda-beda, misal “Jelangkung”, “Kuntilanak”, “Pocong”,
“Sundel Bolong”, “Pembalasan Ratu Selatan”, “Wewe”, “Genderuwo”, dll. Karena
itu, persona hantu tersebut menjadi sesuatu yang krusial sebab akan
menceritakan banyak hal dari film tersebut.
Keistimewaan sinema horor Indonesia
lainnya adalah genre grotesque yang banyak dipakai mulai dari era 70-an
hingga sekarang. Genre ini mengangkat hal-hal yang aneh, absurd, dan abnormal,
yang ditampilkan dalam penampilan fisik serta aspek monster-ness persona
hantu tersebut (Fiumara, 2012). Pendekatan yang
dipakai dalam melihat aspek grotesque dalam sinema horor adalah melalui
bagaimana rupa fisik mereka dan darimana mereka datang (Kusumaryati, 2016), atau latar
belakang kemunculan mereka. Salah satu aspek paling penting dari karakter hantu
ini adalah tubuh perempuan yang banyak digunakan sebagai tokoh hantu (Kusumaryati, 2016).
Penggunaan hantu perempuan dalam
sinema horor Indonesia menunjukkan bagaimana kultur problematis seksualitas
perempuan di Indonesia (Kusumaryati, 2016). Dalam sejarah
perkembangannya, fenomena ini sangat dipengaruhi oleh budaya dan resonansi
politik di Indonesia. Senada dengan yang diungkapkan oleh Meehan dalam
studinya, analisis Stephen Galdwin di tahun 2003 juga menunjukkan bahwa
representasi perempuan dalam sinema horor di Indonesia juga mengalami stereotip
biner. Ada stereotip perempuan yang jahat dan meresahkan masyarakat dengan
perempuan domestik yang tradisional dan patuh terhadap aturan. Menurut Galdwin,
hal ini menunjukkan fungsi ideologis yang sejalan dengan ideologi Orde Baru
untuk mempertahankan tatanan sosial (Kusumaryati, 2016). Analisis lain
oleh Robert Wessing yang ditunjukkan Kusumaryati juga memperlihatkan bagaimana
fenomena keperempuanan hantu-hantu dalam sinema horor Indonesia dipengaruhi
oleh sejarah traumatis seperti kerusuhan Mei ’98, dimana banyak korban-korban
pemerkosaan dan pembunuhan berjatuhan.
Salah satu yang menarik dari aspek
feminitas dalam sinema horor Indonesia adalah bagaimana penggambaran dari tokoh
perempuan tersebut. Tokoh-tokoh seperti Kuntilanak dan Sundel Bolong selalu
digambarkan sebagai perempuan yang mengalami masa lalu pahit yang berhubungan
dengan laki-laki, lalu kembali dari kematian untuk membalaskan dendam tersebut.
Mereka biasanya seorang primadona yang mengalami tindak perkosaan dan
pembunuhan, atau hamil dan memutuskan bunuh diri. Sementara itu, tokoh sang
pria masih bisa hidup dengan nyaman dan aman masyarakat seolah terlindungi dari
perbuatannya di masa lalu. Yang menarik, kemunculan hantu-hantu perempuan ini
selalu memiliki motif balas dendam yang baru bisa mereka lakukan dari alam
kubur. Hal ini kemudian terejawantahkan melalui penampilan fisik yang karakter
hantu tersebut yang ditampilkan dalam rupa unik seperti Sundel Bolong dan
bagian perutnya yang bolong karena melahirkan, dsb. Representasi-representasi
tersebut menunjukkan bahwa elemen ketubuhan memainkan peran yang penting (Kusumaryati, 2016). Bagaimana
penampilan fisik mereka yang direpresentasikan secara terdistrosi dan
menakutkan ini kemudian memunculkan imaji bahwa tubuh perempuan adalah sesuatu
yang mengerikan, kurang, dan keanehan ini sarat akan konotasi ketakutan dan
kebencian (Kusumaryati, 2016).
Film-film horor terbaru seperti
“Danur” (2017) menunjukkan narasi penokohan dan motif pembalasan dendam yang
hampir serupa. Tokoh hantu Asih diceritakan sebagai perempuan yang memutuskan
bunuh diri setelah ia membunuh bayinya yang merupakan hasil dari hubungan zina.
Ia kemudian gentayangan dan berusaha menculik anak-anak sebagai upaya untuk
mengganti bayi yang telah dibunuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang
kemunculan hantu-hantu perempuan seringkali dilatarbelakangi oleh kejadian yang
hampir sama. Mulai dari Kuntilanak, Sundel Bolong, sampai hantu Asih, ketiganya
memiliki latar belakang dan motif yang tidak muncul secara tiba-tiba. Hantu
lain yang dikonotasikan berjenis kelamin laki-laki, seperti misal Genderuwo, muncul
sebagai sekadar tokoh hantu saja, yang ada karena ada. Jarang sekali
menunjukkan masa lalunya karena dalam narasi tersebut ia memang tidak memiliki
masa lalu. Ia muncul begitu saja, di rumah kosong, hutan, dan sebagainya.
Berbeda dari hantu perempuan yang seringkali berangkat dari peristiwa
pemerkosaan dan pembunuhan, menunjukkan bahwa ada latar belakang traumatis yang
mengakibatkan kehadirannya.
Hal lain yang seragam adalah
bagaimana narasi tentang pemerkosaan dan kekerasan terhadap wanita ditampilkan
dalam sinema tersebut. Bukan secara kebetulan semua korban wanita ini membalas
dendam. Mereka membalas dendam karena pelaku masih bisa hidup dengan aman dan
sejahtera. Hal itu menunjukkan kultur problematis bahwa masyarakat tidak bisa
menghukum pelaku sampai-sampai harus sang korban sendiri yang datang dari dunia
lain untuk menghukumnya. Jarang—atau mungkin tidak pernah—ada sanksi sosial
yang datang dari masyarakat dan diceritakan dalam film bagi para pelaku. Sang
perempuan sebagai korban yang harus menanggung trauma tersebut sendirian dan
akhirnya memilih untuk melakukan bunuh diri. Hal itu secara tak langsung
menunjukkan bahwa dalam masyarakat patriarkis, perempuan tidak dapat
mengungkapkan apa yang dialaminya dan memperjuangkan keadilannya. Perempuan
hanya bisa diam, memilih untuk mengakhiri hidupnya, sementara pelaku pria masih
bisa hidup sejahtera tanpa tekanan apapun. Tidak ada pembalasan dendam di dunia
material ini karena perempuan tidak bisa membela dirinya. Balas dendam itu baru
mungkin untuk dilakukan setelah ia menjadi arwah.
Kritik ini diperkuat oleh Wulandari
Pratiwi dalam artikelnya di Jakarta Post. Dalam penelitian sosiolinguistiknya
tentang dominasi perempuan dalam sinema horor Indonesia melalui sampel empat
film horor, ia menemukan bahwa hantu perempuan baru digambarkan sebagai sosok
yang kuat dan dominan di dunia supernatural, berbanding terbalik dengan ketika
ia ada di kehidupan sebelumnya sebagai korban pelecehan seksual yang hidup
dalam tekanan (Pratiwi, 2018). Hal ini
menunjukkan bagaimana posisi inferior perempuan di dunia nyata sehingga
dominasi yang mereka lakukan hanya dapat dilakukan di dunia supernatural.
Di tahun 70-an, narasi film horor
kebanyakan bermula dari cerita tentang desa tempat seorang protagonis wanita
yang biasanya primadona dan religius tinggal bersama kekasihnya yang biasanya
keturunan Eurasia, dengan wajah tampan dan heroik (Kusumaryati, 2016). Kemudian,
seorang antagonis yang selalu laki-laki akan mencoba untuk menghancurkan hidup
protagonis perempuan dengan upaya pemerkosaan dan pembunuhan. Sang protagonis
perempuan akhirnya meninggal, menjadi hantu, dan membalaskan dendamnya pada
laki-laki tersebut. Di akhir narasi, pemuka agama—yang selalu laki-laki—muncul
dan membebaskan jiwa hantu tersebut.
Narasi yang sama banyak didapatkan
di sinema-sinema horor di masa sekarang. Meskipun motif dan kejadian masa lalu
yang dialami hantu tersebut berbeda, akan tetapi satu hal yang sama adalah scene
akhir yang menunjukkan pembebasan jiwa hantu tersebut. Seorang pemuka agama
yang berjenis kelamin pria selalu muncul di akhir sebagai pahlawan dan
membebaskan jiwa hantu perempuan itu dari ikatan duniawi.
Selain itu, aspek grotesque yang
lain dimunculkan melalui scene-scene humoris untuk melengkapi film horor.
Di era 70-an, peran ini hampir pasti dimainkan oleh tokoh Hansip, yang
merupakan level paling rendah penegak keamanan yang diciptakan Orde Baru (Kusumaryati, 2016). Mereka
menunjukkan ketidakpatuhan sipil dengan menertawakan hal paling serius
sekalipun (Kusumaryati, 2016). Karakter
film-film horor masa ini lebih kompleks lagi, biasanya ditunjukkan dengan
beberapa karakter stereotipikal seperti remaja tampan dan heroik, gadis
pemberani, gadis manja yang seksi, dan remaja gendut yang konyol (Kusumaryati, 2016). Representasi
visual dan narasi inilah yang menunjukkan genre grotesque dalam sinema
horor Indonesia, yakni melalui representasi visual aneh dan mengerikan serta
gabungan dari dua ekstrem yang berbeda.
Representasi visual dan narasi atas
hantu perempuan inilah yang dipermasalahkan, dimana mereka menjadi monster dan
di sisi lain juga menjadi korban, yang menyiratkan ideologi konservatif
masyarakat patriarkal (Kusumaryati, 2016). Tubuh perempuan
dinarasikan dengan transformasi yang sedemikian rupa, menunjukkan problem
hierarkis yang masih ada dalam masyarakat.
Representasi stereotipikal lain yang
menunjukkan distorsi besar-besaran atas keperempuanan muncul dari
karakter-karakter sensual dalam sinema horor Indonesia. Meski tidak sedang
menyinggung konteks feminitas, Makbul Mubarak menyebut judul-judul seperti
“Rintihan Kuntilanak Perawan” dan “Pocong Mandi Goyang Pinggul” sebagai
bentuk-bentuk film horor yang sengaja memasukkan nama-nama artis porno untuk
mengundang perhatian audiens (Mubarak, 2016). Kendati
film-film ini bukanlah film porno dan tidak mengandung adegan telanjang,
persona porno tersebut tetap ada dan memengaruhi bagaimana film tersebut
diterima dalam masyarakat (Mubarak, 2016).
Representasi perempuan melalui
eksploitasi seksual atau sexploitation semacam ini muncul dalam beberapa film
horor Indonesia, seperti Sundel Bolong (1981), Gairah Malam III (1996), dan Air
Terjun Pengantin (2009), seperti riset yang dilakukan oleh Anggit Pangastuti
dalam tesisnya. Ketiganya mewakili tiga periode politik dalam sejarah
Indonesia, yakni Orde Baru, masa transisi, dan pasca Orde Baru (Pangastuti, 2019). Penelitiannya
menemukan bahwa perempuan direpresentasikan sebagai objek seksual untuk
dinikmati oleh audiens laki-laki heteroseksual, melalui dua kategori biner
perempuan ‘baik’ dan ‘buruk’ (Pangastuti, 2019). Hal ini
menampilkan bagaimana secara politis imaji tentang perempuan pada masa Orde
Baru yang diharapkan untuk pasif, tunduk, dan tidak berdaya. Sementara itu,
meskipun memiliki karakter yang lebih kompleks dengan penggambaran sebagai
penyintas yang mandiri di masa pasca Orde Baru, tetapi perempuan masih belum bisa
sepenuhnya lepas dari patriarki (Pangastuti, 2019).
Dalam analisis semiotiknya tentang film “Setan Jamu Gendong”, Octavita dan Zaimar menunjukkan seksualitas perempuan yang erat dalam tokoh sang penjual jamu. Hal ini terlihat dari stereotip yang terdapat dalam penjual jamu yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Dengan pakaian dan suara yang dijadikan objek seksual dan menempatkan sang perempuan dalam posisi tersebut, menarik perhatian laki-laki untuk kemudian memerkosa sang penjual jamu (Octavita & Zaimar, 2018).
Dari
berbagai analisis atas film-film horor Indonesia, melalui penokohan dan latar
belakang cerita yang dibangun, dapat ditarik kesimpulan bahwa representasi
perempuan dalam sinema horor Indonesia masih didasari atas konstruksi
patriarkis yang berkembang di masyarakat Indonesia sejak lama. Secara
sosio-kultural, imaji tentang perempuan telah berkembang dan diperkuat oleh
media, salah satunya bahkan sebagai bentuk penguatan ideologis di masa Orde
Baru. Dari sudut pandang feminisme, hal ini semata-mata bukanlah kebetulan. Ada
konstruksi yang dibangun dalam masyarakat yang diangkat atas realitas sosial
(masyarakat patriarki, subordinasi perempuan), dan distorsi realitas sosial (sexploitasi,
stereotip) akan perempuan. Hal ini dapat terlihat melalui bagaimana
penggambaran akan hantu perempuan yang terlihat dari feminine gretosque,
latar belakang cerita dan penokohan yang hampir seragam, serta eksploitasi
seksual yang dilakukan untuk mengundang perhatian dari audiens laki-laki.
Representasi ini baik secara sadar maupun tidak telah melanggengkan gagasan
subordinasi perempuan dalam masyarakat patriarkis.
*) Tulisan ini merupakan tugas individu saya untuk mata kuliah Perspektif Alternatif dalam HI. :)
Referensi
Alzahrani, F. (2016). The portrayal of Women and
Gender Roles in Films. International Journal of Scientific & Engineering
Research, 7(4), 533. http://www.ijser.org
Amaliananda, A., Rahayu, L. P., Hidayati, R. N., &
Savira, N. A. (2017). Gender-role portrayals in Indonesian movies. Proceedings
on Social Science and Humanities, 1(2012).
Barker, C., & Jane, E. A. (2016). Cultural Studies:
Theory and Practice (C. Rojek (ed.); 5th editio). SAGE Publications Ltd.
Fiumara, J. J. (2012). Grotesque Attractions: Genre
History, Popular Entertainment, and the Origins of the Horror Film.
https://repository.upenn.edu/dissertations/AAI3509002/
Kusumaryati, V. (2016). The Feminine Grotesque in
Indonesian Horror Films. Cinema Poetica.
https://cinemapoetica.com/the-feminine-grotesque-in-indonesian-horror-films/
Mubarak, M. (2016). Raping Aoi: Censorship Board and Adult
Film Stars in Indonesian Horrors. Cinema Poetica. https://cinemapoetica.com/raping-aoi-censorship-board-and-adult-film-stars-in-indonesian-horrors/
Octavita, R. A. I., & Zaimar, Y. S. (2018). Semiotic in
Interpreting the Text of Women’s Role Indonesian Horror Film in “Setan Jamu
Gendong.” Journal of English Language and Culture, 9(1), 72–79.
https://doi.org/10.30813/jelc.v9i1.1452
Pangastuti, A. (2019). Female Sexploitation in Indonesian
Horror Films: Sundel Bolong ( A Perforated Prostitute Ghost , 1981 ), Gairah
Malam III ( Night Passion III , 1996 ), and Air Terjun Pengantin ( Lost
Paradise – Playmates in Hell , 2009 ).
Pratiwi, W. (2018). Women should not only be powerful as
ghosts. The Jakarta Post.
Komentar
Posting Komentar