Banyak
hal bisa terjadi di dunia yang absurd ini. Dan, absurditas ini nggak
pilih-pilih orang. Orang terkenal, orang biasa, semuanya, nggak ada yang hanya jadi
penonton. Once you’re born in this absurd world, you will forever be a part of
it. Kamu nggak bisa duduk manis jadi penonton saja, berharap ada di titik pasif
dimana tidak ada drama, tidak memihak, posisi nol. Pada akhirnya, semua dapat
giliran. Giliran untuk berkontribusi pada keabsurdan dunia ini.
***
Setidaknya itulah sepenggal pesan
yang kudapat dari Petir, salah satu bagian dalam serial Supernova-nya Dewi
Lestari. Pada awalnya, sang tokoh utama, Elektra, begitu percaya diri bahwa ia
hidup hanya sebagai penonton di dunia ini. Ia dihibur oleh tingkah laku orang
sekitarnya, terutama kakaknya, Watti, yang penuh drama. Hingga akhirnya ia
sendiri terseret oleh ombak, keluar, benar-benar jadi bagian bioskop kehidupan.
Serial itu benar-benar suatu
mahakarya bagiku, magnum opus Dee yang membuatku berpikir-pikir lagi
tentang semuanya. Kalau kubilang semuanya, berarti semua-muanya, mulai
dari aku, lingkunganku, hari ini, dunia ini, dan semua diantaranya. Bukan
berarti aku jadi filsuf dadakan, atau si skeptis yang sedikit-sedikit mengutip Nietzsche.
Aku masih sangat menikmati kehidupan ini, kok. Aku masih sangat menghargai setiap
tetes kuah bakso (makanan rakyat yang pantas diberikan penghargaan), masih suka
menangis saat menonton film, masih suka tertawa terbahak-bahak nonton Just For
Laughs Gags, masih suka memuji-muji kopi buatanku sendiri, masih suka stalking
Frenkie de Jong yang tampan (semoga dia lama di Barca). Justru karena
saking nikmatnya hidup itulah aku terkadang jadi takut. Ini mungkin terdengar
manusiawi, tapi aku sebenarnya sangat takut dengan ketidakpastian. Aku takut sesuatu
yang belum jelas karena aku tidak bisa mengantisipasi. Antisipasi adalah
mekanisme pertahanan paling baik. Itu kan’, yang diajarkan nenek moyang kita
sejak zaman pelaut hingga programmer? Karenanya, buku-buku yang
menjelaskan hal-hal yang tidak kutahu tentang kehidupan dan beyond kehidupan
seperti Supernova-nya Dee inilah, yang kuanggap sebagai magnum opus,
atau seenggaknya penenang bahwa hari esok nggak perlu terlalu dipikirin.
Namun, lebih daripada itu, menginjak
usia hampir 21 tahun, aku semakin yakin kalau dunia ini sebegitu absurd-nya,
sampai-sampai pepatah “tidak ada yang tidak mungkin” itu benar-benar mungkin. Sebagai
contohnya, akan kuceritakan salah satu kisah hebat dalam hidupku, yang meskipun
terdengar absurd, kalian kusarankan untuk percaya: aku bertemu Reza Rahadian
di pom bensin Araya.
Cerita ini sudah terjadi lama, mungkin
2017 atau 2018. Aku lupa. Tapi aku masih ingat detail kejadiannya, yang—kalau kalian
tidak percaya—boleh ditanyakan ke Reza langsung. Dialah satu-satunya orang yang
bisa mengonfirmasi kejadian ini, benar dia atau tidak yang ada di pom bensin
saat itu.
Jadi ceritanya, aku diajak bapakku
pergi ke pom bensin Araya yang terletak di jalan raya belakang rumah untuk
menukar uang kecil. Bapak butuh uang kecil untuk kembalian, dan karena toilet
pom bensin adalah gudangnya uang kecil, kami bermaksud untuk tukar disana. Saat
itu sudah malam hari, mungkin jam 7-an. Aku dan Bapak berangkat naik motor.
Sesampainya disana, aku melihat ada mobil hitam yang bagus sedang terparkir pas
di depan pom bensin, sepertinya sedang diisi. Mobilnya bagus sekali, aku tidak
tahu merk-nya apa. Yang aneh, pemilik mobil itu tidak berada di dalam mobilnya.
Ia berdiri di luar, bersebelahan dengan mas-mas pom, dan tampak membicarakan
sesuatu. Pemilik mobil itu, yang adalah laki-laki, tampak keren betul. Ia pakai
kaos hitam polos berlengan pendek, dan berkacamata hitam. Rambutnya bergelombang,
tubuhnya tinggi semampai, dan cukup atletis. Ia seperti punya aura tersendiri.
Yang jelas, aku sampai termangu melihat pemandangan langka itu. Saat itu, pom
bensin sedang sepi betul. Hanya ada dia dan mas-mas pom di sana, sementara aku
dan bapakku berada di sisi pom yang lain.
Dan ya, dialah orang yang kupercaya
sebagai Reza Rahadian.
Kedengarannya aku salah orang, ya?
Kalaupun benar salah orang, tapi dia mirip sekali! Baiknya dia jadi bintang
iklan juga. Cocok soalnya. Atau jangan-jangan, angin malam, dan mata minusku ini
menciptakan ilusi bahwa itu Reza? Semacam fenomena fatamorgana di padang pasir?
Nggak tahu juga, sih. Seingatku aku belum minus saat itu. Aku masih suka jus
tomat meskipun tidak minum sering-sering amat.
Yang jelas, ingatan akan peristiwa
itu tiba-tiba saja muncul lagi hari ini, semakin menguatkan dugaanku kalau dunia
ini memang se-absurd itu. 2019 yang seolah baik-baik saja, dan kini semua orang
tinggal di rumah. Aku yang cupu dan takut gelap, sekarang biasa saja karena
yakin bahwa hantu itu tidak ada (bisa dibaca disini). Italia yang kemarin nggak
masuk kualifikasi Piala Dunia, sekarang jadi pemenang Piala Eropa (Forza Azzurri!).
Aku yang tidak pernah kepikiran akan bisa keluar negeri, tiba-tiba dapat
telepon jadi penerima beasiswa tambahan. Hal selanjutnya yang kutahu adalah nonton
pertunjukkan orang ngawang di depan Schlossplatz Stuttgart, sambil
menganga tak percaya karena sampai detik ini belum kepikiran gimana caranya dia
melakukannya.
Jadi, saat hari ini aku nonton
Youtube dan tanpa sengaja memencet video monolog “Selamat Ulang Tahun” Reza
Rahadian, semua potongan-potongan memori itu datang kembali dan memaksaku untuk
menulis ini. Video itu juga, yang merupakan bagian dari Konser Salute Erwin
Gutawa, pertama kali kutonton di Metro TV tahun 2019 lalu. Sejak saat itu, aku
tak pernah bisa melupakan kata demi kata dan betapa merindingnya aku mendengar
monolognya:
Aku
sedang menebak-nebak, kira-kira prosesi apa yang tengah kamu siapkan. Kamu
selalu tergila-gila pada prosesi. Segala sesuatu harus dihantarkan dengan sempurna
dan terencana. Perayaan dan peringatan menyesaki kalender kita, sepanjang
tahun. Dan tidak pernah kamu bosan, bahkan kamu semakin ahli. Malam ini, kamu
menantangku berhitung dengan stopwatch. Teleponku akan berdering tepat setengah
jam lagi. Sambil menunggu, izinkan aku berkelakar tentang kamu dan sayap. Sejak
kepindahanku ke negara lain, kamu selalu terobsesi dengan segala makhluk
bersayap. Aku ingin percaya.
Dengan
caramu mengagungkan momentum, kamu membuat aku ikut percaya, betapa sakralnya
peluk cium empat belas Februari. Atau tiupan tahun baru, yang harus tepat pada
pukul 00. Namun imanku pada arena itu luruh dalam satu malam, lihat detik itu,
jarum jam itu, momentum yang tidak lagi berarti di titik pertama: kamu lupa
mengucapkan ulang tahun. Harusnya ini sudah terjadi lima menit yang lalu, lima
menit yang lalu. Aku tidak tahu, kemalangan jenis apa yang menimpa kamu hingga
kamu tidak bisa menghubungiku. Mungkin matahari lupa ingatan, lalu keasyikan
terbenam hingga terlambat terbit. Kiamat harus menyiapkan tanda-tanda baru,
bila masih ingin jadi hari yang paling diantisipasi. Dengan misalnya mengadopsi
absurditas yang terjadi malam ini. Suatu waktu nanti, saat kamu berhenti
percaya bahwa manusia bisa punya sayap. Kemarin, besok, lusa, atau hari-hari
sesudah itu, aku masih disini. Menunggu kamu.
Kalian HARUS nonton videonya, ada
bagian Reza nyanyi juga, lho. Disini:
https://www.youtube.com/watch?v=zHCzNXuGknI
Kalau kalian suka monolog dan ketagihan
nonton, bisa nonton monolog “Lak, Naoko, Yuri, dan Tien: Monolog Empat
Peristiwa”. Ini adalah proyek monolog tentang empat istri Soekarno. Bulan depan
akan ada pementasan Yuri! Pastikan kalian nonton, ya! Hehehe (maap promosi).
Pada akhirnya, setelah kupikir-pikir
lagi, mungkin ya, mungkin banget lho ini, nggak tahu lagi, absurditas itu
barangkali bisa dilihat sebagai rectoverso. Dua hal yang terpisah, namun
sebenarnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Keutuhan yang mungkin nggak cukup
untuk dilihat mata ini dalam satu waktu.
Ketika menelusuri sebuah jalan yang
ramai di kota Freiburg, temanku bilang, kalau suatu saat ingin kembali lagi
kesini, kamu harus mencelupkan kaki ke air disitu. Aku lupa sih kata-katanya
tepatnya seperti apa, ya kurang lebih begitulah. Jadi, kami menepikan diri ke sebuah
got (gotnya jernih banget, serius!), lalu mencelupkan ujung sepatu kami
kedalamnya. Mitos itu, sejauh ini, belum terbukti, sih. Sudah kurang lebih lima
tahun sejak kami di sana, dan kami belum kembali lagi. Tapi, ada satu bagian
dari diriku yang percaya kata-katanya, dan berharap saat itu akan datang. Kupikir,
aku sangat ingin keluar rumah, melihat lebih banyak tempat, mengalami lebih
banyak hal. Semoga ya, saat-saat itu akan segera kembali lagi. This too
shall pass, sehat-sehat teman-teman semua!
Dan, jika saat itu beneran datang,
atau suatu saat nanti aku ketemu Reza Rahadian beneran, apakah itu yang dimaksud
rectoverso? Nggak tahu, deh. Yang jelas, ada satu memori yang
berkelindan, menyatukan sesuatu dari masa lalu dan masa depan, dan dengan bangga
kita bisa bilang, “dunia ini absurd banget, tapi aku cintaaaa!!!”
Komentar
Posting Komentar