Langsung ke konten utama

August and Everything After*

 Baca bagian kedua di siniRasio Emas dan Jaringan Rimpang

Bagian 3

            Dari seluruh hal aneh yang disukainya, aku tahu Phi menyukai satu band spesial. Sebuah band rock asal Inggris yang bubar setelah berdiri selama lima tahun. “Dari waktu yang singkat itu mereka punya banyak album, hits terbaik, dan masa yang keren. They’re the pioneers of seventies’ zeitgeist.” jelasnya dengan raut berbinar. “Lima tahun yang singkat. Hanya lima tahun. Mereka lalu bubar, personelnya membentuk band-band lain. Tapi tidak ada yang bisa menyaingi saat mereka bersama.” Phi menyodorkan sebuah album kepadaku. Album itu tampak lawas, tapi masih terawat dengan sangat baik. “Asli. Aku dapat dari sebuah marketplace. Pemilik sebelumnya juga fanatik sepertiku, makanya ia rawat dengan sebaik mungkin. Terpaksa dia jual karena dia lagi benar-benar butuh uang.”

            Aku mengusap dengan hati-hati album itu. Sampulnya berwarna biru tua, terdapat guratan abstrak warna-warni. Di tengah, ada semacam siluet jalan berwarna hitam dengan enam orang yang berjalan beriringan. Di pojok bawah terukir: When It Rains.

            “Aku belum pernah dengar band ini.” gumamku.

            Phi nyengir. “Ya kalau lihat histori hape-mu sih aku nggak heran.”

        Aku mendongak. Phi meletakkan tangannya di bahuku. “Percaya saja. Kamu pasti suka.” Ia lalu meletakkan album itu dengan hati-hati di rak koleksi albumnya.

            Siang itu kuhabiskan dengan mendengar lagu-lagu When It Rains lewat ponsel. Aku heran mengapa band ini tak pernah sekalipun terdengar di telingaku, atau muncul sebagai saran di beranda aplikasi musik. Kedengarannya mereka sesuai dengan seleraku.

        Phi bilang itu mungkin karena AI (artificial intelligent) aplikasi musik pun tahu bahwa aku tidak begitu menyukai perubahan sehingga sungkan mengotak-atik algoritma pencarian musikku. Ada-ada saja. Aku bukannya tidak menyukai perubahan. Aku hanya tidak terpengaruh olehnya. Meski dunia ini berubah dan matahari beneran terbit dari utara macam apa yang dikatakan Kahitna, ya aku bakal tetap begini-begini saja.

        Sebuah lagu dari When It Rains terputar secara otomatis di ponselku. Aku belum pernah mendengar yang seperti ini.

            Walk slow, feet by feet. Your steps won’t get you anywhere, if you run on a spinning wheel.”

          Intro dimulai dengan alunan orkestra yang bergerak lambat, seperti musik yang mengiringi adegan slow motion di film-film. Perlahan-lahan suara biola terdengar paling keras dari yang lain. Terus menerus, meningkat intensitasnya, hingga hanya tersisa suara biola. Lalu diam total. Perlahan muncul alunan gitar yang begitu sederhana, berbanding terbalik dengan kemegahan intro awal. Riff yang tampan.

            The light faded like a dead lighthouse. Waves were getting louder, you just have to walk slowly.”

            Segalanya berjalan lambat. Detik jam, laju kereta api yang terdengar dari kamar, suara napasku. Aku menjatuhkan pulpen. Geraknya lebih lambat dari yang kukira hingga aku bisa melihat putaran terakhirnya sebelum menyentuh lantai.

            Your feet are closer to the destination than your eyes. Breath every fragrance from yesterday’s dead flowers, you just have to walk slowly.”

***

     Suara alarm membuatku terbangun. Ada bekas rokok di meja belajarku, itu pasti milik Phi. Ia mungkin datang mengunjungiku tadi ketika masih tidur.

         Ponselku masih nyala, mengalun pelan lagu-lagu When It Rains. Pawn. Lagu dengan irama yang semangat, cocok diputar pada waktu bangun tidur. Lagu yang bagus, meski judulnya lucu. Pegadaian yang seperti apa yang dimaksud lagu ini?

          Mungkin lagunya, atau liriknya, atau judulnya yang lucu, tapi tetiba saja kepalaku terasa sangat pusing. Atau mungkin bukan karena lagunya, tapi karena aku terbangun secara tiba-tiba. Jam menunjuk pukul tiga sore. Aku ingat tadi masih terjaga sembari mendengarkan lagu Slow pada pukul satu siang. Sensasi rasa lambat yang diberikan lagu itu terasa benar-benar nyata. Samar aku mengingat suara detik jam, bunyi laju kereta api, hingga suara napasku sendiri yang terasa sangat lambat. Aku merinding. Tadi pasti aku bermimpi.

          Hari ini hari Kamis. Hari rutin bertemu Phi. Aku segera bangun dan bersiap ke kamar mandi saat kurasakan sesuatu yang janggal di telapak kaki.

***

            “Nan!” sapa Phi dengan semangat. Ia sedang berjongkok, memberi makan kucing kampung yang rutin nongkrong di depan rumahnya.

            “Kau tadi dari rumahku, ya?” tembakku langsung.

           Phi tersenyum lebar. “Iya. Kau lagi tidur nyenyak. Aku nggak berani membangunkan.”

            Phi berdiri. Kucing itu mengeong pelan, lalu memalingkan muka dan melanjutkan makannya. Ia tampak tak begitu berpengaruh dengan perginya Phi dari hadapannya.

            “Kenapa sih, kau nggak pelihara saja kucing itu?” tanyaku.

            “Nggak bisa, walau sebenarnya pingin.” Phi menggeleng. “Kucing itu aneh, tahu. Kalau aku pelihara kucing ini, dia bakal kabur, atau main-main ke tempat jauh sampai lupa rumah. Terus aku harus cari dia kemana-mana. Kalau aku nggak pelihara dia dan hanya memberinya makan kayak gini setiap hari, dia sendiri yang bakal terus ke rumah karena dia butuh makan. Aku nggak perlu takut kehilangan dia, tapi bisa ketemu dia setiap hari kayak begini.”

         Phi benar juga. Namun urung kuakui itu di depannya. “Dasar aneh.”

            Phi tergelak. “Bukan aku yang aneh. Memang kucing itu hewan yang rumit.”

            Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Pertanyaan bagi Phi yang sudah kusimpan sejak berangkat dari rumah lalu.

            “Jalan sekarang, yuk?” Phi memecah keheningan.

           Aku mengangguk. Kami lalu berjalan beriringan menuju tempat itu. Tempat dimana kami pertama kali bertemu. Tempat yang cuma lima belas menit ditempuh jalan kaki.

            “Hei, kau tahu band itu darimana?” tanyaku.

          “Band apa?” sahut Phi. Ia nampak agak terkejut karena biasanya aku pendiam ketika jalan berdua begini.

            “Band yang kau tunjukkan padaku. When It Rains.”

            “Hehehe. Kenapa? Seleraku bagus, kan?”

            “Ya. Terserah.”

            “Aku tahu dari temanku, namanya Kafka. Kami dulu tergabung di satu band bernama About Jane.”

            About Jane?” aku terbelalak.

            “Ya. Kau pernah dengar?”

            “2015. Kau main di SMA Raya Terang, kan?”

            Phi tertawa. “Sudah kuduga. Aku sempat heran mengapa kau tak mengenalku lebih awal.”

          Kami terus berjalan beriringan. Aku termenung. Philae, About Jane, konser tahunan SMA Raya Terang. Lucu juga hidup ini.

            “Kami dulunya terkenal, tahu. Sering diwawancara majalah remaja lokal. Nggak sampai nasional karena Kafka benci publisitas berlebihan. Kayaknya kamu memang beneran kurang gaul, Nan.” Phi tersenyum lebar.

            “Temanmu itu aneh juga.”

            “Iya, dia memang aneh.”

            “Lebih aneh dari kamu?”

            Phi mengernyit. “Aku dibilang aneh sama orang yang lebih aneh? Aneh.”

            Sisa perjalanan itu kami habiskan dalam diam. Sinar matahari mengintip pelan dari mendung awan tebal. Lagi-lagi aku termenung. Phi yang selalu penuh kejutan. Kejutan-kejutan yang datang satu per satu, sesuai waktunya. Keterkejutanku yang ternyata belum selesai saat kupikir gadis di sebelahku ini tak mampu lagi membuatku terperangah.

***

            “Benar. Lagu itu memang misterius.” Phi menatapku dengan raut serius setelah aku menceritakannya pengalamanku mendengar lagu Slow dari When It Rains. “Kalau kita unggah cerita ini ke Reddit, pasti bakal viral.”

            Aku tergelak. “Mungkin nggak juga. Itu pasti perasaanku saja.”

            “Nan! Masa iya kamu berada dalam slow motion secara tiba-tiba?”

            “Itu pasti cuma mimpi.”

            “Tapi sensasinya nyata banget, kan?”

            “Ada satu kondisi unik di antara waktu kita sadar dengan hampir tidur, tahu. Kadang sensasinya bisa senyata itu, padahal itu cuma kondisi yang dipikirkan otak kita secara acak.”

           Phi menggeleng. “Penjelasanmu masuk akal, tapi kau bakal berubah pikiran waktu dengar ceritaku.”

            Phi lalu bercerita di tengah-tengah redup kafe buku langganan kami berdua, yang sering kami kunjungi selepas pulang dari tempat itu. Temaram lampu mendukung aura dirinya saat bercerita setengah berbisik.            

       Saat itu, beberapa bulan lalu ketika Phi sedang siaran Sabtu Sepi Sendiri. Ia mendapat telepon dari pendengar.

            “Nada bicaranya terdengar putus asa. Ia bilang ia sedang berada di pinggir jembatan. Duduk saja katanya, mengamati riak air yang membentuk lingkaran-lingkaran sempurna. Ia bilang ia merasa begitu kesepian saat menyadari bahwa Bumi ini cuma satu, dan suatu saat ia akan meninggalkan Bumi juga dalam keadaan sendiri. Padahal selama ini ia tidak pernah keberatan saat melakukan sesuatu sendirian.

            “Aku bilang padanya, tidak perlu merasa begitu. Kesepian adalah hal yang lumrah, tapi jangan pernah tenggelam di dalamnya. Apalagi memikirkan hal yang belum terjadi. Hiduplah untuk hari ini, sebagaimana kamu melewati hari-hari kemarin.

          Dia adalah penelepon terakhirku malam itu. Sepulang siaran, aku pergi ke jembatan yang dia maksud karena kasihan. Kupikir aku bisa sedikit menghiburnya. Dia bilang dia akan berada di sana sepanjang malam. Namun, sesampainya di sana, tepat di tempat yang dia maksud, yang kulihat hanya seekor kucing sedang mengeong saat aku datang.”

            Phi menghela napas panjang.

            “Aku bertanya pada ibu-ibu penjaga warung di dekat sana. Tapi ia bilang ia tidak melihat seorang pun berdiri di sana sejak sore. Hanya kendaraan berlalu-lalang.”

          “Kau boleh menganggap ini kebetulan, tapi lagu Slow bermain ketika aku berkendara menuju jembatan. Aku menangkap angin yang berembus lambat, kendaraan yang berlalu-lalang dengan santai, hingga sampai di tempat tujuan. Tebak apa yang kutemukan? Ya, seekor kucing. Sinting! Rasanya kayak habis keluar dari dimensi yang lain.”

            Ketika Phi selesai bercerita, aku baru sadar kulitku terasa dingin. Aku merinding.

          “Itu pasti penelepon iseng. Dia sedang di rumah, di kamarnya, sambil ongkang-ongkang kaki meneleponmu. Menyuruh kau ke jembatan. Kalau dipikir-pikir berbahaya juga.”

            “Betul. Kalau dipikir sekarang sepertinya begitu. Tapi waktu itu, aku tidak bisa memikirkan hal lain. Kalau ada seseorang meneleponmu dan ia mengisyaratkan sebuah permintaan tolong, masa nggak kamu ladenin?”

            “Tergantung, aku kenal orang itu atau nggak.”

         “Huh,” Phi mendengus kesal. “Memang sulit bicara sama hati batu.”

            Aku termenung. Cerita Phi lebih terdengar seperti kisah lucu-lucuan penelepon iseng. Tapi, mengenal Phi membuatku paham satu hal. Ia menghargai pendengarnya. Jika ada hal lain yang bisa ia lakukan selain memutarkan lagu-lagu melankolis untuk para pendengar kesepiannya, pasti akan ia lakukan.

            Namun, meski aku tak ingin mengakui pendapat Phi, sensasi yang diberikan lagu itu betulan terasa ajaib. Detakku yang seolah melambat, suara kereta api dari kejauhan, pulpen yang jatuh. Itu semua hanyalah mimpi. Aku sudah terlelap. Aku yakin itu. Aku sempat yakin. Namun, semua keyakinan itu luruh saat aku teringat bahwa ketika aku terbangun dari tidur dan beranjak ke kamar mandi, kakiku menginjak sesuatu. Sebuah pulpen yang telah jatuh.

 

*) judul diambil dari album debut Counting Crows, 1993.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...