Langsung ke konten utama

An Unusual Easter Day


Hari ini Paskah. Kalau di tahun-tahun sebelumnya, kami akan tidur pukul 9 atau 10 malam, tidak semalam biasanya karena esoknya harus bangun subuh untuk ke gereja. Ibadah Paskah dimulai pukul 5 pagi. 

Ibuk akan menjadi orang yang paling pertama bangun, lalu membangunkan aku, Mbak Tin dan Bapak. Sementara Bapak merebus air, aku akan mandi duluan. Masuk ke kamar melihat Mbak Tin catokan. Barangkali aku akan mencatok rambut malam sebelumnya, karena mungkin aku tidak punya waktu di pagi hari. Lalu Mbak Tin akan bergantian mandi. Kemudian Bapak, lalu terakhir Ibuk. Lalu kami akan berangkat bersama-sama. 

Aku dibonceng Bapak, Ibuk dibonceng Mbak Tin. Kami akan berkendara beriringan macam konvoi bersama Mbak Rhany yang membonceng Tante Yuni, bersama dengan mobil kotrix yang ditumpangi Mbah Kung, Tante Endang, Grace dan Christo. Rico dan Enri mungkin sudah naik motor terlebih dahulu. Lalu kami akan sampai di gereja. Kemungkinannya ada dua, antara kami menjadi yang paling awal datang, atau justru gereja sudah ramai. 

Ibuk akan duduk di barisan penatua, mungkin jadi pembaca Iman Rasuli atau konvokator, atau mungkin juga pembawa persembahan. Aku akan duduk sederet dengan Bapak, Mbak Tin, Mbak Rhany dan Tante Yuni. Ibadah akan berlangsung dengan khidmat dan berbeda dengan minggu-minggu biasa. Mungkin diawali dengan drama singkat tentang penyaliban dan kebangkitan, atau mungkin diakhiri dengan persembahan nyanyian. 

Sepanjang khutbah bisa jadi aku akan mengantuk dan disenggol-senggol Mbak Tin. Lalu aku akan menoleh ke sekitar, melihat ke jendela-jendela yang tersebar di sepanjang dinding. Jendela kaca yang dengan kabur memperlihatkan suasana luar. Lalu tersadar. Oh, di luar sudah mulai terang. Matahari sudah terbit, Yesus telah bangkit. Aku mulai melek penuh dan mendengarkan khutbah dengan saksama. Kemudian Ibuk atau penatua lain maju ke depan. Menuntun kami membaca Iman Rasuli. Kemudian kami berdoa syafaat. Band memutar musik, lagu persembahan. Kami menyanyikan pujian terakhir, bangkit dan menerima berkat, lalu keluar dengan tertib sembari bersalaman dengan Pendeta dan para penatua. 

Di ujung pintu, beberapa jemaat menyambut kami dengan telur yang dibungkus plastik dan pita kecil beserta sepotong kartu berisi ayat. Kami bersalaman dengan setiap orang dengan mengucapkan dan menerima ucapan “selamat Paskah”. Kami menerimanya dengan senyuman, lalu Bapak menitipkan telur Paskah-nya kepadaku karena Bapak tidak pernah membawa tas ke gereja. 

Lalu kami akan makan bersama seluruh jemaat di jalan bagian samping gereja. Ramai, hangat, bersahabat. Semua orang makan dengan bahagia. Yang muda mempersilakan duduk yang tua. Banyak yang makan sambil berdiri dengan berbincang bersama keluarga. Piring pertamaku belum habis, Bapak sudah ambil piring kedua. Mbak Rhany akan menyuruh aku atau Mbak Tin mengambil aqua atau kerupuk lagi. Ibuk akan menjadi yang paling akhir bergabung dalam lingkaran kami karena ia harus menghitung persembahan terlebih dahulu. 

Matahari menunjukkan pukul 7. Lalu kami akan pulang bersama-sama. Di rumah, kami akan melanjutkan aktivitas. Barangkali aku akan tidur lagi, atau main hape sampai ketiduran. Barangkali aku akan memfoto telur Paskah-ku dan mengunggahnya ke media sosial. Aku akan menerima banyak ucapan selamat Paskah dari keluarga jauh dan teman-teman. Lalu Ibuk akan menelepon Uti dan Akung di Kediri, mengucapkan Selamat Paskah juga. 

Lalu hari itu dihabiskan dengan makan malam bersama di ruang tengah, minum teh dan makan jajan yang kubeli bersama Mbak Tin di toko Mbak Bawon, lalu Mbak Rhany akan datang dan bergabung bersama kami. 

Lalu kami akan tidur dan melanjutkan besok seperti biasa. Aku akan presentasi di kelas Studi Kawasan Asia Tenggara, Mbak Tin akan berkutat dengan kesibukan semester 6-nya. Ibuk akan menitipkan nasi jualannya untuk dibawa Mbak Tin. Bapak akan mengantarkan Ibuk ke kantor sebelum ia sendiri berangkat. Dan segalanya akan menjadi seperti yang sudah-sudah. 

Tapi hari ini segalanya berbeda sekali. Tidak pernah sedetikpun terbersit di pikiranku bahwa hari ini akan berjalan seperti ini. Aku bahkan belum tidur dini hari ini. Pukul 5 nanti tidak akan ada apa-apa selain notifikasi ibadah online lewat Youtube. Dan jujur, aku akan merasa sedih sekali. 

Selama ini, aku selalu bersemangat ke gereja. Buatku ke gereja adalah rutinitas yang menyenangkan. Lepas dari segala beban duniawi dan tanggung jawab yang membuatku pening, tekanan berkali-kali dan kesadaran bahwa aku sudah dewasa dan menjadi dewasa ternyata tidak semudah itu. Tapi di gereja, aku merasa seperti anak kecil lagi. Mengeluh sepuas-puasnya di depan Tuhan sambil bilang kalau aku nggak kuat. Aku butuh kruk yang ringan. Dan beban itu selalu hilang di gereja. Rasanya melegakan saat aku sadar bahwa aku pasti bisa dan segalanya akan baik-baik saja. Aku tidak sabar untuk segera menyelesaikan semuanya. 

Ya, rutinitas. Buatku itu rutinitas. Aku tak bisa memungkiri kalau aku merasakan perasaan yang lain saat berada di gereja. Kenyamanan, kelegaan, perasaan yang barangkali tak dapat kutemui di tempat lain. Tapi, sepulang dari gereja, aku merasa masih menjadi orang yang sama. Bukankah itu yang dinamakan rutinitas? Kukira aku masih belum bisa menganggap pergi ke gereja lebih dari sekedar rutinitas yang menyenangkan. Buktinya aku masih sama. Masih pemalas, suka menunda-nunda, emosional, pendosa. 

Tapi, hari dimana aku kehilangan rutinitas itu, membuatku tersadar kalau ke gereja seharusnya lebih dari sekadar rutinitas buatku. 

Aku merasa kehilangan. Kedamaian dan pelipur lara. Dan disini, di rumah, aku merasakan kebingungan yang luar biasa. Bingung akan apa yang hilang. 

Aku suka segala macam perasaan yang kutemui di gereja. 

Aku suka disuruh Bapak memfoto dirinya sehabis ibadah sembari menunggu Ibuk yang masih berkutat dengan persembahan. 

Aku suka saat aku benar-benar terinspirasi oleh khutbah seorang pendeta yang mencerahkan. 

Aku suka saat Bapak dan Ibuk membeli soto selepas pulang gereja. Aku benci sotonya, tapi aku suka saat Bapak dan Ibuk membelinya selepas kami pulang gereja. Karena kalau tidak ke gereja, kemungkinan beli soto itu kecil sekali. 

Aku suka suasana hari Minggu yang cerah dan santai, sepi dan tidak seriuh hari-hari biasanya. Hari Minggu adalah hari istirahat yang menyenangkan. Langit tampak lebih cerah, karena kau mendongak ke atas. Burung-burung berkicau nyaring, karena kau mendengarkan. Kau bisa jadi di rumah bersama keluarga, atau mungkin pergi bersama orang yang kau kasihi. 

Dan aku baru sadar kalau aku kehilangan gereja lebih dari sekadar rutinitas. Bahwa bergereja lebih dari sekadar jaringan internet dan audio-visual. Bahwa bergereja lebih tentang pertemuan. Dan bahwa aku sangat merindukan pergi ke gereja bersama keluarga. Dan segala perasaan lainnya yang tak terkatakan di depan salib kayu besar itu. Mungkin aku tak pernah merasa hal itu begitu berharga apabila hal ini tidak terjadi. Tapi aku merasa lelah dan haus kini. Dan aku membutuhkan oase itu lebih dari yang sudah-sudah. Dan untuk segala keabu-abuan di masa depan, aku berharap ini segera berakhir, ya Tuhan. 

Aku tak ingin merasa khawatir lagi. 

Untuk segala pahlawan di luar sana. Terima kasih. Semoga kita bisa melewati ini semua. Dan semoga kita bisa segera beribadah lagi seperti biasanya dengan perasaan yang baharu. Untuk tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan itu. 

Selamat hari Minggu. Selamat hari Paskah yang tidak seperti biasanya.

Komentar

  1. I know, it's late. I wrote it at Sunday, 12th April, perhaps at 2 a.m. But I didn't publish it right after I finished. I was full of doubt. Now that it's here, I wish you enjoy this while doing your quarantine. Thank you :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...