*) Disarikan dari : artikel “Darwin and the Human-Nonhuman Divide” oleh Lauren Gibson (Intersect, Vol. 8, No. 3, 2015)
Orangutan seperti Melly membuatku merenungi lagi garis evolusi yang memisahkan manusia dan makhluk lain di Bumi. Manusia berbagi 63% kesamaan DNA dengan protozoa, 66% kesamaan DNA dengan jagung, 75% dengan cacing. Dengan kera-kera besar, perbedaan kita tak lebih dari tiga persen. Kita berbagi 97% DNA yang sama dengan orangutan. Namun, sisa tiga persen itu telah menjadikan manusia pemusnah spesiesnya. Manusia menjadi predator nomor satu di planet ini karena segelintir saja DNA yang berbeda.
-
“Partikel” hlm. 226-227, Dewi Lestari
Kemunculan
cara-cara baru berpikir dan berkomunikasi, antara 70.000 dan 30.000 tahun
silam, merupakan Revolusi Kognitif. Apa yang menyebabkannya? Kita tidak tahu
pasti. Teori yang paling banyak dipercaya berargumen bahwa mutasi-mutasi genetik
tanpa sengaja mengubah sambungan-sambungan di dalam otak Sapiens, memungkinkan
mereka berpikir dengan cara-cara yang tak pernah ada sebelumnya dan
berkomunikasi menggunakan jenis bahasa yang sepenuhnya baru. Kita bisa
menyebutnya mutasi Pohon Pengetahuan. Mengapa mutasi itu terjadi dalam DNA Sapiens,
bukan dalam DNA Neandertal? Sejauh yang bisa kita tahu, itu masalah kebetulan
semata. Namun yang lebih penting adalah memahami akibat mutasi Pohon
Pengetahuan, ketimbang penyebabnya. Apa yang sedemikian istimewa mengenai
bahasa baru Sapiens yang memungkinkan spesies manusia tersebut menaklukan
dunia?
-
“Sapiens” hlm. 25, Yuval Noah Harari
Saya baru pertama
kali membaca buku Sapiens tahun ini. Dalam beberapa bagiannya, saya tersadar bahwa
selama ini saya telah mengartikan banyak hal secara harfiah. Hal-hal seperti
Pohon Pengetahuan, sebenarnya merujuk hal yang sama antara Alkitab dan ilmu
pengetahuan. Ada lompatan genetika yang membuat manusia lebih “beradab”, mengetahui
sesuatu, cara berpikir yang baru. Sejauh yang diketahui, penyebabnya belum
pasti. Namun, mutasi genetika ini telah membawa Sapiens melakukan hal-hal yang
tak terbayangkan sebelumnya, membangun perkotaan, menciptakan pesawat, bahkan
hingga menginjakkan kaki ke bulan.
Episode keempat serial
Supernova, Partikel, sebelumnya sudah lebih dulu membawakan perspektif ini
kepada saya. Perspektif yang mengingatkan saya bahwa kita ternyata tak lebih
dari sekadar menumpang. Tanpa membayar pula. Dan posisi kita dengan semua hewan,
semua tumbuhan, semua pepohonan, sama saja. Sama-sama menumpang. Hal itu seharusnya
menjadikan kita dekat. Kita bukan yatim piatu di Bumi ini. Kita punya sepupu,
orangutan, gorilla, simpanse, dan sanak-saudara lain yang sama-sama diciptakan
dengan bahan baku dasar yang sama. Entah sejak kapan kita jadi penghuni
kos-kosan yang rese.
Hari ini, saya tidak
akan membahas mengenai dua narasi yang berbeda antara sains dan agama
mengenai Pohon Pengetahuan, atau mengenai status kita di Bumi yang cuma numpang.
Saya ingin membahas mengenai garis, sebuah garis tipis “sebesar” 3 persen yang
membedakan manusia dan hewan bukan manusia, dalam hal ini adalah kera. Bagaimana
garis ini lama kelamaan menjadi kabur seiring dengan hal-hal baru yang kita
temukan.
Dalam artikelnya
yang berjudul “Darwin and the Human-Nonhuman Divide” karya Lauren Gibson yang
terbit pada jurnal milik Stanford, Intersect, tahun 2015, salah satu gagasan
besar yang muncul pasca kembalinya Charles Darwin dari penjelajahan dan
penelitian adalah definisi mengenai manusia. Menurut Darwin, moralitas merupakan
perbedaan utama antara manusia dengan hewan nonhuman atau bukan manusia.
Akan tetapi,
gagasan ini ternyata telah berhasil dipatahkan oleh penelitian modern yang
menunjukkan pengamatan menarik. Hasil studi observasional dan eksperimental
yang dilakukan pada simpanse sebagai kerabat paling dekat manusia menunjukkan
bahwa mereka juga memiliki konsep moralitas. Dengan kaburnya garis perbedaan
antara manusia dengan hewan bukan manusia ini, muncul pertanyaan, apakah
simpanse juga harus mendapatkan hak dasar yang sama yang dilindungi masyarakat
sebagaimana halnya manusia? Itulah kira-kira yang dipertanyakan oleh Lauren
Gibson.
Dalam artikelnya,
Lauren menjelaskan bahwa kawanan simpanse menunjukkan emosi, simpati, dan
moralitas yang sama seperti halnya manusia. Hal ini dibuktikan dengan berbagai
studi yang dilakukan oleh Dr. Jane Goodall dan Frans de Waal. Dr. Jane Goodall
misalnya, menemukan bahwa simpanse menunjukkan reaksi seperti berduka atas
kematian ibu mereka. Kali lain, ia juga menemukan bahwa seekor simpanse muda
merawat ibunya yang terluka parah di saat-saat terakhirnya. Bahkan, simpati
seperti ini tidak hanya ditujukan pada keluarga dekat atau kawanan sosial
mereka saja, tapi juga pada simpanse yang tidak mereka kenal. Dalam studi yang
lain, Frans de Waal menuliskan tentang simpanse yang berusaha menghibur
simpanse lainnya yang menjadi korban kekerasan. Reaksi ini mirip dengan
perilaku anak-anak manusia, melalui sentuhan atau pelukan sebagai hiburan pada
anggota keluarga yang sedang berduka. Perilaku simpatik ini menunjukkan bahwa simpanse
juga memiliki moralitas.
Masih menurut
Lauren Gibson, kawanan simpanse menjalankan sejenis kode moral, seperti adanya
hierarki dan struktur sosial dalam kawanan simpanse. Hal ini diikuti dengan ekspetasi
sosial tertentu seperti saling merawat satu sama lain, merawat simpanse yang
lebih muda, pembagian makanan yang adil, dsb. Simpanse yang tidak mematuhi
aturan akan dapat menjadi sasaran agresi, seperti dihukum, dll. Hal ini
menunjukkan tendensi bahwa simpanse mampu berpikir dan bertindak dengan
moralitas, apa yang dianggap benar dan salah, sehingga mematahkan premis Darwin
mengenai perbedaan mendasar manusia dengan hewan bukan manusia. Bahwa ternyata…
hewan bukan manusia seperti kera pun, ya memiliki moralitas juga.
Dengan adanya
penemuan tersebut, Lauren melihat munculnya perdebatan mengenai hak hukum dasar
yang mungkin berlaku bagi simpanse. Simpanse menunjukkan kemampuan kognitif
yang cukup setara dengan manusia yang berfungsi rendah (low-functioning)
karena usia atau cacat mental.
Dalam Ultimatum
Test misalnya, baik anak-anak manusia dengan simpanse sama-sama menunjukkan
bahwa konsepsi tentang keadilan dan egoisme memainkan peran dalam penentuan
keputusan oleh kedua spesies.
Dengan kapasitas
kognitif dan pemahaman akan keadilan yang sebanding ini, muncullah perdebatan
dalam masyarakat. Lauren melihat bahwa muncul berbagai kelompok yang akhirnya
saling memperjuangkan hak-hak bagi para kera, atau justru mempertanyakannya.
Kelompok advokasi tertentu
berpendapat bahwa penjaga manusia harus melindungi kepentingan kera yang tidak
dapat menyuarakan kepentingan mereka sendiri, sebagaimana halnya yang dilakukan
manusia kepada anak-anak atau manusia dengan disabilitas intelektual yang
parah. Sebangsa kera seperti orangutan, simpanse, gorilla, dll, harus diberikan
kehidupan dan kebebasan karena mereka juga memiliki moralitas dan simpati.
Beberapa gerakan
seperti The Great Ape Project bahkan tidak hanya memperjuangkan kewajiban moral
dalam perlindungan simpanse dan kera lain, namun juga menyuarakannya agar mendapatkan
kewajiban hukum. Mereka berpendapat bahwa kera harus dianggap sebagai orang di
hadapan hukum, sebagaimana entitas non-manusia lainnya seperti perusahaan yang
dianggap sebagai orang dalam istilah hukum. Kepribadian hukum yang disematkan
pada kera akan sama seperti kepribadian yang diberikan pada anak-anak atau
orang dengan disabilitas mental karena adanya kemiripan emosional, moral, dan
mental yang begitu besar diantara keduanya. Perlindungan hukum yang diberikan
pun mencakup hak untuk hidup, kebebasan individu, serta perlindungan dari
penyiksaan.
Nah, masalahnya, kata
Lauren dalam artikelnya, apabila hal ini terjadi dan hukum ditegakkan, akan
terjadi perubahan yang begitu besar dalam masyarakat modern, khususnya terkait
dengan perlakuan terhadap simpanse atau perspektif sosial secara umum kepada
hewan. Memberikan hak hidup sama dengan berakhirnya perburuan simpanse secara
global karena akan dianggap sebagai pembunuhan. Konsekuensi lain adalah mendorong
pelestarian habitat simpanse karena penebangan hutan tempat mereka tinggal akan
dianggap sebagai perusakan properti. Kebebasan individu bagi simpanse berarti
penghentian penggunaan simpanse di industri hiburan dan kebun binatang.
Perlindungan dari penyiksaan berarti menghentikan penggunaan mereka dalam
riset-riset biomedis. Gerakan-gerakan ini juga meminta masyarakat untuk secara
formal mengakui kesamaan kita dengan simpanse, berbanding terbalik dengan apa
yang dikatakan Darwin ratusan tahun lalu. Dengan begitu, simpanse dan kera
lainnya juga mendapatkan perlindungan yang sama seperti yang didapatkan oleh
anak-anak dan orang dewasa dengan disabilitas mental.
Sebagaimana sebuah
perdebatan, tentu saja ada pihak yang kontra. Gerakan-gerakan ini menemui kegagalan,
karena kurangnya preseden dalam menangani hak-hak non-manusia di Amerika
Serikat. Muncul pula argumen-argumen yang menentang, seperti misal, jika kera
mendapatkan hak mereka, maka mereka juga harus diberikan tanggung jawab seperti
orang lain, seperti mematuhi hukum, membayar pajak, dll.
Salah satu
contohnya adalah upaya yang dilakukan oleh Nonhuman Rights Project (NRP) yang
mengajukan kebebasan bagi empat simpanse dengan menggunakan the writ of habeas
corpus. Namun, terlepas dari karakteristik moral dan emosional yang serupa
dengan manusia, pengadilan menolak petisi ini karena tidak memiliki preseden
untuk diikuti terkait dengan kepribadian kera (ape personhood).
Meski kekurangan
preseden, undang-undang bagi kepribadian kera toh tetap muncul juga di tempat
lain. Kepulauan Balearic di Spanyol misalnya, pada tahun 2007 menjadi lokasi pertama
yang menerapkan gagasan tentang kepribadian kera dalam undang-undang yang
mengatur perlindungan bagi sebangsa kera seperti yang disarankan oleh The Great
Ape Project. Mereka ditempatkan pada tingkat yang sama dengan dependents, termasuk
anak-anak dan orang dewasa yang dikompromikan. Hal ini telah berjalan selama
beberapa tahun. Menurut Kepulauan Balearic, dengan memasukkan mereka dalam
kategori anak-anak dan orang dewasa yang bergantung, simpanse tetap dapat memiliki
hak-hak dasar mereka tanpa mengharapkan tanggung jawab yang besar.
Menurut Lauren
sendiri, dilema semacam ini kadang-kadang dijadikan alasan untuk tidak
memberikan hak bagi kera, misalnya dengan memperdebatkan hewan lain apa sajakah
yang mungkin “cukup manusiawi” untuk diberikan perlindungan hukum juga seperti
kera, dan berpotensi menimbulkan kebingungan di masa depan, serta salah sasaran
kepada spesies yang “kurang mirip” dengan kita daripada kera besar. Argumen
seperti ini bagaimanapun tidak seharusnya menghalangi hak kera, sebagaimana kesetaraan
yang diperlihatkan oleh sains.
Pada akhirnya,
saya setuju dengan yang dikatakan Lauren. Dengan kemiripan yang sedemikian
besar, perbedaan menjadi pertanyaan yang besar. Garis yang kabur, tumpang tindih
antara manusia dan simpanse, memaksa kita untuk menemukan sifat khusus lain demi
menyusun kembali definisi menjadi manusia. Atau, sejatinya, perbedaan itu tak
lagi penting? Mengasingkan diri sebagai spesies lain yang lebih tinggi itu
bukan lagi sesuatu yang kita butuhkan? Entahlah. Saya juga tidak tahu
jawabannya. Yang jelas, distingsi yang kita buat sendiri di masa lalu telah membawa
kita sampai pada titik ini. Seiring kemajuan peradaban manusia kita malah
menemukan sesuatu yang tak kita sangka-sangka: bahwa, seperti yang dikatakan
oleh dokter Ryu Hasan, “Manusia itu unik? Iya. Istimewa? Tidak.”
Referensi dan Kutipan
Referensi utama:
Gibson, L. 2015. “Darwin
and the Human-Nonhuman Divide”. Intersect, vol. 8, no. 3. https://ojs.stanford.edu/ojs/index.php/intersect/article/view/687
Kutipan:
Harari, Y. N. 2020. Sapiens.
(Cetakan keenambelas). Terjemahan oleh Damaring Tyas Wulandari Palar. Jakarta:
KPG.
Lestari, Dee. 2016. Supernova:
Partikel. (Cetakan kelima). Yogyakarta: Penerbit Bentang
Video dokter Ryu Hasan: “Diam
& Dengarkan”, produksi Anatman Pictures. https://www.youtube.com/watch?v=NvNLumlAJX0
Komentar
Posting Komentar