Langsung ke konten utama

Surely You're Joking, Mr. Feynman!


I wonder why. I wonder why.

I wonder why I wonder.

I wonder why I wonder why.

I wonder why I wonder!

-          Richard Feynman

Diambil dari : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Richard_feynman_-_fermilab1.jpg

            Salah satu figur kesukaan saya itu Richard Feynman, seorang fisikawan dan edukator Amerika Serikat yang meraih Nobel dalam bidang fisika. Awal mulanya nggak tahu sih bagaimana ceritanya bisa suka. Seingat saya karena akun bot Richard Feynman tiba-tiba muncul di timeline Twitter saya, yang lantas membuat saya jatuh cinta. Pertama, karena Richard Feynman ganteng banget woi. Kedua, karena semua isi tweetnya, yang adalah quotes dari beliau, meyakinkan saya pada keabsahan teori evolusi. Singkatnya, bahwa Tanti yang nggak tahu apa-apa bisa dikit-dikit tahu. Even for things I never think about before. Pokoknya, Richard Feynman ini meyakinkan saya untuk tidak menyerah pada proses belajar.

Diambil dari : https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/12/19/langkah-mudah-kuasai-materi-dengan-teknik-feynman


            Tapi, pengetahuan saya tentang Richard Feynman ya cuma sebatas akun bot, sama Wikipedia saja. Saya nggak pernah baca bukunya, walau sempat tertarik karena katanya buku-buku Richard Feynman bisa dipelajari bahkan bagi orang-orang yang awam fisika. Secara, saya yang cuma belajar fisika waktu SMP, itu pun ingatannya nol tentang bidang ini, merasa mendapatkan secercah harapan. Beneran deh, saya sama sekali nggak paham fisika itu apa. Bahkan kakak saya bilang, dari antara trio matematika, biologi, dan fisika, menurutnya fisika paling susah. Padahal kakak saya jago lho pelajaran itung-itungan begitu.

            Oh iya, sebelum tertarik sama buku Richard Feynman, sejak kapan seorang Tanti, yang selalu tertidur di pelajaran Matematika kalau duduk di belakang, tiba-tiba jadi penasaran sama fisika?? Wah, pelakunya ada dua ini. Pertama, karena filsafat. Nah, ini cerita lain lagi. Saya mulai belajar dan penasaran sama filsafat itu ketika semester pertama kuliah. Setelah baca-baca dan dengerin ceramah dosen, saya mulai menyadari bahwa filsafat ini erat kaitannya sama banyak hal sederhana namun tak terpikirkan. Dan, banyak jawaban-jawabannya bisa dilacak melalui fisika. Di fisika, kita nemu bahasan tentang materi, gelombang, ruang dan waktu, realitas, dan lain-lain, yang sebenarnya, sudah seringkali kita coba interpretasi melalui filsafat. Pada perkembangannya, hal ini juga mencakup kosmologi yang begitu luas, yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kita tentang dunia fisik ini. 

            Pelaku kedua ini agak receh sebetulnya, tapi nggak disangka-sangka justru membuat rasa penasaran ini semakin menggebu-gebu. Shout out to the one and only nerd-sitcom, The Big Bang Theory! Anyway, ini sitkom Amerika pertama yang saya tonton,… kalo ga salah. Saya nge-fans berat sama sitkom ini, sampai-sampai sedih sendiri harus berakhir tahun 2019 kemarin .

Diambil dari : https://www.idntimes.com/hype/entertainment/sheila-astari/resmi-tamat-ini-11-momen-perpisahan-the-big-bang-theory-c1c2

            Buat yang belum tahu sitkom ini, TBBT bercerita tentang Sheldon Cooper dan Leonard Hofstadter, dua orang fisikawan Caltech yang tinggal bareng di satu apartemen, alias roommate. Nah, suatu waktu, hadirlah Penny, seorang cewek yang bekerja di Cheesecake Factory, yang pindah ke apartemen seberang mereka. Sheldon dan Leonard yang kuper ini kenalan sama Penny yang mengajarkan mereka tentang dunia sosial di luar sains dan fisika. Sitkomnya seru banget deh, jokes nya lucu semua, bahkan joke-joke sains yang saya nggak awam tapi dapet banget punchline-nya. Dan ya, meskipun sitkom, tapi saya belajar banyak, terutama fun facts yang rajin dikasih Sheldon. Pokoknya kalian harus nonton. Harus. Ingat, ini paksaan.

            Sejak nonton TBBT, saya tiba-tiba pengen banget jadi fisikawan. Eee, maksudnya bukan gitu juga sih. Saya pengen jadi kayak Sheldon yang bener-bener cinta sama bidang ilmunya. Dia kayak seru banget gitu lho mendalami fisika, bikin orang kayak saya yang nggak tahu apa-apa pun jadi tertarik. Aneh banget sih ini. Kalo kata Bang Bonar, apa kata dunia?! Nggak usahlah kata dunia, itu terlalu alay. Kata kakak saya aja. Dia sampai heran kenapa saya pinjam buku “Fisika” waktu mengantar saya ke perpus kota.

            Kebetulan lain adalah tokoh idola Sheldon ini, selain Madam Curie dan Stephen Hawking, adalah Richard Feynman. Di salah satu episodenya, diceritakan Sheldon dkk menyewa van Richard Feynman yang terkenal buat perjalanan ke Meksiko untuk merayakan bachelor party Leonard. Omong-omong, van Richard Feynman ini terkenal banget, lho. Van ini berjenis Dodge Tradesman Maxivan berwarna kuning mustard yang dibeli Feynman pada tahun 1975. Plat nomornya adalah QANTUM. Yang membuatnya unik adalah mural Diagram Feynman yang tergambar di sisi samping van tersebut. Menurut cerita, Feynman sering berwisata dengan menggunakan van itu.

Diambil dari: http://www.feynman.com/fun/the-feynman-van/

            Kira-kira itulah alasan dan cerita dibalik kenapa tiba-tiba seorang Tanti tertarik pada dunia Fisika dan mengidolakan tokoh fisikawan teoretis bernama Richard Feynman.

            Karena semakin penasaran dengan sosoknya, saya akhirnya pinjam buku Feynman yang kayaknya adalah satu-satunya buku yang bisa dimengerti oleh orang buta rumus kayak saya ini, yaitu bukunya yang berjudul “Surely You’re Joking, Mr. Feynman!” atau yang dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia sebagai “Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika”. Nah, buku ini sebenarnya biografi Feynman, yang ditulis teman dekatnya, Ralph Leighton, berdasarkan rekaman pembicaraan mereka berdua. Meski bertajuk biografi, Feynman juga menyelipkan kisah-kisahnya bergumul dengan teori-teori tertentu, kisah-kisahnya ketika mengajar, hingga aplikasi fisika dalam kehidupan nyata. Seru abis, deh. Isinya bikin ngakak karena pembawaan Feynman yang memang terkenal lucu, santuy, mirip guru olahraga SMA.

            Buat Feynman, fisika itu bukan momok, sesuatu yang ngawang, atau pekerjaan serius yang bikin botak (Feynman nggak botak, lho. Hahaha). Feynman sering menggunakan Fisika buat nge-prank. Itulah yang membuatnya out of the box. Belajar dengan santuy, dinikmati, dicoba, sambil tertawa-tawa. Bersamaan dengan aplikasi dan eksperimennya itu, dia banyak belajar. Baca bukunya membuatku berpikir kalau belajar bisa seasyik itu.

Diambil dari: https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/biografi/1292elf-jual-buku-cerdas-jenaka-cara-nobelis-fisika-petualangan-hidup-richard-p-feynman

            Salah satu prank yang paling kuingat adalah waktu Feynman ngasih tip ke pelayan di restoran langganannya. 

          Jadi, pada suatu hari, Feynman lagi kepingin aja gitu buat nge-prank. Sehabis makan, dia meninggalkan tip buat pelayan yang sudah hapal sama Feynman. Masalahnya, tip-nya ini, yang berupa uang koin, ditaruh di gelas bening berisi air penuh, lalu dibalik dan dibawahnya dialasi kertas. Dia tinggalkan tip itu di atas meja. Nah, pelayannya jelas kebingungan, dong. Bagaimana caranya mengeluarkan uang koin itu dari gelas? Kalau dia angkat gelasnya, air bakal berceceran ke mana-mana dan dia harus ngepel. Tentu saja dia nggak mau, lah ya. Apalagi restoran pada saat itu sedang ramai dan dia nggak mau bikin kotor.

            Esok harinya, ketika Feynman datang lagi, seorang pelayan lain menegurnya. Dia bilang pelayan yang kemarin ngambek karena dia berpikir sampai berjam-jam gimana caranya mengeluarkan uang tip tanpa bikin kotor dan nggak nemu caranya. Akhirnya dia angkatlah gelas itu dan airnya berceceran kemana-mana, lalu dia harus nge-pel air sebanyak itu. Feynman hanya ketawa. Sehabis makan, dia ulangi prank yang sama. Bedanya kali ini dia pakai dua gelas dan dua uang tip yang dimasukkan ke masing-masing gelas.

            Pelayan pun jadi semakin jengkel. Dia sampai ngambek lah intinya sama Feynman. Para pelayan menunggu jam restoran tutup, lalu mereka ulangi prosedur yang sama.

            Besoknya, Feynman datang lagi. Pelayan sudah pada jengkel. Feynman lalu dengan santainya membeberkan caranya. “Padahal mudah lho,” katanya. “Ambil saja baskom, lalu tarik pelan-pelan kertas ini sampai ke ujung meja. Di bawahnya sudah ada baskom yang siap menampung air ini. Tinggal ambil saja uangnya, deh.” Feynman tersenyum jahil. Pelayan geleng-geleng kepala. Saya tertawa terbahak-bahak.

            Malam itu juga, saya ambil uang koin lima ratusan, kertas bekas brosur milik Bapak saya, dan segelas air. Saya coba cara yang sama. Awkwowkwok. Lucu juga. 

Dok. pribadi: kira-kira seperti ini. 

            Ada banyak cerita lain di buku ini. Kebanyakan bikin ngakak karena Feynman memang selucu dan se-savage itu. Salah satu cerita yang saya suka adalah waktu Feynman memutuskan masuk kelas Filsafat dan Humaniora di MIT. Saat itu, MIT mewajibkan mahasiswanya untuk mengambil kelas humaniora agar lebih beradab dan berbudaya. Feynman sebenarnya hanya tertarik pada sains, tapi karena kewajiban itu, akhirnya ia mengambil kelas itu juga juga. Nah, karena tidak tertarik pada mata pelajaran humaniora, Feynman ini selalu mencoba berkelit. Tugas-tugas di kelas Bahasa Inggris misalnya, dikerjakannya dengan tidak mengikuti aturan, atau malah kadang dibuat parodi. Misalnya waktu disuruh membuat kritik tentang “Kemerdekaan” oleh Mill, alih-alih menulisnya sesuai konteks yang dibicarakan Mill, ia malah membahas tentang kemerdekaan dalam konteks sosial. Ia mencontohkan bagaimana orang-orang berbohong demi sopan santun, dan pada akhirnya itu dapat memicu ke arah “kehancuran sendi-sendi masyarakat” (hlm. 52). Atau saat lain ketika ia diminta membuat makalah tentang karya Goethe yang berjudul Faust. Ia sudah buntu banget, tapi akhirnya dikerjakannya juga. Menariknya, ia dapat nilai yang baik! Intinya, Feynman ini selalu berkelit dari tugas-tugas humaniora itu, walau ujung-ujungnya tetap dapat nilai bagus juga :D

            Nah, di kelas Filsafat ini, Feynman diajar oleh professor Robinson yang katanya kalau ngajar suka bergumam, sehingga Feynman tidak paham apa yang diajarkan. Gumamannya terdengar nggak jelas, seperti "gugu gaga" saja. Suatu ketika, ia mendapat tugas untuk menulis esai dengan tema yang telah diajarkan Prof. Robinson dalam satu tahun. Buyar sudah. Ia nggak tahu harus ngapain.

            Sampai akhirnya, Feynman teringat sesuatu. Ia ingat ia pernah mendengar sang Profesor mengucapkan sesuatu tentang stream of consciousness, meski dia nggak ingat konteksnya apa. Frasa ini mengingatkannya akan pertanyaan ayahnya dulu tentang apa yang terjadi ketika kita tidur. Dari sana, dia dapat ide. Dia akan menulis tentang sebuah pertanyaan: bagaimana aliran kesadaran (stream of consciousness) berhenti ketika kita tidur. Berangkat dari sana, Feynman pun melakukan observasi. Setiap siang dan malam selama empat minggu, ia mengamati bagaimana caranya ia sendiri tidur.

            Ia pun menemukan banyak hal menarik selama observasi itu. Mulai dari ia bicara sendiri dalam pikirannya sebelum tidur, lalu membayangkan hal-hal visual, sampai ketika ia sudah sangat lelah, ia bisa memikirkan dua hal sekaligus dalam satu waktu. Ia juga menemukan bahwa ketika kita berangkat tidur aktivitas berpikir kita masih berjalan, tapi semakin lama semakin tidak terhubung secara logis. Misalnya nih, ketika kita memikirkan sesuatu, pikiran itu akan membawa kita ke hal lain. Hal itu berlanjut terus hingga kita lupa apa yang membuat kita memikirkan hal itu. Kita seperti berada dalam ilusi bahwa pikiran kita saling terhubung secara logis, padahal nggak. Hingga akhirnya kita pun lama kelamaan jatuh tertidur.

            Feynman pun menuliskan temuannya ini dan berkesimpulan kalau ia nggak akan tahu bagaimana caranya dia jatuh tertidur kalau dia nggak mengamati dirinya sendiri. Maka dari itu, ia menekankan pentingnya bertanya. Pentingnya mencari jawaban. Di akhir esai, ia menyelipkan sebuah puisi singkat buatannya sendiri, yang menunjukkan mengenai introspeksi ini:


I wonder why. I wonder why.

I wonder why I wonder.

I wonder why I wonder why.

I wonder why I wonder!


            Nah, ketika tugas itu dikumpulkan, beberapa hari kemudian sang professor membacakan salah satu esai para murid itu. Pada awalnya, Feynman nggak ngerti professor ini membacakan tugas milik siapa. Sampai di akhir, professor tersebut membacakan:

I wagga wa. I wagga wa.

I wagga wa I wagga.

I wagga wa I wagga wa.

I wagga wa I wagga!

            Saat itulah Feynman sadar, itu tugas miliknya!

***

            Ada banyak sekali kisah hidup Feynman yang menarik di buku ini. Yang paling menonjol adalah pembawaannya yang humoris. Salah satunya tergambar dari cerita saat ia membacakan sebuah puisi dalam bahasa ngawur untuk menghibur anak-anak di pesta pramuka hingga mereka terpingkal-pingkal. Puisi yang dibacakannya berjudul “A Tuzzo Lanto”. Setelah membacakannya, kepala pramuka dan salah seorang guru berdebat apakah puisi itu berbahasa Italia atau Latin. Padahal, Feynman cuma mengarang sendiri kata-katanya dengan mengimitasi emosi dan penekanan yang biasa dia dengar di radio Italia. Ketika mereka bertanya pada Feynman, Feynman cuma menjawab, “Tanyakan saja pada anak-anak itu, mereka langsung mengerti bahasa apa yang kugunakan.” (hlm. 51).

            Kisah lainnya adalah ketika ia bekerja sebagai kepala riset kimia di Metaplast Corporation (ini keren parah, dan lucu juga!), masa kuliahnya di Fakultas Pascasarjana Princeton, bagaimana ayahnya memberitahunya tentang rahasia dibalik kehebatan seorang pesulap, hingga ketika ia bergabung dalam Proyek Manhattan di Los Alamos. 

            Intinya, Richard Feynman bukanlah seorang fisikawan biasa. Ia adalah pengajar. Itulah yang membuat saya merasa bahwa ia telah membakar semangat saya untuk belajar. Bukan hal yang mudah, tentu. Kadang belajar rasanya kayak beban. Berat, apalagi dengan ekspetasi sana-sini yang membuat proses belajar itu kayak harus untuk mendapatkan sesuatu. Padahal, kalau kita mengilhami proses belajar kayak Feynman, kedengarannya jauh lebih menyenangkan. Belajar ya untuk belajar itu sendiri. Hidup untuk hidup itu sendiri.

***

            Selain kisahnya dalam Fisika dan pendidikan, salah satu yang paling menyentuhku adalah mengenai kisah Feynman dengan istrinya, Arline.

            Arline merupakan istri pertama Feynman, yang dinikahinya pada 1942. Ketika Feynman bekerja di Los Alamos dalam Proyek Manhattan, ia harus tinggal berpisah dari istrinya yang sedang sakit tuberkulosis. Istrinya saat itu dirawat di sanatorium di Alburqueque. Meski selalu mengunjunginya setiap akhir pekan, Feynman merasa hal itu tak cukup. Ia pun sering berkirim surat dengan istrinya itu. Namun, karena Proyek Manhattan merupakan proyek nuklir rahasia milik pemerintah, surat-surat mereka harus melewati sensor militer. Hal ini membuat Feynman jengkel.

Diambil dari : https://www.sothebys.com/en/articles/no-other-love-heart-wrenching-letters-from-richard-feynman-to-his-late-wife-arline

            Karena penyakit itu jugalah, pada tahun 1945 akhirnya Arline tutup usia. Ketika mendengar kabar bahwa istrinya sekarat, Feynman segera menuju sanatorium dan menemani istrinya sampai ia menghembuskan napas terakhir. Tepat pada saat kematian istrinya, jam Arline yang diletakkan di meja sebelahnya, turut berhenti saat itu juga. Dalam buku catatannya, Feynman mencatat tanggal dan waktu kematian istrinya dengan satu kata: Death.

            Kematian istrinya itu cukup membuat Feynman terpuruk. Sepeninggal istrinya, Feynman segera kembali ke Los Alamos. Disana, ia langsung fokus bekerja tanpa membicarakan apapun tentang kematian istrinya. Ia berusaha bersikap biasa saja, karena ia tidak ingin orang-orang bicara kepadanya dengan raut prihatin. 

            Dalam bukunya, Richard Feynman mengatakan bahwa saat itu ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi duka. Ia merasa ia sedang menipu diri sendiri. Ia tidak merasa gembira, tapi juga tidak benar-benar sedih. Ia berpikir hal itu terjadi karena selama tujuh tahun ia tahu bahwa kematian istrinya akan benar-benar terjadi, hanya perlu menunggu waktu. Karena itu, ketika para rekannya di Los Alamos bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi pada istrinya, ia hanya menjawab singkat dan berusaha mengalihkan perhatian mereka, "Dia sudah meninggal. Bagaimana program kita?"

            Berdasarkan pengakuan Feynman di halaman 156, ia menyadari dampak psikologis kematian istrinya pada dirinya sendiri. Ia merasa, ia harus benar-benar memahami perasaannya. Ia harus mengerti betul apa yang terjadi, tidak boleh menghindar. Seluruh emosinya pun pecah beberapa bulan kemudian. 

                Saat itu, Feynman sedang melewati sebuah toko baju di Oak Ridge. Ia melihat baju-baju yang terpasang di etalase dan berpikir, pasti Arline ingin salah satu dari baju tersebut. Ia pun tak tahan dan menangis. Itulah kali pertama ia menangis pasca kematian sang istri. Feynman bahkan sempat mengalami depresi dan berada di bawah penanganan psikiater.

            Enam belas bulan sejak kepergian Arline, Feynman menulis sebuah surat untuknya. Surat itu tak pernah dibuka sampai kematiannya sendiri pada tahun 1988. Surat itu tertanggal 17 Oktober 1946. Salah satu kalimatnya berbunyi, “You, dead, are so much better than anyone else alive.

Diambil dari: https://www.sothebys.com/en/articles/no-other-love-heart-wrenching-letters-from-richard-feynman-to-his-late-wife-arline

            Kalian dapat membaca surat lengkapnya disini: https://www.openculture.com/2013/08/richard-feynmans-letter-to-departed-wife.html\

            Dan untuk surat serta kisah lain Arline dan Feynman: https://www.sothebys.com/en/articles/no-other-love-heart-wrenching-letters-from-richard-feynman-to-his-late-wife-arline

            Richard Feynman menerima Hadiah Nobel Fisika 1965 bersama dengan Julian Seymour Schwinger dan Tomonaga Sin-Itiro atas karyanya tentang perluasan teori elektrodinamika kuantum. Pada 15 Februari 1988, beliau menghembuskan napas terakhirnya karena kanker lambung.

            Sampai hari ini, karya-karyanya, kisah-kisahnya, masih tersebar di penjuru dunia. Muncul di buku-buku fisika, budaya populer, sampai di timeline Twitter. Seolah-olah spirit mengajarnya masih belum habis dan terus ia sebarkan pada generasi saat ini, contohnya kayak mahasiswa butuh pegangan seperti saya.

            Terima kasih, Richard Phillips Feynman.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...