Langsung ke konten utama

Selamat Jalan, Sapardi Djoko Damono


Because the sky is blue, it makes me cry. – The Beatles.

Hari ini, Minggu, 19 Juli 2020, penyair favorit saya meninggal dunia.

Saya pertama kali mendapatinya dari status Whatsapp tante saya, yang juga sama-sama mengidolakan beliau. Detik itu juga saya terbangun dari posisi rebahan, langsung verifikasi kebenarannya. Ternyata memang benar. Saya terkejut dan merasa sangat kehilangan (Eyang, bagaimana caranya menyikapi kehilangan dengan dewasa?)

Sedih mungkin bukan satu-satunya kata yang pas. Saya pertama kali membaca karya beliau di majalah GADIS saat SMP. Saat itu, puisinya yang terkenal, “Aku Ingin”, dikutip oleh cerita pendek yang saya baca. Puisinya saat itu seperti memacu semangat menulis puisi kembali pada diri saya, yang sebelumnya tak begitu peduli. Masa SMP barangkali jadi masa-masa paling romantis dalam hidup saya—kalau bisa dibilang SMA juga—dipenuhi dengan kata-kata puitis yang terus saya dapat dari banyak-banyak membaca puisi.

Saya banyak belajar dari cara beliau menulis puisi. Tidak ada diksi berlebihan yang sulit dimengerti, kata-katanya sederhana, tersusun dengan sangat indah dan langsung menyasar hati. Seperti kata Joko Pinurbo, “kesederhanaan Sapardi dalam mencintai”—seperti dalam puisinya, justru tidak sederhana sama sekali. Demikianlah puisinya, sederhana namun sangat tinggi, sangat tepat, sangat hidup.

Beliau adalah penyair favorit pertama saya. Penyair pertama yang saya idolakan, sampai detik ini. Saya selalu berangan-angan untuk bisa bertemu dengan beliau. Pada ulang tahun beliau tahun kemarin, saya mendoakan kesehatannya agar diberi umur panjang supaya setidaknya sekali saja dalam hidup saya, saya berkesempatan untuk bisa membacakan satu puisi singkat saya di depan beliau. Kalau itu terlalu muluk, saya ingin sekali bisa bertemu beliau pada suatu acara dan melihat secara langsung beliau membacakan puisinya, atau jadi pembicara pada suatu forum. Kalau itu masih muluk, cukup bertemu sekilas saja dengan beliau saya sudah merasa sangat bahagia.

Hari ini, saya tahu itu tidak mungkin terjadi. Namun sebagaimana karyanya yang terus hidup sampai hari ini, nama dan jiwanya tetap abadi dan tergapai, menyebar di perpustakaan, toko buku, bahkan linimasa media sosial kita. Buat saya, kalimat beliau “yang fana adalah waktu, kita abadi” itu sama seperti “cogito ergo sum”-nya Descartes.

Jujur saja, saya sebenarnya agak takut membuka media sosial hari ini. Saya takut akan perasaan sedih yang semakin tak terbendung, dibarengi sebagian rasa hampa karena tahu salah satu mimpi terbesar saya harus dicoret dari daftar.

Selamat jalan Eyang Sapardi Djoko Damono, yang selama ini selalu saya anggap kakek saya juga. Saya akan selalu teringat pada Eyang pada waktu hari hujan. Terima kasih telah mengajarkan saya untuk mencintai dengan sederhana. Terima kasih telah mengajarkan saya untuk belajar mengenal Tuhan lewat sastra. Saya mungkin tidak lebih tabah, lebih bijak, atau lebih arif dari hujan bulan Juni. Barangkali karena saya tak bisa merahasiakan kerinduan, menghapus keraguan, dan membiarkan apa yang tak terucapkan dalam diri saya, tentang betapa saya berharap untuk bisa mengatakan ini secara langsung. Atau tentang, bagaimana secara rendah hati Eyang hadir dan memberi lebih dari sekadar warna dalam hidup saya.

Adapun sebagaimana halnya jasadmu yang tak ada lagi, di sajak-sajakmu aku takkan pernah letih mencari.


Tentang Tuhan
Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa memperhitungkan hari.
Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita sama sekali.
Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.

- Sapardi Djoko Damono

Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

- Sapardi Djoko Damono

Sekaligus, sebagai penutup, saya ingin menyertakan sepenggal puisi saya yang dimuat pada buku “Menenun Rinai Hujan”, sebuah sayembara menulis puisi bersama Sapardi.

Akhir kata, selamat berpulang kakek saya tercinta, penyair idola saya sampai kapanpun, Eyang Sapardi Djoko Damono... You will be missed... 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...