Saya kira tidak ada yang lebih
syahdu daripada menonton laron-laron berterbangan di seputaran lampu jalan
dekat pos ronda tengah kampung bersama Bapak. Malam-malam, sehabis hujan,
bertemankan jaket tebal dan sepotong cerita, kami menonton laron yang seolah-olah
menggambarkan kondisi chaos. Tanpa
tujuan, merebut cahaya, ketakutan. Tak karuan.
Kegiatan menonton laron sehabis
hujan merupakan agenda wajib saya dan Bapak sehabis maghrib. Saya sangat menyukai
pertunjukan itu sebab bagi saya laron-laron yang berterbangan itu dramatis
sekali. Mereka adalah wujud nyata konsep anarki, kelompok tanpa hierarki yang sama-sama
memiliki insting melindungi diri. Saya suka melihat bagaimana mereka terdorong
oleh kebutuhan dengan memberanikan diri keluar dari dalam tanah dan mencari
kehangatan. Saya tertarik pada bagaimana laron-laron ini keluar mencari
pasangan dan kawin dibawah cahaya lampu jalan, sehabis hujan pula. Bagi saya,
tidak ada yang lebih tragis selain tewasnya laron-laron itu saat matahari
terbit karena mereka tak juga mempunyai pasangan untuk kawin.
Kesukaan saya pada laron dimulai saat
saya pertama kali melihat mereka bergerombol dibawah lampu taman rumah Nenek di
desa. Saya tak pernah melihat makhluk yang sedemikian rupa berkumpul semata-mata
hanya untuk cahaya. Ibu saya lalu menceritakan sebuah cerita yang membuat saya
jatuh cinta pada serangga itu hingga saat ini. Konon, kata ibu saya, laron dulunya
adalah pangeran Bumi yang tinggal dibawah tanah. Pada waktu hujan pertama kali
turun di dunia ini, terdapat wabah penyakit yang menjangkit seluruh kerajaan,
tak terkecuali pangeran itu sendiri. Sebagian besar masyarakatnya mati. Pangeran
itupun berduka. Ia bertekad keluar dari istananya dan menuju ke atas Bumi,
mencari penyebab terjadinya wabah itu dan obatnya. Ketika ia naik ke atas Bumi,
ia melihat seorang gadis yang bermandikan cahaya sedang mengelus bunga di
sebuah taman.
“Apa yang sedang kau lakukan?”tanya
pangeran itu.
“Lihatlah, bunga ini akan tumbuh
jika ada air dan cahaya. Sayalah yang bertugas memberi ia cahaya tersebut.”
Pangeran itu terpesona dan
menceritakan keluh kesahnya pada gadis itu. Gadis itu langsung mengerti dan memancarkan
cahayanya pada sang pangeran. Sang pangeran yang telah sembuh karena mendapat
kehangatan pun berterima kasih. Ia berharap bisa bertemu dengan gadis itu
setiap waktu.
“Maaf, Tuan. Saya hanyalah seorang
pekerja biasa dari matahari. Cahaya yang saya bawa tidak banyak. Saya juga
tidak bisa seenaknya sendiri turun ke Bumi tanpa perintah dari Yang Mulia.”
Pangeran itu bersedih hati. Akan
tetapi, gadis itu berjanji akan memberikan cahayanya dari jauh, karena ia tahu
bahwa cahaya yang terlalu kuat akan menyebabkan pangeran itu mati. Ia sadar ia
tidak akan bisa terus menerus datang ke Bumi karena itu akan membahayakan sang
pangeran, tapi ia berjanji untuk mengobati rakyat kerajaan pangeran itu yang
sakit karena kedinginan.
“Naiklah, maka saya akan turun. Ini adalah
yang pertama dan terakhir saya bertemu dengan Tuan secara langsung. Esok hari, Tuan
mungkin tidak akan kuat dengan cahaya yang saya miliki jika kita terlalu dekat.”
Sang pangeran pun turun ke bawah
tanah, kembali membangun kerajaannya. Kini, dipercaya bahwa laron-laron itu
adalah jelmaan dari rakyat-rakyat pangeran tersebut, dan sang gadis telah
meninggalkan cahayanya di Bumi, diserap lampu-lampu yang tak berbahaya bagi
laron-laron itu. Yang jelas, bagi saya saat ini, laron-laron tersebut terlihat
sama saja dan tanpa hierarki. Mereka bergerak sendiri-sendiri untuk dirinya
sendiri.
Akan tetapi, yang saya sukai dari
cerita itu adalah mengenai bagaimana ibu saya menempatkan kedua tokoh yang sama
sekali berbeda dalam sebuah kisah cinta, tidak seperti yang kebanyakan ditawarkan
sinetron dengan mengkonstruksi pemikiran masyarakat bahwa orang dengan derajat
begini harus dengan orang dengan derajat yang sama-sama begini juga, dll.
Sekalipun kemudian banyak sinetron yang menawarkan sudut pandang yang berbeda
dengan memberikan konsep lain dimana misal, si kaya jatuh cinta pada si miskin,
akan tetapi pasti akan selalu ada embel-embel lain misal, sang gadis harus
cantik sekali, atau si cowok harus tampan betul. Dalam dongeng ibu saya, si
gadis tidak ‘menjual’ fisiknya, ia hanya memberikan apa yang dibutuhkan
pangeran dari apa yang dia punya dan dia bahagia saat memberinya. Dan pangeran
menerimanya. Tanpa tendensi apa-apa. Karena ia juga membutuhkannya. Mereka
adalah wujud dari konsep saling melengkapi. Dongeng pun tak jarang menjual konsep
yang kurang lebih sama dengan menekankan pada ‘seorang gadis tercantik di desa
itu’, atau ‘pangeran yang sangat tampan’, atau bahkan konsep happily ever after. Saya mungkin memang penganut
paham klasik konsep ‘akhir yang bahagia’, tapi saya menyukai bagaimana kemudian
ibu saya dapat memberi sudut pandang yang sama sekali baru buat saya waktu itu
dengan mengangkat dongeng ini menjadi sebuah tragedi. Dan tetap saja, konsep
kecantikan dan ketampanan yang ditawarkan dongeng-dongeng itu merupakan
konstruksi sosial dari apa yang dianggap masyarakat sebagai ‘cantik’. Namun, kecantikan
buat saya adalah konsep yang relatif dan tak bisa digambarkan secara umum.
Karena buat saya semua orang cantik. Dengan jalannya sendiri. Saya hanya tidak
suka ketika dongeng-dongeng itu menonjolkan kecantikan maupun ketampanan
sebagai satu-satunya hal yang paling penting dan menarik dengan memasukkannya
di awal cerita (biasanya demikian).
Cerita tentang asal-usul laron,
ditambah masa-masa menonton laron dengan Bapak di waktu kecil telah sangat
membuat saya jatuh hati pada laron. Seringkali di waktu kecil saya berlari
menembus kerumunan laron diatas saya, bergidik geli saat satu dua laron
menyentuh tubuh saya. Dan saya tertawa. Saya pikir hal itu menyenangkan sekali.
***
Saya kira tidak ada yang lebih romantis
daripada berdua makan jagung rebus dengan dia di malam hari di alun-alun kota
sehabis hujan. Saya masih melihat laron-laron itu berterbangan. Saya menemukan
kerinduan akan masa kecil. Saya melihat kedua matanya yang indah menyipit saat
ia tertawa mendengar saya bercerita tentang laron. Saya sangat menyukainya.
Saya suka melihat ekspresinya yang berubah saat saya bercerita tentang hal yang
menakutkan saat pertama kali saya menonton laron tanpa Bapak. Saat itu Bapak
pergi ke rumah temannya, dan saya nekat menonton laron dengan membawa senter
(sebetulnya ini lucu juga, tapi cukup menakutkan). Saya suka menikmati waktu
sehabis hujan dengan dia diantara cahaya-cahaya lampu alun-alun kota. Saya
merasa hangat, dan sangat berbahagia. Inikah apa yang dirasakan laron-laron itu?
Saya kira menonton laron adalah
tradisi yang akan tetap saya pegang sampai nanti karena telah memberi saya sejuta
cerita dan perasaan yang tak dapat semerta-merta saya lupakan. Karena itu, saya
selalu berdoa agar dunia ini diliputi cahaya. Karena saya tak tahu apa yang
akan terjadi jika laron tak datang dan berebut cahaya sehabis hujan.
***
(Saya tidak tahu sebenarnya apakah teks ini
bisa disebut cerpen atau bukan, karena sepertinya tidak mengandung konflik,
hehehe. Tapi habis sekali duduk, kan’? Kurang dari 10000 kata, kan’? Hehehe. Yang
jelas, ‘cerpen’ ini menjadi permohonan maaf saya pada laron-laron yang telah
masuk kamar saya untuk mencari cahaya, tapi bodohnya saya malah mematikan lampu
kamar dan menyalakan senter dekat jendela supaya laron-laron itu keluar
melewati jendela. Maafkan saya laron, saya tak membagi kehangatan yang saya punya
bagimu. ☹ )
Komentar
Posting Komentar