Bagian
1
Dalam cerita pendeknya yang berjudul
“Tlön,
Uqbar, Orbis Tertius”, Jorge Luis Borges mengatakan bahwa cermin dan
persetubuhan itu mengerikan karena sama-sama menggandakan manusia. Aku tak bisa
tak setuju. Menggandakan manusia itu mengerikan. Apalagi manusianya itu aku.
Menggandakan “aku” itu mengerikan.
Sekarang
kau bayangkan. Aku berhadapan dengan cermin. Cermin lemari, cermin bedak two
way cake, cermin toilet kampus. Semuanya cermin. Semuanya menggandakan aku. Aku
melihat pantulan diriku di sebuah bidang datar. Di dalamnya ada dunia yang
mirip dengan dunia ini tapi bukan dunia ini. “Aku” yang kulihat di cermin bukan
aku. Aku tak bisa menyentuhnya. Lama kelamaan timbul perasaan aneh, kemudian
ngeri. Bukan karena refleksi diriku sendiri, tapi karena mengapa begitu besar
perasaan untuk membenci refleksi itu. Namun kebencian itu juga membuatku heran.
Aku bersikap manis padaku, tapi di saat yang sama menghindariku. Tahu tidak
kebencian yang semacam itu? Yang berharap tak disadari, tapi kentara sekali.
Mungkin
karena apa yang aku temukan itu. Diantara tulang-tulang wajahku kulihat ada
hiprokrisi, sesuatu yang bersembunyi, sesuatu yang diharapkan untuk tak
diketahui. Aku melihat mata yang mengatakan lain. Sesuatu yang tak kusukai.
Sesuatu yang kita sama-sama benci.
***
“Ganteng
amat, Nan,”celetuk seseorang tiba-tiba, yang membuatku terlonjak kaget. Di
belakangku, seorang gadis berjaket jeans dengan kaos bergambar Nightwish dengan
tenang mengisap rokok.
Aku
hanya geleng-geleng kepala saja, tidak perlu juga bertanya sejak kapan Phi
berada di kamar ini. Ia seringkali begitu, masuk seenaknya sendiri, tahu-tahu
sudah di kursi sambil merokok.
“Sudah
kubilang jangan merokok di kamar ini.” kataku berusaha menghentikannya. Agak
sia-sia memang, Phi akan tetap merokok selama semenit dua menit, baru dimatikan
sesudahnya.
“Kalau kulihat-lihat kau ini lumayan juga jadi
model iklan,”katanya mengamat-amatiku dengan mata yang disipit-sipitkan.
“Lumayan lah jadi model iklan bimbel,” Ia lalu tertawa terbahak-bahak.
Dari
ekor mataku, aku melihat Phi yang sedang duduk ongkang-ongkang kaki
mengamatiku. Jari jemari tangannya membentuk persegi panjang seperti kamera,
seolah-olah sedang mencari angle yang pas untuk memotretku.
“Dengan
baju itu, kau cocok juga jadi sampul buku chord. Sambil pegang gitar,
mirip Floor Jansen.” balasku tanpa menoleh.
Phi
tak membalas. Ia tersenyum kecil lalu mengambil secarik kertas di atas meja. Ia
lalu membaca kertas itu. Sebetulnya aku ingin mencegahnya, tapi buat apa. Ia
gadis yang keras kepala. Dan, kalaupun ia tak bisa membacanya sekarang, ia akan
tetap tahu isinya nanti. Pada akhirnya, aku hanya akan tetap membacakannya
keras-keras di hadapan dia.
“Suram
amat,”celetuk Phi tak lama kemudian.
Aku
tak membalas. Aku hanya melanjutkan kegiatanku bercermin, menyisir rambut,
memakai jaket kesukaan dan satu-satunya, lalu mengambil ransel dan memasukkan
kertas itu ke dalamnya.
“Ayo
kita berangkat.”
Phi mengikuti langkahku keluar kamar.
***
Kamis
sore selalu cerah. Entah mengapa. Berapa kalipun aku berharap hujan, Kamis sore
selalu kering selama tiga tahun ini. Meskipun ini bulan September, dan Kamis
pagi diguyur gerimis, Kamis sore langit kembali menutup diri. Tidak ada titik
air berjatuhan, sebagaimana halnya tidak ada alasan bagi kami untuk tidak
berangkat. Bukannya kami membenci Kamis sore. Ini justru saat-saat kami bisa
bertemu dan menghabiskan waktu hingga malam hari bersama. Namun, Kamis sore tak
bisa dipercaya. Terkadang justru rutinitas yang kami lakukan membuat kami merasakan
hal-hal yang tak kami duga sebelumnya.
Jarak
antara rumahku dengan tempat yang kami tuju tidak jauh, hanya sekitar lima
belas menit jalan kaki. Kami suka jalan kaki sebab perumahan kami tidak terlalu
ramai. Tidak banyak keluarga yang sengaja keluar untuk jalan-jalan sore
sebagaimana tidak banyak rumah disini yang benar-benar ditinggali. Aku suka
menghabiskan waktu di perjalanan sembari berpikir. Naik kendaraan justru
mengurangi waktu berpikirku, dan aku tidak bisa fokus selama di perjalanan.
Selama
lima belas menit itu, aku dan Phi tak banyak berbagi cerita. Biasanya kami
lebih relaks dan banyak berbincang justru dalam perjalanan pulang, sembari
mampir ke toko roti atau toko buku kesukaannya. Dalam perjalanan berangkat,
kami lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, bergelut dengan pikiran kami
masing-masing. Aku curiga Phi sebenarnya sengaja mempersembahkan lima belas
menit yang berharga itu kepadaku seorang. Lebih sering ia hanya mendengarkan
musik sambil bersenandung pelan. Ia sengaja tak ingin mengusikku.
Kalau
diingat-ingat, aku melangkah ke tempat itu pertama kali juga di bulan
September. Phi lebih dahulu rutin kesana, aku tak tahu sejak kapan. Selain
karena tak pernah tanya-tanya, aku selalu membiarkan Phi bercerita terlebih
dahulu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Itu pula mungkin
sebabnya Phi menuduhku menyebalkan kali pertama kami bertemu. Kami duduk berdua
di ruang yang sama selama berjam-jam dan aku tak mengatakan apapun kepadanya.
Ia ragu ingin memulai percakapan, padahal ia merasa sudah memberikan banyak
kode dalam rentang waktu itu.
“Kenapa
tak mulai saja?”tanyaku sekitar setahun setelahnya.
“Aku
justru dianggap menyebalkan karena banyak omong, tahu. Makanya aku ingin kau
duluan yang membuka percakapan, biar seolah-olah bukan aku yang sok
kenal,”jawabnya jujur.
Kalau
dipikir-pikir saat ini, Phi memang kadang sangat menyebalkan karena tak
berhenti bicara. Tapi, justru karena itulah kami bisa dekat. Phi membagi
cerita, dan aku menyediakan telinga. Kami seperti kerbau dan burung jalak.
Simbiosis mutualisme.
Karena
itu pula, lima belas menit yang diberi Phi untukku bergelut dengan pikiranku
sendiri menurutku hadiah yang luar biasa darinya. Ia berhenti sejenak dengan
kisahnya, dan membiarkanku bercerita dengan diriku sendiri. Jika aku selalu
menyediakan telinga, kali ini aku hanya menyediakan jejak kakiku saja, yang
melangkah beriringan bersamanya. Di saat-saat begitu kami sama-sama tidak ingin
bicara dan tidak ingin didengarkan, kami hanya membutuhkan keberadaan satu sama
lain.
Berjalan
bersama Phi seringkali membuatku bertanya-tanya. Justru pikiran tentang Phi-lah
yang mendominasi percakapanku dengan diriku sendiri akhir-akhir ini. Selama
tiga tahun kami bersama-sama, aku tak pernah benar-benar mengenal Phi.
Aku
hanya tahu namanya. Philae. Nama robot European Space Agency yang ditugaskan di
komet 67P/Churyumov-Gerasimenko. Atau nama salah satu obelisk kembar dari Mesir
yang selamat dari reruntuhan. Dalam matematika, abjad Yunani phi (φ) mewakili rasio emas yang apabila
diaplikasikan dalam seni dan arsitektur, dipercaya dapat menciptakan proporsi
yang secara estetika ideal.
Phi
bilang ibunya tidak menamakannya berdasarkan tiga hal itu. Ia bercerita bahwa
ketika mengandung ibunya mengalami mimpi aneh. Ibunya sedang berada di atas
bulan dan melihat sebuah pesawat ruang angkasa lewat. Di seberang bulan, entah
diatas planet apa, pesawat itu menjatuhkan sepasang bayi kembar, dan
bintang-bintang di langit atasnya menuliskan nama itu: Philae. Ibunya pun
terbang menuju planet tersebut dan mendapati seorang dari bayi tersebut telah
mati.
“Empat tahun setelah aku lahir,”kata Phi
dengan wajah berbinar, “Eropa menerbangkan pesawat ruang angkasa Rosetta yang
membawa robot Philae.” Phi lalu terdiam sejenak. “Dan, yang paling membuatnya
aneh, ibuku sebenarnya mengandung bayi kembar.”
“Namun
saudara kembarmu tak pernah dilahirkan?”balasku.
Phi
mengangguk. “Dan ibuku bernama Rosetta.”
Meski
kedengaran tidak nyata, Phi menceritakannya dengan raut wajah yang meyakinkan.
“Kadang-kadang
aku berpikir, apa namaku punya pesan tersembunyi dibaliknya. Sejauh ini aku tak
tahu pasti. Tapi, hidup kadang-kadang lucu. Ia melahirkanmu ke dunia dengan
identitas tertentu yang ketika kau dewasa kau tak tahu pasti apakah identitas
itu dirimu yang sesungguhnya atau sesuatu yang dipaksakan oleh lingkunganmu.
Sejak kecil, aku tak pernah merasa puas. Aku selalu merasa aku sedang mencari
sesuatu, entah itu karena rasa penasaran saja atau karena kenyataan bahwa aku
seharusnya lahir bersama dengan saudara kembarku. Aku merasa kehilangan sesuatu
yang tak pernah kutahu.”
Kehilangan.
Pencarian. Kepastian. Kata-kata itu berputar dalam kepalaku, memenuhi setiap
ruang yang sudah terisi duluan oleh hal-hal yang kupikirkan sejak tadi.
Sayup-sayup suara musik dari headphone Phi ikut menyeruak masuk,
meninggalkan berkas-berkas memori yang terngiang-ngiang di telingaku.
“But
it doesn’t interest, the only things she wants to know is how and why and when
and where to go…”
Mungkin hanya itulah, ketiga hal yang mempertemukan
kami dan mengiringi langkah kami ke tempat yang sama hari ini. Berdiri di
tengah-tengah antara aku, Phi, dan dengung lagu Belle and Sebastian yang disenandungkan
olehnya.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar