Langsung ke konten utama

No Man No Cry

 

            Saya punya teman perempuan dari Italia yang suka sekali dengan Bob Marley. Dulu, dengan semangat berapi-api dia mengajari saya lagu “No Woman No Cry” yang ia modifikasi sendiri menjadi “No Man No Cry”. Agaknya memang dia memiliki masa lalu yang buruk dengan laki-laki. Entah sudah kali keberapa sakit hati, sampai-sampai ia punya prinsip untuk lebih baik tidak berhubungan dengan mereka karena hanya akan berujung air mata.

            Remember,” katanya ketika menjabat tangan saya sesaat sebelum berpisah. “No boyfriend, no problem, no cry.” Ia lalu mengedipkan sebelah mata dan tersenyum penuh arti. Saya tertawa ketika mendengar kalimat itu. Kami sedang bersedih-sedihan karena akan berpisah, tapi malah kalimat itu yang menjadi pesannya sebelum pergi. Seolah dia mewanti-wanti setiap perempuan untuk berhati-hati. Dan memang itulah yang dia lakukan sebelum-sebelumnya, menyanyikan “No Man No Cry” dikelilingi teman-teman perempuan di asrama.

            Sekitar setahun yang lalu, saya melihat postingan menarik di Instagramnya. Ada gambar dia bersama seorang laki-laki sedang berpelukan dan tersenyum ke arah kamera. Wah, ini menarik sekali. Mungkin dia sudah bertemu seseorang yang mampu menyembuhkannya dari dendam pribadi terhadap kaum laki-laki. Kira-kira laki-laki ini seperti apa, ya? Sampai-sampai mampu membawa teman saya yang dulunya benci jadi kasmaran.

            Gara-gara dia, saya putar lagi lagu Bob Marley itu. Sekelebat kenangan muncul dalam kepala, mengingatkan saya pada hari dimana dia bernyanyi lagu itu dengan serak yang cuma dia yang tahu artinya. Kelebat lain muncul. Teringat dua hari terakhir di asrama ketika kami begadang sampai dini hari sambil bercerita dan bercanda tentang apapun. Kami sampai ditelepon asrama lain karena mereka terganggu.

            Saya kemudian tersadar, betapa waktu banyak berubah. Teman saya sudah kembali percaya pada cinta. Dan saya, yah, sayangnya saya masih gini-gini aja. Tapi nggak papa. Yang penting paragraf ini berima. Anjaaa…i. Wakakaka.

            Kembali ke cerita, memutar lagu Marley membawa saya ke artikel yang berisi tentang salah kaprah pemaknaan lagu ini. Mulai dari penulisan judul, lirik, sampai ketika dinyanyikan bersama-sama di karaoke, penempatan komanya tidak tepat. Yang orang tahu, lagu ini berbunyi begini:

            No woman, no cry

            No woman, no cry

            I say, oh little oh little darling, don’t shed no tears

            No woman, no cry

            Wah, inilah akibatnya kalau tidur waktu pelajaran Bahasa. Sudah masih sering salah menulis Oxford comma, ini pakai salah lagi nulis koma di lagu! Hayo, siapa yang begini? Nggak usah angkat tangan, jawab saja dalam hati.

            Gara-gara penulisan yang salah ini, orang jadi berpikir bahwa lagu ini berarti ‘if there’s no woman, there’s no reason to cry’. Padahal, maksud Marley nggak gitu. Yang benar adalah, ‘No, Woman, No Cry’. Lagu ini justru mau ngomong, ‘Woman, don’t cry’. Alias, ‘hei para wanita, jangan menangis’. Bassist Wailers Aston Barrett justru bilang, “Ini lagu tentang kekuatan pada setiap wanita. Dan kita suka wanita yang kuat! Mereka harus kuat seperti singa! Perempuan yang kuat, yang tidak bergantung pada pria.”

            Artikel ini lantas mengingatkan saya pada teman saya itu. Kami memang terkecoh dengan artinya, tapi justru dari kesalahan itu, dia mengajarkan saya tentang menjadi wanita yang kuat. Dia membuat saya berpikir, tidak perlulah berpikir cinta-cintaan. Nanti jadinya malah galau terus. Dia memang ada benarnya.

            Saya pikir, dunia ini menawarkan banyak alasan untuk menangis, tapi juga di saat yang bersamaan, alasan untuk menjadi kuat. Orang-orang yang kita temui tentu tidak semua meninggalkan kesan baik. Teman saya contohnya. Pengalaman cintanya membuat dia kapok berurusan dengan laki-laki sampai akhirnya, ia bertemu orang yang mungkin selama ini ia cari. Meski ia harus meninggalkan jabatannya sebagai ‘Presiden’ klub No Man No Cry kami, saya senang melihatnya bahagia.

            Ketika hari ini saya kembali mendengarkan lagu kebangsaan seluruh penggemar Marley itu, saya tersadar. Don’t shed no tears, ladies! Let it dry! Put your hand on your chest and sing aloud with me, “Coz Georgie would make da fire lights, everything’s gonna be alright!!!!!”

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...