Baca bagian pertama disini: Phi
Bagian 2
Lampu kota di kota seperti Amsterdam, dengan
sinar oren pucat yang memancar sendirian, berbaris, di jembatan yang dibawahnya
mengalir sungai tenang, berkabut. Masing-masing bercerita tentang yang
dilihatnya, manusia yang bernaung dibawahnya. Cahaya memelukmu seperti ibu yang
tak pernah kau punya.
Lampu yang rusak, yang dibawahnya berdiri
seorang yang kapok dengan cinta, dengan hidup, dengan manusia. Tapi percaya
pada cahaya, dan lampu yang khawatir akan mengkhianatinya.
***
Selama cuti kuliah, Phi bekerja sebagai
penyiar radio di salah satu radio swasta. Ia membawakan program berjudul “Sabtu
Sepi Sendiri” yang juga disingkat dengan 3S. Program itu khusus disiarkan
setiap hari Sabtu malam dan ditujukan untuk mereka yang kesepian di malam
Minggu. Biasanya, Phi akan memutar lagu-lagu hasil request yang
rata-rata bernuansa kelam dan melankolis (atau lagu-lagu bernada ceria yang
memiliki lirik sedih). Terkadang, para penelepon yang memesan lagu malah keterusan
mencurahkan isi hati mereka yang kesepian itu. Meski memotong banyak waktu
siaran, Phi tidak pernah menghentikan mereka. Ia akan mendengarkan
cerita-cerita yang terkadang dibumbui isak tangis sehabis memergoki pacar
mereka berduaan dengan orang lain, lalu sebagai gantinya Phi akan menghibur
mereka dan memutarkan lagu pesanan mereka, seperti Kugadaikan Cintaku dari Koes
Plus. Atau, ketika seorang remaja SMA yang datang kepada Phi dengan galau,
bercerita kalau cintanya ditolak oleh teman sekelasnya.
“Aku tertawa saja waktu dia bilang dia tidak
bakal mungkin suka padaku,”katanya. “Aku bilang itu guyon saja—hukumanku saat
bermain truth or dare.”
“Baiklah, para penyendiri di Sabtu sepi… Kamu
sudah memberanikan diri,”kata Phi kemudian. “Ada lagu yang bisa kuputarkan
khusus untukmu?”
Anak itu berkata lirih. “Apa saja, Kak.”
“Semoga lagu ini bisa menemani Sabtu
sepimu…”kata Phi, lalu memutar lagu Boys Don’t Cry dari The Cure.
Phi beberapa kali mengajakku ikut siaran. Ia
bilang aku laki-laki paling kesepian yang pernah dikenalnya. Mungkin ia bilang
begitu karena sifatku yang pendiam, atau barangkali hanya tafsirannya sendiri
karena memperhatikan kebiasaanku. Tentu saja aku menolak. Meski aku suka
menyendiri, bukan berarti aku suka membagikan kisah kesendirianku pada orang
lain. Kebanyakan mereka yang mendengarkan siaran Phi bukannya suka merasa
kesepian begitu, tapi mereka terpaksa. Tentu berbeda dengan diriku. Namun,
suatu waktu, aku pernah mencobanya. Siaran bersama Phi. Aksi spontan. Tak tahu
apa yang merasukiku saat itu.
Mungkin itu karena tak sengaja mataku
tertumbuk pada kaset Candra Darusman yang bertengger di meja siaran Phi. Phi
bilang itu milik ibunya, seorang penggemar jazz 70-an yang saking nge-fansnya menamakan
anjing mereka Chaseiro.
“Buat apa kau bawa?”tanyaku saat itu. Phi
hanya menoleh sekilas dan berkata kalau kaset itu mengingatkannya pada kebiasaannya
waktu kecil. “Setiap hari Minggu, Ibu mengajakku jalan-jalan keliling kota
sembari karaoke lagu-lagu mereka di mobil,” jawabnya, lalu terdiam sejenak. “Lalu
kami mampir ke toko roti dan bermain bersama Chaseiro di taman rahasia.”
“Taman rahasia!”pekiknya tiba-tiba. “Kamu tahu
nggak Nan, ada taman rahasia di kota ini?!” secepat itu Phi berganti fokus.
“Aku tak pernah tahu taman itu namanya apa,
tempatnya dimana. Aku selalu perhatikan jalannya, tapi selalu lupa. Ibuku menyebutnya
taman rahasia. Ia tidak pernah bilang tempatnya dimana. Sekarang, aku benar-benar
kangen taman itu. Terakhir kami kesana waktu tahun terakhirku SD. Aku harus
cari taman itu.”
“Coba deh, jelaskan ciri-cirinya,”
“Duh, seperti apa ya,” Phi tampak berpikir
keras. “Seingatku ada ayunannya, lalu kursi-kursi taman, ya seperti taman pada
umumnya lah. Ada seorang kakek penjual es krim yang selalu ada disitu. Oh iya,
taman itu selalu sepi. Selalu. Selama kami disana, tidak ada seorang pun selain
kami dan kakek es krim itu. Tempatnya agak jauh dari jalan raya.”
Jujur saja, aku sama sekali tak tahu taman apa
yang dimaksudnya.
“Ajak saja Chaseiro, dia pasti masih ingat.”
Phi menggeleng sedih. “Chaseiro meninggal
waktu aku masuk SMA.”
Gara-gara kaset itu, aku jadi terpaksa masuk ke
ruangan siaran Phi. Entah apa yang membuat kaset itu begitu menarik. Mungkin
karena albumnya bergambar wajah Candra Darusman sedang merenung dan tertulis
dibawahnya, “Indahnya Sepi”.
Semenjak saat itu, aku sering main-main ke
ruang siaran Phi. Tidak ngapa-ngapain juga sebetulnya, lebih banyak hanya
menemani Phi siaran sambil baca buku. Tidak banyak kegiatan seru yang bisa
kulakukan di malam Minggu. Mungkin Phi benar, aku laki-laki paling kesepian
yang pernah dikenalnya.
Selama aku disana, hanya sekali aku pernah
meminta Phi memutarkan lagu untukku. Judulnya “Senja Merah”, lagu Mus Mujiono. Setelah
itu tak pernah lagi. Aku tak ingin Phi menganggapku seperti salah satu dari
para pendengarnya. Hei, aku tak se-kesepian itu, kok! Lagipula, lagu itu juga kupilih
karena aku sedang jatuh cinta. Pada tokoh sebuah novel yang kebetulan sedang
kubaca. Aku lupa siapa. Sekarang sudah tidak jatuh cinta lagi.
Phi sendiri senang-senang saja kutemani. Dia
sering bawa makanan ringan. Aku ikut senang.
Bersama Phi, kulalui malam Minggu-ku dengan
mendengarkan kisah orang lain. Kisah ditinggal pacar, ditinggal hewan peliharaan,
ditinggal sahabat. Setiap kisah mereka memiliki satu benang merah yang sama: akhir
dari sebuah masa. Akhir dari setiap masa yang baik selalu meninggalkan kenangan
yang indah. Itulah yang membuatnya menyedihkan.
Ketika semua itu berlalu, dan yang tersisa tinggal
kenangan, mereka jadi merasa kesepian. Bahkan bagi anak yang ditolak teman
sekelasnya itu. Ia teringat masa-masa ketika ia mengkhayal bisa jadi pacar anak
yang disukainya, atau masa-masa ketika ia begitu percaya diri akan diterima
cintanya. Ketika ia tahu kenyataan sesungguhnya, ia merasa sedih dan kesepian. Reality
hurts. Reality kills. And that’s also a reality.
Namun, itu masih belum seberapa. Phi pernah
mendapat pengalaman yang lebih menarik. Saat itu aku tidak sedang ikut siaran
bersamanya.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar