Wah… Been such a long time since
the last day I wrote on this blog. Selama itu jugalah saya kelimpungan cari
kegiatan, rasanya bosan juga dengan rutinitas tak bermanfaat macam
makan-tidur-nonton. Ternyata kebanyakan me-time juga nggak bagus. Hahah.
Saya jadi nggak punya kehidupan sosial yang menarik dan malah menghabiskan diri
berlamun-lamun membayangkan, “Aku harus ngapain ya habis ini…” Wkwkwk.
Akan tetapi, saya bersyukur sekali,
karena setidaknya saya punya list film-film yang selalu ingin saya tonton,
buku-buku menarik yang enak dibaca, dan lagu-lagu keren untuk karaoke-an di
rumah. Ada juga setumpuk pekerjaan rumah yang sebelumnya nggak pernah bisa saya
kerjakan karena sibuk kuliah (well, ini alasan saja sih, soalnya
sebenarnya saya ada waktu, tapi saya suka mengerjakan tugas mepet. Eric Weiner
pernah bilang manusia ini makhluk lima menit terakhir, xixi).
Tapi,
lain dari pada itu semua, setidaknya liburan ini saya nggak useless-useless
amat. Setelah malam penuh perenungan hingga menjelang subuh, saya berhasil
mengumpulkan… “53 Aktivitas yang Harus Dilakukan Tanti Saat Liburan” dengan
beberapa diantaranya adalah aktivitas yang berkelanjutan (asekkk B-)). Lengkap
pula dengan catatan agak nampar dibawahnya: “TAN SUMPAH KON KUDU MELAKUKAN
SESUATU DALAM HIDUPMU”. Bwahahaha. Mohon untuk jangan meniru adegan ini. Semoga
Anda semua adalah manusia-manusia produktif! Ya! Ayo kita bersama-sama lebih
baik lagi!!!1!!1!
Salah dua hal yang saya lakukan di
liburan kelewat panjang ini adalah berkunjung ke rumah Uti Akung di Kediri dan
ikut pengabdian dosen ke Malang selatan. Dua-duanya sama-sama ‘menampar’.
Setelah selama ini hari-hari saya hanya dipenuhi kuliah saja, dengan pikiran
yang nggak jauh-jauh dari sana, berada di tempat berbeda dengan kegiatan yang
berbeda membuat saya berpikir: Ya Tuhan… Betapa lamanya semenjak saya
terakhir kali benar-benar menghargai waktu, pengalaman, dan menyadari betapa
berharganya hidup ini. Perasaan itu kali ya, yang bikin saya kayak robot
selama perkuliahan berjalan.
I
was always busy without knowing what is actually I’m working on.
Saya ini sibuk ngapain, sih? Kenapa rasanya capek tapi nggak tahu apa yang
bikin saya capek, ya? And then I realize… that feeling of doing something
genuinely. Mungkin itu yang lama nggak saya lakukan. Banyak hal yang saya
hitung pakai prinsip untung rugi: what I get after doing this, what I lost
if I don’t do it. Mungkin itu yang bikin saya capek. Dan gampang marah.
Apalagi kalau laper. Emang Tan, lo resek kalau lagi laper. Hehehe.
Okay, Amigo, jadi,
corat-coret hari ini sebenarnya cuma curahan hati saja, dengan sedikit berbagi
pengalaman dan perasaan, untuk mempermudah pekerjaan Uya Kuya: mengeluarkan
uneg-uneg. Lebih daripada itu, silakan interpretasi sendiri pesan moralnya apa,
karena moralitas adalah sesuatu yang berbeda bagi setiap orang (iya, gak?
Hehehe). So, let’s we begin. One day at a time, Amigo, duduklah dan
dengarkan aku.
(1)
Berada di rumah Uti di Kediri,
sebetulnya bukanlah pengalaman yang luar biasa. Saya sudah sering kesana, rutin
hampir tiap tahun malah, bahkan sejak kecil dari SD saya sudah ditinggal disana
berdua dengan kakak. Dulu, waktu SD, liburan kenaikan sekolah lamanya 1 bulan,
biasanya 2 minggu saya habiskan di sana dan sisanya di rumah.
Kalau dulu waktu kecil, hampir tidak
ada perbedaan yang berarti antara liburan di sana dengan di rumah. Biasanya
saya diajak jalan-jalan: ke Gua Selomangleng, renang, atau cukup berpetualang
di kebun dan sawah-sawah bersama Akung dan kakak. Menghabiskan waktu di rumah
Uti juga cukup. Nonton TV, main masak-masakan, dan wawancara Uti Akung tentang
kehidupan zaman dahulu. Malamnya biasanya kami nonton berempat, apalagi kalau
film-nya Jackie Chan, uwah, seru sekali!
Namun sekarang, banyak hal berubah.
Semakin besar, semakin banyak yang kita tahu, semakin gampang pula buat saya
untuk merasa bosan. Sinyal internet is number one problem. Provider
langganan saya nggak ada sinyal disana, harus ke kebun belakang baru dapat
sinyal 4G, itu pun megap-megap. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah beli
paketan dengan provider yang lebih mahal dan harus dipakai berhemat, supaya
tetap bisa up to date dan tak jadi manusia gua :’). Kenapa up to date
jadi kebutuhan penting buat saya sekarang? Nggak tahu juga ya, tapi di dunia
yang deras arus informasinya, informasi adalah senjata. Ibarat manusia purba,
informasi adalah hal yang kita butuhkan untuk bertahan hidup. Mungkin ya, eksistensi
adalah kunci bagi manusia modern, hwehe.
But things have been a lot
harder, since years ago when my Grandfather had an accident. Fisiknya sudah
nggak sekuat dulu lagi. Semakin kurus, jalan pun sulit. Biar saya ceritakan
tentang beliau. Akung saya itu idola saya. Buat saya, tidak ada orang sebaik
dan sesabar dia di seluruh dunia ini.
Bayangkan,
saya nggak pernah sekalipun dengar dia bilang “duh” atau “yah” atau partikel
kata yang menunjukkan keluhan lainnya. Ibu saya cerita, seumur-umur hanya
sekali dia pernah dimarahi Akung. Itupun setelah dimarahi Ibu dibelikan jajan.
Akung saya ini orangnya pintar sekali. Akung pernah jadi murid teladan nomor 1
di wilayah Kediri-Tulungagung.
Sejak
kecil hobinya membaca. Uang sakunya ditabung buat beli buku. Ia suka mengirim
surat-surat ke duta-duta besar yang ada di Indonesia, dengan bahasa Inggris
seadanya yang ia bisa. Seringkali surat-suratnya itu dibalas, biasanya
disertakan pula majalah-majalah asing maupun pernak-pernik dari negara asal
masing-masing duta besar tersebut. Akung juga adalah orang yang pemberani. Ia
pernah naik kereta api sendirian ke Jakarta waktu kelas 4 SD. Akung juga sangat
baik dan sayang pada adik dan saudara-saudara yang lainnya.
Di
masa mudanya, Akung tidak mampu meneruskan kuliah karena kekurangan biaya. Ia
pun memutuskan untuk bekerja sebagai ahli bangunan. Akung sudah hampir
menjajakkan kaki di pulau-pulau besar yang ada di Indonesia. Ia membuat jalan
raya, membangun jembatan, membangun gedung. Akung menghitung bangunan yang
dirancang dengan teliti, memeriksanya lagi dan lagi. Ia bekerja dari kota satu
ke kota yang lainnya. Beberapa kali Akung mengirim surat untuk keluarganya.
Setiap kali pulang dari suatu kota, Akung akan membawa oleh-oleh yang membuat
keluarganya senang.
Di
masa tuanya, Akung masih suka bekerja. Di pagi hari Akung akan mengantarkan
kue-kue buatan Uti ke pasar. Pulang dari pasar Akung suka membawakan jajan buat
saya dan kakak. Di siang hari, Akung kerja di kebun. Nggak tahu ngapain saja.
Pokoknya saya dan kakak suka mengikuti Akung di kebun. Mulai dari menggali
tanah, memberi makan ikan, memanen singkong, memompa air, sampai jalan
bermeter-meter semakin ke belakang, ke sawah yang luasnya menyesatkan, hahaha.
Di sore hari, Akung sama Uti sibuk memarut kelapa buat jadi santan dalam jumlah
yang banyak. Sekitar dini hari menjelang subuh, saya sering tanpa sengaja
mendengar mereka berdua terbangun dan mulai membuat kue.
Sampai
ketika akhirnya Akung jatuh sakit. Semenjak saat itu, banyak hal berubah. Kaki
Akung sulit dibuat berjalan. Butuh waktu yang lama untuk membuatnya berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Ingatannya rapuh. Ia seringkali menanyakan hal
yang sama dalam waktu yang relatif singkat. Kurasa Akung bahkan tak ingat nama
saya. Nama anaknya sendiri pun Akung sering salah. Ada kerusakan di bagian otak
kecilnya yang membuatnya kehilangan kemampuan mengingat dan berbicara. Tapi,
jauh dalam hatinya, saya tahu Akung sangat menyayangi kami, dan Akung takkan
pernah lupa rasa itu. Saya tahu, sekalipun Akung sulit bicara, banyak hal yang
ingin ia sampaikan. Saya pun juga tahu, sekalipun Akung terlihat diam dan tidak
merespon, sesungguhnya Akung senang mendengarkan kami berbicara. Entah apapun
itu. Dari hal yang penting sampai nggak penting sekalipun.
Setiap
kali Uti pergi ke pasar dengan kakak saya, saya akan menemani Akung di teras
rumah sambil bercerita ngalor ngidul. Kadang Akung merespons dengan
tawa, kadang menimpali dengan cerita singkat.
Suatu
kali, ketika Uti dan kakak ke pasar, saya masih tidur karena malamnya begadang.
Harusnya saya menemani Akung saat itu. Tapi, egoisme dan beratnya mata membuat
saya bertahan di tempat tidur. Beberapa saat kemudian saya mendengar suara derak
kaki yang digeser. Saya pun langsung terbangun dan pergi ke teras.
“Akung
mau ke mana?”tanya saya.
“Ke
kamar. Nggak ada teman,”jawabnya terbata-bata.
Mak
deg. Hati saya rasanya mak-jleb. Saya pun tertampar. Saat itu juga saya
memutuskan menemaninya hingga Uti pulang.
Tatapan
mata Akung terlihat menerawang. Dalam diamnya ia menyimpan sejuta cerita. Sejak
dulu Akung memang pendiam. Tapi sebenarnya ia adalah sosok humoris yang punya
cerita-cerita menarik. Jika mengajak Akung ngobrol, sebenarnya masih banyak hal
yang Akung ingat di masa lampau. Kadang saya sedih melihat Akung yang terlihat
kesepian. Andai saya punya lebih banyak waktu untuk berada disana…
Untungnya,
ada Uti yang selalu ada buat Akung. Akung tak bisa jauh dari Uti. Kadang Uti
terlihat lelah, tapi saya tahu Uti adalah sosok yang kuat. Mereka berdua adalah
satu.
Pengalaman
menginap disana selama 3 minggu dengan kondisi yang jauh berbeda dibandingkan
dulu mungkin tak dapat benar-benar dirangkum disini karena akan benar-benar
panjang. Saya juga bingung menuangkannya dalam kata-kata. Bagaimana ya, semua
ini sulit untuk dijelaskan. Perasaan haru, sedih, bahagia, sayang, seolah
campur aduk seperti adonan.
Bagi
sebagian orang, waktu terasa berjalan cepat. Bagi sebagian yang lain waktu
terasa panjang. Bagi sebagian orang, lupa adalah anugerah. Bagi sebagian yang
lain lupa itu menyakitkan. Akung mengajarkan saya untuk menerima. Menerima porsi
kita masing-masing. Dalam doa saya, saya suka marah pada Tuhan, mempertanyakan
keadilan-Nya mengapa seolah segalanya sulit bagi orang sebaik Akung. Kenapa ia
harus sakit? Kenapa ia tak bisa mencapai impiannya untuk kuliah? Mengapa
sekarang ia harus menderita?
Tapi
toh, orang yang saya sebut ‘menderita’ itu tak pernah bilang ‘aduh’ sekalipun
dalam sakitnya. Ia menerimanya dengan gagah berani. Ia tak pernah bertanya
‘kenapa harus saya?’. Kesabarannya membuat saya malu dengan diri saya sendiri.
Seolah, apa yang ia terima dianggapnya sebagai anugerah dan bukan musibah.
Sebuah tamparan yang keras bagi saya—seorang hamba yang sering mempertanyakan
‘kenapa harus saya?’. Sebuah tamparan bagi saya—seorang hamba yang mempunyai
segala kemudahan untuk beribadah, tapi masih sering bolong, sementara suka triggered
jika tahu ada orang lain yang dipersulit untuk beribadah. Dasar saya.
Another
lesson that I get after living for 3 weeks there with my grandparents is, in
this fast-moving world, sometimes is important to being silence for a while.
You’ll found out how blue the sky is, how smooth the wind blows, and how
beautiful the birds sing. Just you, your self, and this moving universe. It is
also important to be really involved in your community—especially your family.
Communication makes your relationship work. Trying to see things in other’s
perspective, to put your feet in their shoes. And to appreciate time.
Oya,
sering-sering dengar radio juga. Nyadar gak kalau dengerin radio sambil umek
di dapur itu nikmat sekali, hihihi.
(2)
Cerita
kedua ini bercerita tentang perasaan kembali ke alam. Our Mother Nature.
Hubungan kita tidak hanya tentang antarsesama manusia, tapi juga kita dengan
alam. Cerita ini adalah cerita tentang kembali ke masa kecil, juga mengenai
betapa akhirnya saya perlahan mengenali diri saya sendiri.
Sekitar
awal Juli lalu, saya tergabung dalam tim pengabdian dosen yang mengambil tempat
di daerah pedesaan Malang Selatan. Kami mengajar anak-anak disana cara menulis
blog dan membuat photo story. Sesi yang paling berkesan adalah saat kami
dibagi menjadi beberapa kelompok dan berkeliling desa untuk mencari objek
menarik untuk diceritakan di blog.
Saya
berkenalan dengan Vine dan Merlin, dua anak perempuan yang kelihatan pendiam. Vine
sudah kelas 8 SMP, sementara Merlin masih duduk di bangku kelas 3 SD. Mereka
mengajak saya ke Pagar Jarak, sebuah objek foto terkenal disana yang harus
melewati persawahan untuk dapat mencapai kesana.
Di
sepanjang perjalanan, kami berkenalan. Mereka yang awalnya pendiam dan
malu-malu ternyata asyik sekali. Saya menemukan persamaan di antara kami
bertiga: cara kami mengenal pribadi satu sama lain.
Awalnya,
setiap kali saya tanya atau berbicara, mereka cuma menjawab singkat sembari
tersenyum dan menganggukkan kepala. Mirip sekali seperti saya kalau diajak
bicara orang baru. Vine terlihat pendiam, tapi sepertinya banyak yang ingin dia
katakan. Merlin masih lebih aktif karena dia masih kecil. Tapi, seiring
berjalannya waktu, kami mulai membuka diri masing-masing, setelah perjalanan
lurus tak henti-henti membelah sawah untuk menuju Pagar Jarak.
Rasanya
seperti membuat suatu ikatan baru. Kami kenalan karena ingin, bukan cuma basa-basi
garing. Kami cerita beneran dan saling mendengarkan satu sama lain. Saya rasa
kami bisa begitu lepas karena kami bertiga. Saat itulah saya menyadari, kenapa
saya bisa secerewet dan seceria ini saat pertama kali bertemu orang asing
seperti mereka? Apa bedanya mereka dengan lingkungan baru yang saya masuki?
Kenapa di lingkungan baru itu saya tidak bisa selepas ini?
It
slapped me right on my face. Eh, ternyata saya nggak
bisa secepat itu beradaptasi di kelompok baru yang ramai. Now I know what
kind of people I am. Saya lebih suka berkenalan dan ngobrol secara
personal, berhadapan satu lawan satu, daripada berada dalam kelompok yang saya
tak kenal betul. Begitulah cara saya berkenalan. Berada bersama satu dua orang
lebih membuat saya cerewet dan ceria. Saya butuh waktu untuk dapat selepas itu
bersama orang banyak. Saya nggak bisa langsung berkenalan dengan orang banyak.
Saya pasti langsung jadi orang yang berdiri di pojokan dan mengamati yang lain.
Komik Lunar Baboon pernah menggambarkan perasaan saya dengan tepat:
Image Source: webtoon.com/lunarbaboon
Dari
perkenalan itulah kami jadi lebih dekat satu sama lain. Saya dan Vine sama-sama
suka bakso. Maniak. Dia memberitahu saya tempat-tempat bakso terenak di daerah
situ. Merlin suka sekali lari. Kami balapan lari beberapa kali dan saya selalu
kalah (dia bahkan nggak terlihat capek sama sekali).
Mereka
cerita ke saya tentang banyak hal: terutama tentang sawah yang sedang kita
lewati. Katanya, matahari terbit dapat terlihat dengan jelas sekali di
pegunungan belakang sawah itu, begitupun matahari terbenam. Kamu bisa stargazing
juga disana waktu malam, nggak perlu jauh-jauh ke Islandia. Bintangnya banyak,
muncul di permukaan langit gelap. Saya tahu dia nggak bohong. Pemandangan waktu
siang saja sudah sangat breathtaking buat saya. Saya sampai nggak peduli
seberapa panasnya saat itu. Kita bertiga lari sekencang-kencangnya, di jalan
panjang yang membelah sawah itu jadi dua bagian. Saya berkali-kali bilang kalau
pengen layangan disana.
I
left my number to Vine. I hope she could text me as soon as possible, because I
need to tell her that her photos and story has been posted to the blog. I want
to send her all of our photos that she took in that day with my phone.
Ada yang bisa tebak pantai mana ini? |
We
were also going to the beach. Uwah, lama banget
terakhir saya ke pantai, it was like, 2017. Pantainya bagus banget.
Menginjakkan kaki di pasir dan kena air laut itu rasanya lega banget. Sayangnya
saya nggak bawa baju ganti, jadi nggak bisa sepuasnya main air. Dari
berderet-deret pantai yang ada di Malang Selatan, akhirnya saya sudah
menginjakkan kaki di 5 pantai. Saya harus menuntaskan petualangan ini! I will!
Literally, I will!
Suasana di pantai di sore |
Isn't it beautiful? <3 |
Kembali
ke alam membuat kita menyadari: ternyata kita ini kecil amat dan sombong
banget. Kita juga sering lupa terima kasih. Bumi, yang adalah setitik kecil di
alam semesta, dan kita, yang tinggal di dalamnya, sudah merupakan bukti tak
terbantahkan betapa hebatnya Tuhan kita. Dan kita, yang sekecil ini dan penuh
dosa, yang ngawang di ke-takterbatasan semesta, disayang banget oleh Dia. Kita
ini harusnya nggak kelihatan, lho. Nggak penting juga sebenarnya. Buat apa kita
ini. But He loves us as we are the apple of His eyes. We are loved, and
sometimes we just don’t realize it.
Di hari itu, setiap kali angin pantai
menampar wajahku yang rupawan ini (nah kan sombong. Gak lah itu tandanya saya
bersyukur dan mencintai diri saya hehehe), satu per satu pesan tersampaikan
dari alam:
“Tan, ingat betapa indahnya ini.”
“Tan, tolong jangan rusak aku.”
“Tan, ingetkan konco-koncomu untuk gak nyampah
sembarangan. Plis, jangan membuatku jelek!”
“Tan, kamu dan teman-temanmu disayang Tuhan.”
“Tan, ingat hari ini, ya.”
“Tan, suara ombak merdu kan?”
“Tan, sering-sering main kesini, ya.”
“Tan, jangan khawatir lagi, ya.”
“Tan, tataplah masa depan dengan penuh keberanian…………”
Malang, 21 Juli 2019
2:17 AM
Komentar
Posting Komentar