Langsung ke konten utama

Remembrance


Beberapa hari yang lalu aku bermimpi. Tulisan ini barangkali tidak sepenuhnya sama dengan mimpi itu, tapi kalimat yang dikatakannya benar-benar jelas sekali dan aku jamin seratus persen sama. Aku tahu baik kau maupun aku takkan bisa mengulang mimpi itu lagi, tapi percayalah padaku. Entah mengapa kemudian aku hidupkan ini sebagai tulisan singkat dan kubagikan padamu. Mungkin hanya sebagai jaga-jaga karena daya ingatku yang buruk supaya kita bisa mengingatnya bersama-sama, dan kau bisa menceritakannya kembali kepadaku apabila aku lupa.
            Dalam mimpi itu, aku merasa memasuki dimensi yang baru dan lain, asing dan kosong. Tidak ada apapun yang kulihat selain aku dan dia, yang entah juga dia itu siapa. Tidak ada dinding. Tidak ada lantai. Tidak ada perabotan lain maupun ciri khusus. Sejauh yang kuingat, cuma ruang (bisakah kita menamainya demikian?) yang gelap, mungkin hanya sebaran cahaya kecil berkilauan mirip bintang yang memenuhi kekosongan diantara aku dan dia. Hanya itu sejauh yang bisa kuingat.
            Sekalipun aku tak mengenal dia, pun tak ingat dengan rupanya dan wujudnya, dalam mimpi itu aku merasa begitu bahagia melihat dia. Sebenarnya, bahagia sendiri bukan sesuatu yang benar-benar kurasakan secara pasti, aku agak lupa apa yang sebenarnya kurasakan. Mungkin itu kelegaan, mungkin itu kedamaian, mungkin itu perasaan yang kau rasakan ketika menemukan sesuatu yang telah lama kaucari. Aku juga tidak tahu perasaan macam apa itu, yang jelas aku tidak bersorak, tidak tertawa, tidak pula menangis, seperti macam-macam reaksi atas perasaan yang selama ini kurasakan. Seingatku aku hanya diam, aku menatapnya, tapi yang jelas dan pasti, aku merasakan sesuatu. Entah sesuatu itu dinamakan apa. Aku juga tak mengerti.
            Pun keadaan dan kondisi yang terjadi saat itu aku juga tak tahu. Tapi aku seolah dapat merasakan ia mengetahui apa yang terjadi. Aku yakin benar dia tahu tempat apa itu. Aku merasa ia pernah melewatinya (yang jelas tidak tinggal didalamnya, karena kurasa tempat itu hanya sebuah persinggahan atau jalan menuju ke suatu tempat). Karena itu, ekspresinya pun, masih dapat kuingat dengan jelas, sekalipun aku benar-benar lupa bagaimana wajahnya. Aku melihat wajah yang tenang dan bijaksana, yang memahami apa yang terjadi, yang tidak berekspresi secara berlebihan. Ia tenang sekali. Ia cuma membelai rambutku dan menenangkanku, mengatakan sesuatu yang kemudian dapat kuingat dengan sangat jelas saat bangun dan tak pernah kulupakan sejak saat itu, “There’s not enough space in the future. There must be someone who’s gonna be waiting. So, we will not be in the same space for the same time.”
            That’s beautiful. Did you make that?” tanyaku.
            I just did.” jawabnya singkat dan kemudian aku terbangun pagi itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...