Langsung ke konten utama

Kita Boleh Bangga, Legenda Kretek Indonesia di Semesta Per-sebat-an


Sumber gambar: "Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes" oleh Mark Hanusz, 2000.

Semua ini bermula dari Quora, aplikasi online yang memfasilitasi tanya jawab diantara para penggunanya, sehingga siapapun yang menggunakan Quora dapat mengajukan pertanyaan, memberikan jawaban, ataupun hanya membaca jawaban dan pertanyaan yang diberikan oleh warganet. Semua pertanyaan dapat diajukan, mulai dari pertanyaan penting tentang sejarah Majapahit sampai yang paling tidak penting seperti misal, mengapa kita selalu terasa lebih cerdas di kamar mandi.

            Pada suatu hari yang cerah dan baik untuk bermalas-malasan, saya sedang scrolling lini masa Quora dan mendapati salah satu pertanyaan yang menarik perhatian saya: Adakah reaksi yang berkesan dari orang-orang di luar negeri ketika mereka mengetahui kamu berasal dari Indonesia? Sebagai warga negara Indonesia, saya tentu tertarik, dong. Kira-kira apa ya yang terkenal dari Indonesia selain sate dan Agnes Monica?

            Salah satu jawaban diberikan oleh Sigit Pratomo, seorang mantan cyber security engineer yang bercerita mengenai pengalamannya di Norwegia. Ia bercerita bahwasanya ketika sedang enak-enak sebat, orang-orang bule yang berada disana penasaran dengan asap rokoknya yang terlihat paling banyak dibanding rokok lainnya. Saat itu, rokok Dji Sam Soe Sigit pun digilir 5 orang yang beberapa diantaranya bahkan terbatuk-batuk saat mencobanya. Saat menawarkan kepada salah satu bule yang ada disana, bule itu bahkan menanggapi, “Sure, but it looks hardcore” sembari tertawa. Salah seorang diantara mereka, kakek-kakek dengan umur sekitar 70-an menurut Sigit, langsung teringat Jawa ketika mencoba rokok tersebut. Ia lalu bercerita bahwasanya ia merupakan seorang arkeolog dan pernah mengadakan penelitian di Candi Borobudur di tahun 80-an, dan sepanjang ia di Indonesia, ia selalu ditawari rokok kretek oleh orang lokal.

            Jawaban Sigit ini mengundang reaksi yang cukup menarik dari para netizen Quora. Hingga tulisan ini ditulis, jawaban Sigit sudah mendapatkan ribuan dukungan dan komentar-komentar yang isinya juga menceritakan mengenai pengalaman yang sama. 

        Fenomena ini pun membuat saya berpikir, wah, ternyata, dibalik segala pro dan kontranya, rokok Indonesia dapat menjadi instrumen pengenalan budaya di luar negeri. Saya jadi teringat mengenai bagaimana peran rokok di tataran yang lebih tinggi, pertemuan antarkepala negara misalnya. Berapa kali Anda mendapati foto Bung Karno sedang merokok atau sedang memegang rokok? Ya, Bung Karno memang terkenal suka merokok, salah satunya tergambar dengan sangat ikonik dalam foto Bung Karno bersama Trio Gerco, band asal Yunani, ketika dengan chill-nya Bung Karno menutup telinga, menggunakan kacamata hitam, dan tak lupa terselip rokok di mulutnya. Keren.




        Rokok dan Bung Karno memang dekat. Saya jadi membayangkan bagaimana rokok tersebut selalu tersedia di meja diplomasi, dan bagaimana peran rokok tersebut dalam membentuk ikatan yang kuat antara Bung Karno dengan pemimpin lainnya dalam pusaran perasapan. Mulai dari obrolan santai Bung Karno dan Fidel Castro yang diselipi cerutu, sampai adegan sambung rokok Bung Karno-Khrushchev yang menandakan tingkat persahabatan yang tinggi dalam budaya Soviet, hingga menghasilkan kucuran dana serta pasokan senjata ke Indonesia.

            Kendati merk rokok Bung Karno tidak memiliki Indonesian blood whatsoever (tidak, saya tidak mengutip siapapun, hehe 😉 ), rokok menjadi semacam pendekatan kultural yang digunakan Bung Karno dalam membangun kedekatan dengan tokoh dunia. Andai saja saat itu rokok kita sudah semapan saat ini. Andai Djarum Super diproduksi 10 tahun lebih awal. Ah, andai saja…

            Atau, salah satu cerita paling ikonik tentang rokok kretek lainnya. Anekdot ini seringkali diceritakan oleh orang ketika mengingat tentang rokok kretek. Saat itu, Agus Salim, duta besar Indonesia untuk Inggris saat itu, dengan penampilan nyentrik dan rokok kretek di bibirnya, mampu membuat terpana semua orang di sebuah ruangan pada waktu resepsi diplomatik di London. Ketika seseorang bertanya mengenai apa yang sedang diisap oleh Agus Salim, dengan lantang ia menjawab, “Yang Mulia, inilah alasan dibalik keberhasilan Eropa menaklukkan dunia!”

            Kisah ini diceritakan Pramoedya Ananta Toer pada buku “Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes” karya Mark Hanusz di tahun 2000.


Sejarah Tembakau di Dunia

            Jika ditilik dari sejarahnya, rokok pertama kali menyebar ke seluruh dunia ketika Columbus menemukan benua Amerika. Pada saat itu, tembakau dibawa dari Amerika ke Eropa, membentuk budaya baru dengan melinting tembakau kering lalu mengisapnya. Budidaya tembakau yang secara luas dapat dipraktikkan di daratan Amerika membuat para penjajah yakin untuk menanamkannya pula ke daerah-daerah jajahan yang lain, sehingga praktis tanaman ini pun dapat dengan begitu mudah ditemukan di belahan-belahan dunia yang lain.

            Pada perjalanan pertamanya berlayar ke benua Amerika, Columbus ditawari tembakau kering oleh penduduk asli sebagai hadiah. Columbus sendiri tidak mau merokok, akan tetapi kedua kru-nya, Rodrigo de Jerez dan Luis de Torres mulai menikmati adiksi rokok setelah melihat bagaimana kebiasaan para penduduk asli menikmati lintingan daun tersebut. Kebiasaan ini pun dibawa oleh de Jerez ke Eropa, dimana ia sempat ditahan karena dianggap membahayakan oleh tetangganya, hingga dibebaskan tujuh tahun kemudian ketika merokok mulai dianggap sebagai kegiatan yang diterima di Spanyol.

            Di Eropa, kebiasaan merokok menjadi sesuatu yang dapat diterima secara luas, antara lain karena rakyat Eropa pada masa itu percaya akan khasiat rokok bagi penyembuhan berbagai macam penyakit. Hal ini dikuatkan dengan klaim dari Nicolas Monardes, seorang dokter Spanyol yang dalam bukunya di tahun 1571 menulis bahwa rokok dapat menyembuhkan 36 masalah kesehatan. Monades menguji coba tembakau yang ditanamnya sendiri di kebunnya di Seville untuk mengobati pasiennya. Seiring berjalannya waktu, rakyat Eropa pun mulai menyadari tentang bahaya rokok ketika Sir Francis Bacon menulis tentang sulitnya berhenti dari kecanduan rokok di tahun 1610.

            Di Indonesia sendiri rokok pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada sekitaran abad ke-19. Kebiasaan yang dibawa dari daratan Eropa ini muncul sebagai kebiasaan baru di Indonesia bahkan hingga saat ini. Saking adiktifnya si rokok ini, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, kebanyakan anggaran belanja rumah tangga miskin didedikasikan 11% bagi rokok, jauh lebih tinggi dari anggaran pendidikan maupun kesehatan.

            Kendati demikian, tembakau menyumbang pajak yang sangat tinggi bagi pemerintah, sekitar 7,6 miliar di tahun 2011. Sejalan dengan itu, terdapat lapangan pekerjaan yang luas dalam proses tersebut. Bahkan, industri rokok ini tak hanya memiliki pasar di dalam negeri, melainkan juga menjangkau ke negara-negara lainnya di luar Indonesia.  


Kretek Indonesia di Mata Dunia

Lantas, bagaimana dengan popularitas rokok Indonesia di mata dunia saat ini? Wah, jangan ditanya. Semegah letter sign Djarum Super di Purwakarta, semegah itu pulalah popularitas rokok kita di dunia. Letter sign Djarum Super menegaskan dua hal, sebagai yang terbesar di dunia dan dapat mengalahkan letter sign Hollywood, dan dalam semesta per-sebat-an, kita bisa menjadi raksasa.

Hampir mirip seperti analogi tembakau suku Indian, yang merupakan sarana bangsa Indian untuk mencapai tingkat kesadaran menuju dunia roh, begitu pula industri rokok di Indonesia membawa rokok ini dikenal hingga ke belahan dunia yang lain. 

Berbeda dari rokok lainnya di luar negeri, rokok Indonesia memiliki keistimewaan sendiri, atau yang disebut ‘hardcore’ oleh bule Norwegia diatas tadi. Rokok Indonesia, atau yang terkenal dengan sebutan ‘kretek’, merupakan rokok yang istimewa dan warisan asli budaya Indonesia. Rokok ini merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, dan rasa lainnya, dengan bunyi yang khas ketika dibakar. Kretek sendiri merupakan istilah onomatope dari bunyi derak cengkeh yang dibakar: kretek…tek…tek…

Pada mulanya, variasi kretek ini lahir dari tangan Haji Jamhari, seorang penduduk asli Kudus, Jawa Tengah, yang menderita asma dan sakit dada. Dari kegemarannya menggosokkan minyak cengkeh ke dadanya, Jamhari berusaha mencari cara untuk mendapatkan pertolongan yang lebih dalam bagi penyakitnya. Ia pun mencoba untuk menambahkan cengkeh kering dan getah pohon karet dari rokok lintingannya, yang lantas menjadi terkenal di lingkungan rumahnya ketika lintingan tersebut berhasil menyembuhkan sakit dadanya. Dari sinilah nama ‘kretek’ kemudian diperkenalkan. Haji Jamhari menerima pesanan yang begitu banyak dan dimulailah industri rokok kretek, diperkirakan sekitar tahun 1870-1880.

Rokok kretek cepat meluas dan terkenal, yang mulanya hanya diproduksi dan dijual di Kudus, kini mulai merambah hingga keluar pulau Jawa. Disinilah mulai terjadi ekspansi rokok kretek besar-besaran, sekitar interval tahun 1918. Pada tahun itu pula terjadi kerusuhan antara pengusaha Jawa dan Tionghoa yang menyebabkan produksi kretek mengalami kemunduran. Namun, lima tahun setelahnya industri ini bangkit lagi dan bertumbuh dengan sangat pesat. Bahkan pada tahun 1928, terjadi perubahan dalam proses industri kretek yang sebelumnya dilinting secara manual kini menggunakan mesin yang disebut papiersigaretten. Transformasi produksi manual ke mesin ini dipelopori oleh perusahaan rokok “Mari Kangen” di Solo dan “Sampoerna” di Surabaya. Salah satu produk kretek yang paling terkenal adalah merk ‘Bal Tiga’, dimiliki oleh Mas Nitisemito, yang di kemudian hari menjadi sangat ikonik bagi warga Kudus setiap kali mendengar kata ‘rokok kretek’. Ketenaran merk ‘Bal Tiga’ Nitisemito tak lain karena prinsip-prinsip usaha modern yang dilakukannya, yang visioner dan inovatif sekalipun ia bahkan tak bisa membaca dan menulis. Nitisemito melakukan sistem promosi sebagaimana yang sering kita kenal sekarang: “kumpulkan beberapa bungkus rokok kami dan tukarkan dengan piring cantik atau perabot rumah tangga lainnya!” Wah, saya hanya bisa berdecak. Andaikata promosi itu diterapkan saat ini, saya yakin ibu-ibu tidak akan muntab lagi setiap para bapak-bapak membeli rokok.

Bahkan, Nitisemito juga melakukan sistem iklan dan stan yang masih jarang pada saat itu. Setiap kali ada pasar malam, ia pasti membuka stan rokok kreteknya. Ia juga mengadakan sandiwara keliling dengan selipan-selipan iklan setiap kali pertunjukan. Amen Budiman dalam bukunya yang berjudul “Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara” pun juga menyebutkan bahwa Nitisemito pernah menyewa pesawat untuk menyebarkan pamflet rokok kreteknya! Wah, luar biasa visioner dan berani betul Mas Nitisemito ini!

Sebetulnya, apabila diperhatikan, produksi rokok kretek sejak dahulu kala tak jauh-jauh pula dari proses globalisasi. Hal ini menunjukkan globalisasi bukanlah fenomena yang baru ‘kemarin sore’, melainkan telah ada dan sangat berpengaruh pada industri kretek pada saat itu. Salah satu pendorongnya adalah kolonialisme Belanda di Indonesia yang pada saat itu turut menyumbang peran dalam proses impor. Kendati kita masih belum dapat mengekspor produk rokok kretek kita pada saat itu, akan tetapi kita sempat impor cengkeh dalam jumlah besar-besaran dari Zanzibar. Hal ini juga kemudian dipengaruhi oleh adanya peristiwa internasional seperti Perang Korea di tahun 1950, menyebabkan harga cengkeh naik berlipat-lipat dan secara tidak langsung memengaruhi produktivitas kita. Hal ini menunjukkan adanya interdependensi yang saling berkaitan dan menunjukkan bahwa sadar atau tidak sejak masa itu kita telah ikut dalam pusaran globalisasi.

Keistimewaan lainnya adalah harga rokok kretek yang terbilang murah, salah satu yang bahkan termurah di dunia. Bahan-bahan yang digunakan dapat dengan mudah didapatkan di domestik, ditambah dengan upah buruh yang juga tidak mahal. Hal ini menyebabkan rokok kretek dapat dengan mudah dijangkau di seluruh pelosok Indonesia, bahkan oleh orang-orang miskin sekalipun. Hal ini juga yang menyebabkan harga rokok cenderung stabil dan tidak mudah berubah drastis.  

Kalau secara global kita kenal 7 perusahaan yang disebut dengan “Seven Sisters”, di Indonesia kita punya juga 6 perusahaan raksasa rokok kretek yang juga sama-sama melakukan ekspansi ke pasar internasional. Supaya seru, kita sebut saja 6 pabrik ini dengan sebutan “The Six Kretek Giants”, yang terdiri dari Gudang Garam, Sampoerna, Djarum, Nojorono, Bentoel, dan Wismilak. Menurut data di tahun 2018, total keseluruhan ekspor kretek Indonesia saja bahkan mencapai US$ 827,98 dengan pangsa pasar terbesar merupakan Asia Tenggara. Menurut data yang dilansir dari Tirto, menurut laporan berjudul “A Snapshot of the Tobacco Industry in the ASEAN Region”, produk Djarum Super menjadi rokok yang mendominasi negara Brunei Darussalam. Masih dilansir dari Tirto, “The Six Kretek Giants” ini masuk dalam daftar rokok papan atas dunia. Ekspor rokok Indonesia yang menyentuh angka 31,5 miliar batang menjadikan Indonesia sebagai negara ASEAN dengan rekor ekspor rokok terbanyak di kawasan. Hal ini berimplikasi pada penerimaan kas pemerintah yang mencapai $10,6 miliar di tahun 2015. Sementara itu, menurut sumber yang lain, di tahun 2018, ekspor rokok dan cerutu kita mengalami peningkatan dari yang tahun sebelumnya sebesar US$904,7 juta menjadi US$931,6 juta.

Ekspor produk kretek dari Indonesia telah mengglobal, dilihat dari beberapa merk kretek yang dijual di luar negeri. Salah satu contohnya adalah merk Djarum, yang memulai proses ekspor ini sejak tahun 1972. Bermula dari Kudus, kini produk kretek Djarum telah dapat dinikmati di belahan dunia lainnya, mulai dari Amerika Serikat, Timur Tengah, Australia, Belgia, Jepang, Kanada, Belanda, Arab Saudi, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Rusia. Bahkan, salah satu variannya, L.A. Lights Mentol menjadi begitu populer di Malaysia dan merupakan pilihan bagi kaum menengah ke atas, menunjukkan gaya hidup papan atas. Di Amerika dan Kanada, menurut data yang diambil dari Kretek International, Djarum berhasil menjual lebih dari 26 juta batang rokok per tahunnya pada total 83 ribu lokasi retail.

Proses awal masuknya Djarum ke pasar luar negeri terjadi di tahun 1972. Beberapa tahun sebelumnya, Oei Wie Gwan, pemilik sekaligus pendiri Djarum, jatuh sakit. Pabrik rokoknya pun juga mengalami musibah kebakaran. Sehingga, anak Oei Wie Gwan, Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, harus mengambil alih perusahaan bapaknya dan berusaha untuk membangunnya kembali. Hingga di tahun 1972, mereka berdua mencoba mengekspor kretek lintingan tersebut ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Belanda, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand dan Arab Saudi. Tak disangka-sangka, di tahun 1981, produk Djarum Super sukses di pasaran internasional, diikuti oleh Djarum Special di tahun 1983. Hal ini menjadi titik awal penyebaran produk Djarum hingga ke belahan dunia lainnya.

Industri Kretek dan Pembangunan di Indonesia

Lantas, apa yang membuat para raksasa ini—salah satunya mari kita ambil kasus Djarum—dapat bertahan di tengah gempuran rokok putih dari mancanegara, serta dapat tetap berjaya di domestik maupun di luar negeri? Salah satu strategi yang diterapkan Djarum adalah berkontribusi bagi pembangunan di Indonesia.

Popularitas kretek memang tak dapat diragukan lagi di Indonesia. Karena itu, Djarum juga harus berkontribusi dalam hal lainnya yang dapat memajukan bangsa dan negara, selain juga memperkenalkan namanya sendiri di mancanegara. Beasiswa PB Djarum adalah salah satunya. Kendati ini merupakan hal yang lazim bagi industri rokok besar untuk menyiapkan anggaran khusus demi kepentingan sosial, PB Djarum dibentuk sebagai salah satu sumbangsih Djarum bagi negara, yang dikhususkan bagi para prodigy di bidang olahraga. Melalui atlet-atlet mumpuni yang dicetak Djarum, nama Indonesia dapat dikenal di perhelatan olahraga sekelas dunia, salah satu yang pertama dan paling utama adalah dalam bidang bulu tangkis. Hal ini juga baik secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada eksistensi Djarum agar semakin dikenal dunia.

Kini, seiring berkembangnya zaman, lagi-lagi rokok kretek harus bersaing dengan gelombang kedua globalisasi rokok di Indonesia, demikian saya menyebutnya. Apabila pada gelombang pertama kita harus bersaing dengan rokok putih dari Eropa dan Amerika, kini kita bersaing dengan variasi rokok elektrik yang memiliki macam-macam rasa, seperti jus. Sebetulnya saya sedikit heran dengan ketenaran rokok elektrik alias vape ini. Orang merokok selama ini karena sensasi rasa tembakau, lebih unik lagi kretek Indonesia yang menawarkan campuran cengkeh dan sensasi bunyi deraknya ketika terbakar. Namun kini, orang merokok vape karena rasanya yang bermacam-macam, seperti rasa buah-buahan dan lain sebagainya. Sensasi apa yang ingin dicapai? Lantas, apa bedanya nge-vape dengan mengulum permen?

Akan tetapi, saya pribadi optimis dengan keberhasilan dan kesuksesan kretek yang paripurna di masa mendatang. Hal ini dibuktikan dengan pencobaan kolaborasi industri lokal dengan perusahaan transnasional tembakau, yang tidak menampilkan hasil yang cukup signifikan. Dalam prosesnya memang beberapa raksasa diatas telah bergabung dengan brand internasional seperti Sampoerna dengan Phillip Morris International. Kendati demikian, beberapa produk imitasi kretek dengan variasi yang ‘aneh-aneh’ justru malah gagal di pasaran, seperti menggantikan cengkeh dengan minyak cengkeh (clove oil). Laporan Lawrence dan Collin mencontohkan kegagalan merk Ventura dan Citra yang katanya sama sekali tidak mencerminkan cita rasa alami kretek.

Yah, biarlah itu semua menjadi pilihan masyarakat modern ini. Bisa jadi bertahun-tahun ke depan kita punya varian vape dengan rasa unik lainnya yang bisa mendominasi pasar luar negeri. Atau barangkali saat enak-enak kerokan dengan minyak rempah tiba-tiba terlintas ide tentang jenis rokok baru asli Indonesia? Yah, siapa yang tahu, kan? Haji Jamhari saja tidak pernah menyangka kegemarannya mengusap minyak cengkeh ke dadanya justru membawanya sebagai orang yang paling berjasa mengenalkan rokok kretek ke kancah dunia.

Tambahan:

Tulisan ini merupakan UAS Pengantar Globalisasi saya semester 3 yang lalu, yangmana proses pembuatannya sangat berkesan bagi saya pribadi. Mulai dari bolak-balik perpustakaan sendirian, tidak tidur semalaman hingga harus berangkat pagi-pagi sekali besoknya ke perpustakaan, sampai sempat ketiduran di meja perpus. Saya masih ingat betul, di ruang label merah, di bangku yang terang dan dekat dengan jendela. Namun, prosesnya betul-betul menyenangkan bagi saya. Apalagi ketika berhasil menemukan hidden gems alias buku yang menjadi kunci tulisan ini di perpustakaan, yang mana saya sama sekali tak mengira akan menemukannya disana. Prosesnya cukup menyenangkan mengingat perjuangan pada masa itu, apalagi tulisan ini dibuat dalam bentuk feature yang membebaskan saya mengolah kalimat dengan gaya. Oya, mari diingat bersama-sama bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna. Saya akan selalu terbuka pada setiap saran dan diskusi, mengingat berbagai keterbatasan saya sebagai seorang individu.

Adapun saya memutuskan memposting tulisan ini ke blog, untuk mengenang salah satu dosen terbaik saya yang Rabu kemarin berpulang. Beliaulah yang memberikan saya tugas ini. Beliau telah banyak membuka mata saya, dan sangat berjaya selama proses riset dan penulisan. Rest in power, Pak…

Tambahan 2 :

Saya mengedit sedikit bagian dari artikel ini setelah mendapat izin dari Sigit Pratomo untuk mengutip ceritanya di Quora 😊



REFERENSI
Budiman, Amen & Onghokham. (1987). “Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara”. Penerbit PT DJARUM Kudus
Djarum. ___. “Djarum International Brands”. PT Djarum. https://djarum.com/brands/international-brands/
Djarum. ____. “Djarum Worldwide”. PT Djarum. https://djarum.com/world-of-djarum/djarum-worldwide/
Hanusz, Mark. (2000). “Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes”. London: Equinox Publishing
Indonesia-Investments. (31 Mei 2016). “Tobacco and Cigarette Industry Indonesia”. Indonesia-Investments. https://www.indonesia-investments.com/id/business/industries-sectors/tobacco/item6873
Kretek International. ___. https://www.kretek.com/
Lawrence, S. & Collin, J. (2004). “Competing with kreteks: transnational tobacco companies, globalization, and Indonesia”. Tobacco Control. Vol. 2, No. 13. p. 96-103. doi: 10.1136/tc.2004.009340
Pernando, Anggara. (17 Maret 2019). “Ekspor Rokok Membumbung Tinggi”. Ekonomi. https://ekonomi.bisnis.com/read/20190317/257/900501/ekspor-rokok-membumbung-tinggi
Pratomo, Sigit. https://id.quora.com/Adakah-reaksi-yang-berkesan-dari-orang-orang-di-luar-negeri-ketika-mereka-mengetahui-kamu-berasal-dari-Indonesia/answer/Sigit-Pratomo-1?ch=3&share=6862cfb7&srid=8NcuB
Renata, Mira. ___. “Terpukau Tanaman Suci Tembakau”. Historia. https://historia.id/kultur/articles/terpukau-tanaman-suci-tembakau-P98zv
Rooseboom, Hans. (25 Februari 2014). “A Brief History of Tobacco”. Indonesia Expat. https://indonesiaexpat.biz/travel/history-culture/a-brief-history-of-tobacco/
Suhendra. (9 Maret 2017). "Prestasi Rokok Indonesia di ASEAN”. Tirto. https://tirto.id/prestasi-rokok-indonesia-di-asean-ckmi
____. (3 September 2018). “Ke Mana Rokok Kretek Indonesia Diekspor?” Databooks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/09/03/ke-mana-rokok-kretek-indonesia-di-ekspor

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...