Sumber gambar: Soekarno dan Trio Gerco, 1965. https://steemit.com/photography/@fotosedjarah/soekarno-dan-trio-greco-1965 |
Rokok dan Bung Karno memang dekat. Saya jadi membayangkan bagaimana
rokok tersebut selalu tersedia di meja diplomasi, dan bagaimana peran rokok
tersebut dalam membentuk ikatan yang kuat antara Bung Karno dengan pemimpin
lainnya dalam pusaran perasapan. Mulai dari obrolan santai Bung Karno dan Fidel
Castro yang diselipi cerutu, sampai adegan sambung rokok Bung Karno-Khrushchev
yang menandakan tingkat persahabatan yang tinggi dalam budaya Soviet, hingga
menghasilkan kucuran dana serta pasokan senjata ke Indonesia.
Kendati
merk rokok Bung Karno tidak memiliki Indonesian blood whatsoever (tidak,
saya tidak mengutip siapapun, hehe 😉 ),
rokok menjadi semacam pendekatan kultural yang digunakan Bung Karno dalam
membangun kedekatan dengan tokoh dunia. Andai saja saat itu rokok kita sudah
semapan saat ini. Andai Djarum Super diproduksi 10 tahun lebih awal. Ah, andai
saja…
Atau,
salah satu cerita paling ikonik tentang rokok kretek lainnya. Anekdot ini
seringkali diceritakan oleh orang ketika mengingat tentang rokok kretek. Saat
itu, Agus Salim, duta besar Indonesia untuk Inggris saat itu, dengan penampilan
nyentrik dan rokok kretek di bibirnya, mampu membuat terpana semua orang di
sebuah ruangan pada waktu resepsi diplomatik di London. Ketika seseorang
bertanya mengenai apa yang sedang diisap oleh Agus Salim, dengan lantang ia
menjawab, “Yang Mulia, inilah alasan dibalik keberhasilan Eropa menaklukkan
dunia!”
Kisah ini diceritakan Pramoedya Ananta Toer pada buku “Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes” karya Mark Hanusz di tahun 2000.
Sejarah Tembakau di Dunia
Jika ditilik dari
sejarahnya, rokok pertama kali menyebar ke seluruh dunia ketika Columbus
menemukan benua Amerika. Pada saat itu, tembakau dibawa dari Amerika ke Eropa,
membentuk budaya baru dengan melinting tembakau kering lalu mengisapnya.
Budidaya tembakau yang secara luas dapat dipraktikkan di daratan Amerika
membuat para penjajah yakin untuk menanamkannya pula ke daerah-daerah jajahan
yang lain, sehingga praktis tanaman ini pun dapat dengan begitu mudah ditemukan
di belahan-belahan dunia yang lain.
Pada
perjalanan pertamanya berlayar ke benua Amerika, Columbus ditawari tembakau
kering oleh penduduk asli sebagai hadiah. Columbus sendiri tidak mau merokok,
akan tetapi kedua kru-nya, Rodrigo de Jerez dan Luis de Torres mulai menikmati
adiksi rokok setelah melihat bagaimana kebiasaan para penduduk asli menikmati
lintingan daun tersebut. Kebiasaan ini pun dibawa oleh de Jerez ke Eropa,
dimana ia sempat ditahan karena dianggap membahayakan oleh tetangganya, hingga
dibebaskan tujuh tahun kemudian ketika merokok mulai dianggap sebagai kegiatan
yang diterima di Spanyol.
Di
Eropa, kebiasaan merokok menjadi sesuatu yang dapat diterima secara luas,
antara lain karena rakyat Eropa pada masa itu percaya akan khasiat rokok bagi
penyembuhan berbagai macam penyakit. Hal ini dikuatkan dengan klaim dari
Nicolas Monardes, seorang dokter Spanyol yang dalam bukunya di tahun 1571
menulis bahwa rokok dapat menyembuhkan 36 masalah kesehatan. Monades menguji coba
tembakau yang ditanamnya sendiri di kebunnya di Seville untuk mengobati
pasiennya. Seiring berjalannya waktu, rakyat Eropa pun mulai menyadari tentang
bahaya rokok ketika Sir Francis Bacon menulis tentang sulitnya berhenti dari
kecanduan rokok di tahun 1610.
Di
Indonesia sendiri rokok pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada sekitaran
abad ke-19. Kebiasaan yang dibawa dari daratan Eropa ini muncul sebagai
kebiasaan baru di Indonesia bahkan hingga saat ini. Saking adiktifnya si rokok
ini, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, kebanyakan anggaran belanja
rumah tangga miskin didedikasikan 11% bagi rokok, jauh lebih tinggi dari
anggaran pendidikan maupun kesehatan.
Kendati demikian, tembakau menyumbang pajak yang sangat tinggi bagi pemerintah, sekitar 7,6 miliar di tahun 2011. Sejalan dengan itu, terdapat lapangan pekerjaan yang luas dalam proses tersebut. Bahkan, industri rokok ini tak hanya memiliki pasar di dalam negeri, melainkan juga menjangkau ke negara-negara lainnya di luar Indonesia.
Kretek Indonesia di Mata Dunia
Lantas, bagaimana dengan
popularitas rokok Indonesia di mata dunia saat ini? Wah, jangan ditanya.
Semegah letter sign Djarum Super di Purwakarta, semegah itu
pulalah popularitas rokok kita di dunia. Letter sign Djarum
Super menegaskan dua hal, sebagai yang terbesar di dunia dan dapat
mengalahkan letter sign Hollywood, dan dalam semesta
per-sebat-an, kita bisa menjadi raksasa.
Sumber gambar: Letter sign Djarum Super. http://giant-letter-sign-djarum-super.blogspot.com/2012/01/bandung-di-waktu-malam-berselubung.html |
Hampir mirip seperti analogi
tembakau suku Indian, yang merupakan sarana bangsa Indian untuk mencapai
tingkat kesadaran menuju dunia roh, begitu pula industri rokok di Indonesia
membawa rokok ini dikenal hingga ke belahan dunia yang lain.
Berbeda dari rokok lainnya di luar
negeri, rokok Indonesia memiliki keistimewaan sendiri, atau yang disebut ‘hardcore’
oleh bule Norwegia diatas tadi. Rokok Indonesia, atau yang terkenal dengan
sebutan ‘kretek’, merupakan rokok yang istimewa dan warisan asli budaya
Indonesia. Rokok ini merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, dan rasa
lainnya, dengan bunyi yang khas ketika dibakar. Kretek sendiri merupakan
istilah onomatope dari bunyi derak cengkeh yang dibakar: kretek…tek…tek…
Pada mulanya, variasi kretek ini
lahir dari tangan Haji Jamhari, seorang penduduk asli Kudus, Jawa Tengah, yang
menderita asma dan sakit dada. Dari kegemarannya menggosokkan minyak cengkeh ke
dadanya, Jamhari berusaha mencari cara untuk mendapatkan pertolongan yang lebih
dalam bagi penyakitnya. Ia pun mencoba untuk menambahkan cengkeh kering dan
getah pohon karet dari rokok lintingannya, yang lantas menjadi terkenal di lingkungan
rumahnya ketika lintingan tersebut berhasil menyembuhkan sakit dadanya. Dari
sinilah nama ‘kretek’ kemudian diperkenalkan. Haji Jamhari menerima pesanan
yang begitu banyak dan dimulailah industri rokok kretek, diperkirakan sekitar
tahun 1870-1880.
Rokok kretek cepat meluas dan
terkenal, yang mulanya hanya diproduksi dan dijual di Kudus, kini mulai
merambah hingga keluar pulau Jawa. Disinilah mulai terjadi ekspansi rokok
kretek besar-besaran, sekitar interval tahun 1918. Pada tahun itu pula terjadi
kerusuhan antara pengusaha Jawa dan Tionghoa yang menyebabkan produksi kretek
mengalami kemunduran. Namun, lima tahun setelahnya industri ini bangkit lagi
dan bertumbuh dengan sangat pesat. Bahkan pada tahun 1928, terjadi perubahan
dalam proses industri kretek yang sebelumnya dilinting secara manual kini
menggunakan mesin yang disebut papiersigaretten. Transformasi
produksi manual ke mesin ini dipelopori oleh perusahaan rokok “Mari Kangen” di
Solo dan “Sampoerna” di Surabaya. Salah satu produk kretek yang paling terkenal
adalah merk ‘Bal Tiga’, dimiliki oleh Mas Nitisemito, yang di kemudian hari
menjadi sangat ikonik bagi warga Kudus setiap kali mendengar kata ‘rokok
kretek’. Ketenaran merk ‘Bal Tiga’ Nitisemito tak lain karena prinsip-prinsip
usaha modern yang dilakukannya, yang visioner dan inovatif sekalipun ia bahkan
tak bisa membaca dan menulis. Nitisemito melakukan sistem promosi sebagaimana
yang sering kita kenal sekarang: “kumpulkan beberapa bungkus rokok kami dan
tukarkan dengan piring cantik atau perabot rumah tangga lainnya!” Wah, saya
hanya bisa berdecak. Andaikata promosi itu diterapkan saat ini, saya yakin
ibu-ibu tidak akan muntab lagi setiap para bapak-bapak membeli rokok.
Bahkan, Nitisemito juga melakukan
sistem iklan dan stan yang masih jarang pada saat itu. Setiap kali ada pasar
malam, ia pasti membuka stan rokok kreteknya. Ia juga mengadakan sandiwara
keliling dengan selipan-selipan iklan setiap kali pertunjukan. Amen Budiman
dalam bukunya yang berjudul “Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara” pun juga menyebutkan bahwa Nitisemito pernah
menyewa pesawat untuk menyebarkan pamflet rokok kreteknya! Wah, luar biasa
visioner dan berani betul Mas Nitisemito ini!
Sebetulnya, apabila diperhatikan,
produksi rokok kretek sejak dahulu kala tak jauh-jauh pula dari proses
globalisasi. Hal ini menunjukkan globalisasi bukanlah fenomena yang baru
‘kemarin sore’, melainkan telah ada dan sangat berpengaruh pada industri kretek
pada saat itu. Salah satu pendorongnya adalah kolonialisme Belanda di Indonesia
yang pada saat itu turut menyumbang peran dalam proses impor. Kendati kita
masih belum dapat mengekspor produk rokok kretek kita pada saat itu, akan
tetapi kita sempat impor cengkeh dalam jumlah besar-besaran dari Zanzibar. Hal
ini juga kemudian dipengaruhi oleh adanya peristiwa internasional seperti
Perang Korea di tahun 1950, menyebabkan harga cengkeh naik berlipat-lipat dan
secara tidak langsung memengaruhi produktivitas kita. Hal ini menunjukkan
adanya interdependensi yang saling berkaitan dan menunjukkan bahwa sadar atau
tidak sejak masa itu kita telah ikut dalam pusaran globalisasi.
Keistimewaan lainnya adalah harga rokok kretek yang terbilang murah, salah satu yang bahkan termurah di dunia. Bahan-bahan yang digunakan dapat dengan mudah didapatkan di domestik, ditambah dengan upah buruh yang juga tidak mahal. Hal ini menyebabkan rokok kretek dapat dengan mudah dijangkau di seluruh pelosok Indonesia, bahkan oleh orang-orang miskin sekalipun. Hal ini juga yang menyebabkan harga rokok cenderung stabil dan tidak mudah berubah drastis.
Kalau secara global kita kenal 7
perusahaan yang disebut dengan “Seven Sisters”, di Indonesia kita punya juga 6
perusahaan raksasa rokok kretek yang juga sama-sama melakukan ekspansi ke pasar
internasional. Supaya seru, kita sebut saja 6 pabrik ini dengan sebutan “The
Six Kretek Giants”, yang terdiri dari Gudang Garam, Sampoerna, Djarum,
Nojorono, Bentoel, dan Wismilak. Menurut data di tahun 2018, total keseluruhan
ekspor kretek Indonesia saja bahkan mencapai US$ 827,98 dengan pangsa
pasar terbesar merupakan Asia Tenggara. Menurut data yang dilansir dari Tirto,
menurut laporan berjudul “A Snapshot of the Tobacco Industry in the ASEAN Region”,
produk Djarum Super menjadi rokok yang mendominasi negara Brunei Darussalam. Masih
dilansir dari Tirto, “The Six Kretek Giants” ini masuk dalam daftar rokok papan
atas dunia. Ekspor rokok Indonesia yang menyentuh angka 31,5 miliar batang
menjadikan Indonesia sebagai negara ASEAN dengan rekor ekspor rokok terbanyak
di kawasan. Hal ini berimplikasi pada penerimaan kas pemerintah yang mencapai
$10,6 miliar di tahun 2015. Sementara itu, menurut sumber yang lain, di tahun
2018, ekspor rokok dan cerutu kita mengalami peningkatan dari yang tahun
sebelumnya sebesar US$904,7 juta menjadi US$931,6 juta.
Ekspor produk kretek dari
Indonesia telah mengglobal, dilihat dari beberapa merk kretek yang dijual di
luar negeri. Salah satu contohnya adalah merk Djarum, yang memulai proses
ekspor ini sejak tahun 1972. Bermula dari Kudus, kini produk kretek Djarum
telah dapat dinikmati di belahan dunia lainnya, mulai dari Amerika Serikat,
Timur Tengah, Australia, Belgia, Jepang, Kanada, Belanda, Arab Saudi, Eropa
Timur, Asia Tenggara, dan Rusia. Bahkan, salah satu variannya, L.A. Lights
Mentol menjadi begitu populer di Malaysia dan merupakan pilihan bagi kaum
menengah ke atas, menunjukkan gaya hidup papan atas. Di Amerika dan Kanada,
menurut data yang diambil dari Kretek International, Djarum berhasil menjual
lebih dari 26 juta batang rokok per tahunnya pada total 83 ribu lokasi retail.
Proses awal masuknya Djarum ke pasar luar negeri terjadi di tahun 1972. Beberapa tahun sebelumnya, Oei Wie Gwan, pemilik sekaligus pendiri Djarum, jatuh sakit. Pabrik rokoknya pun juga mengalami musibah kebakaran. Sehingga, anak Oei Wie Gwan, Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, harus mengambil alih perusahaan bapaknya dan berusaha untuk membangunnya kembali. Hingga di tahun 1972, mereka berdua mencoba mengekspor kretek lintingan tersebut ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Belanda, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand dan Arab Saudi. Tak disangka-sangka, di tahun 1981, produk Djarum Super sukses di pasaran internasional, diikuti oleh Djarum Special di tahun 1983. Hal ini menjadi titik awal penyebaran produk Djarum hingga ke belahan dunia lainnya.
Industri Kretek dan Pembangunan di Indonesia
Lantas, apa yang membuat para
raksasa ini—salah satunya mari kita ambil kasus Djarum—dapat bertahan di tengah
gempuran rokok putih dari mancanegara, serta dapat tetap berjaya di domestik
maupun di luar negeri? Salah satu strategi yang diterapkan Djarum adalah
berkontribusi bagi pembangunan di Indonesia.
Popularitas kretek memang tak
dapat diragukan lagi di Indonesia. Karena itu, Djarum juga harus berkontribusi
dalam hal lainnya yang dapat memajukan bangsa dan negara, selain juga
memperkenalkan namanya sendiri di mancanegara. Beasiswa PB Djarum adalah salah
satunya. Kendati ini merupakan hal yang lazim bagi industri rokok besar untuk
menyiapkan anggaran khusus demi kepentingan sosial, PB Djarum dibentuk sebagai
salah satu sumbangsih Djarum bagi negara, yang dikhususkan bagi para prodigy di
bidang olahraga. Melalui atlet-atlet mumpuni yang dicetak Djarum, nama
Indonesia dapat dikenal di perhelatan olahraga sekelas dunia, salah satu yang
pertama dan paling utama adalah dalam bidang bulu tangkis. Hal ini juga baik
secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada eksistensi Djarum agar
semakin dikenal dunia.
Kini, seiring berkembangnya zaman,
lagi-lagi rokok kretek harus bersaing dengan gelombang kedua globalisasi rokok
di Indonesia, demikian saya menyebutnya. Apabila pada gelombang pertama kita
harus bersaing dengan rokok putih dari Eropa dan Amerika, kini kita bersaing
dengan variasi rokok elektrik yang memiliki macam-macam rasa, seperti jus.
Sebetulnya saya sedikit heran dengan ketenaran rokok elektrik alias vape ini.
Orang merokok selama ini karena sensasi rasa tembakau, lebih unik lagi kretek
Indonesia yang menawarkan campuran cengkeh dan sensasi bunyi deraknya ketika
terbakar. Namun kini, orang merokok vape karena rasanya yang
bermacam-macam, seperti rasa buah-buahan dan lain sebagainya. Sensasi apa yang
ingin dicapai? Lantas, apa bedanya nge-vape dengan mengulum permen?
Akan tetapi, saya pribadi optimis
dengan keberhasilan dan kesuksesan kretek yang paripurna di masa mendatang. Hal
ini dibuktikan dengan pencobaan kolaborasi industri lokal dengan perusahaan
transnasional tembakau, yang tidak menampilkan hasil yang cukup signifikan.
Dalam prosesnya memang beberapa raksasa diatas telah bergabung dengan brand internasional
seperti Sampoerna dengan Phillip Morris International. Kendati demikian,
beberapa produk imitasi kretek dengan variasi yang ‘aneh-aneh’ justru malah
gagal di pasaran, seperti menggantikan cengkeh dengan minyak cengkeh (clove
oil). Laporan Lawrence dan Collin mencontohkan kegagalan merk Ventura dan
Citra yang katanya sama sekali tidak mencerminkan cita rasa alami kretek.
Yah, biarlah itu semua menjadi pilihan masyarakat modern ini. Bisa jadi bertahun-tahun ke depan kita punya varian vape dengan rasa unik lainnya yang bisa mendominasi pasar luar negeri. Atau barangkali saat enak-enak kerokan dengan minyak rempah tiba-tiba terlintas ide tentang jenis rokok baru asli Indonesia? Yah, siapa yang tahu, kan? Haji Jamhari saja tidak pernah menyangka kegemarannya mengusap minyak cengkeh ke dadanya justru membawanya sebagai orang yang paling berjasa mengenalkan rokok kretek ke kancah dunia.
Tambahan:
Tulisan ini merupakan UAS Pengantar Globalisasi saya semester 3
yang lalu, yangmana proses pembuatannya sangat berkesan bagi saya pribadi.
Mulai dari bolak-balik perpustakaan sendirian, tidak tidur semalaman hingga
harus berangkat pagi-pagi sekali besoknya ke perpustakaan, sampai sempat
ketiduran di meja perpus. Saya masih ingat betul, di ruang label merah, di
bangku yang terang dan dekat dengan jendela. Namun, prosesnya betul-betul
menyenangkan bagi saya. Apalagi ketika berhasil menemukan hidden
gems alias buku yang menjadi kunci tulisan ini di perpustakaan, yang
mana saya sama sekali tak mengira akan menemukannya disana. Prosesnya cukup
menyenangkan mengingat perjuangan pada masa itu, apalagi tulisan ini dibuat
dalam bentuk feature yang membebaskan saya mengolah kalimat
dengan gaya. Oya, mari diingat bersama-sama bahwa tulisan ini jauh dari kata
sempurna. Saya akan selalu terbuka pada setiap saran dan diskusi, mengingat
berbagai keterbatasan saya sebagai seorang individu.
Adapun saya memutuskan memposting tulisan ini ke blog, untuk mengenang salah satu dosen terbaik saya yang Rabu kemarin berpulang. Beliaulah yang memberikan saya tugas ini. Beliau telah banyak membuka mata saya, dan sangat berjaya selama proses riset dan penulisan. Rest in power, Pak…
Tambahan 2 :
Saya mengedit sedikit bagian dari artikel ini setelah mendapat
izin dari Sigit Pratomo untuk mengutip ceritanya di Quora 😊
Pratomo, Sigit. https://id.quora.com/Adakah-reaksi-yang-berkesan-dari-orang-orang-di-luar-negeri-ketika-mereka-mengetahui-kamu-berasal-dari-Indonesia/answer/Sigit-Pratomo-1?ch=3&share=6862cfb7&srid=8NcuB
Komentar
Posting Komentar