The last scene of 'The Breakfast Club': John Bender ended with a fist pump. Image source: pinterest |
The last scene of 'Dead Poets Society': The boys standing on the desk to gratitude Mr. Keating, saying 'O captain, my captain.' Image source: deadpoetssociety.fandom.com |
Mungkin ini terdengar seperti unpopular opinion, dan saya yakin akan memicu debat berkepanjangan, yang barangkali tak hanya menyangkut satu dua judul film, tapi pasti ada banyak orang yang akan ribut dengan membawa 'jagoan' film-nya masing-masing. Tapi, biarlah demikian. Saya akan sangat berterima kasih apabila disodorkan judul-judul film baru yang bisa saya tonton di kemudian hari.
Sebagai seorang movie geek, saya suka sekali dengan film-film lama yang ringan dan menyentuh. Buat saya, film-film lama jago dalam hal menampilkan cerita inspiratif, menyentuh, orisinil dan keren. Sesuatu yang agak sulit saya temukan dalam film-film baru belakangan. Saya tak malu mengakui film-film yang demikian sebagai salah satu genre favorit saya--selain tentu saja action dan comedy, khusus horor saya cuma suka kalau ditonton bersama-sama. Saya suka mendengar suara orang banyak menjerit dalam waktu bersamaan, hehehe. Lagipula, saya kira tak terlalu bijaksana menonton film horor sendirian karena sensasinya jadi hilang. Entah mengapa.
Kembali ke tema utama, sekiranya saya harus sedikit bercerita tentang awal mula ini semua. Kisah panjang yang membawa saya kembali ke masa-masa indah beberapa tahun lalu.
Selama empat tahun, saya percaya bahwa film kesukaan saya cuma satu: 10 Things I Hate About You. Kembali ke tahun 2015, saya pernah nonton film ini empat kali dalam seminggu dan tergila-gila sama Heath Ledger yang jadi Patrick Verona. Buat saya, Julia Stiles adalah aktris muda era 90-an yang sangat brilian dan keren. Tokoh anutan dan definisi 'keren' buat saya adalah tokoh Katarina Stratford yang diperankannya. Tidak cuma itu saja, semua soundtrack-nya keren banget dan menjadi favorit saya, mengenalkan saya pada musik rock oldies mulai dari Joan Jett and The Blackhearts sampai Sister Hazel. Ceritanya, yang kemudian menjadi cerita klasik khas remaja, juga asyik sekali. Film ini adalah adaptasi dari drama The Taming of the Shrew-nya Shakespeare! Oh, don't forget Kat's style. Literally cool. Overall, the movie was crazy. Siapa juga yang nggak suka lihat Joseph Gordon-Levitt yang masih imut.
Tergerak akan film ini, saya kemudian mulai ketagihan nonton film-film lama yang ringan, yangmana kekuatan film-film ini dibanding film-film ringan di masa sekarang adalah: meninggalkan KESAN. Buat saya sih begitu. HAHAHA. Saya pun membuat list film-film tersebut, dengan segenap hati mencari wi-fi yang kemudian mengantarkan saya menonton film-film keren lainnya seperti misal, Freaky Friday, She's The Man, Mean Girls, A Walk To Remember, A Cinderella Story (yang versi Hillary Duff adalah favorit saya), Juno, Big Fat Liar, She's All That, Bruce Almighty, When Harry Met Sally, Eternal Sunshine of The Spotless Mind, Flipped (rekomendasi teman), It's a Wonderful Life (ini kelamaan yak kayaknya wkwk), dll, dll.
Until I met The Breakfast Club...
Di Pitch Perfect, Jeese (Skylar Astin) selalu bilang ke Beca kalau ending The Breakfast Club adalah yang terbaik sepanjang masa, plus soundtracknya yang menurutnya emosional. Waktu baca di google, saya langsung tertarik dengan filmnya karena mengisahkan tentang drama remaja dan dibintangi oleh para aktor yang di kemudian hari disebut "Brat Pack". Termakan oleh rayuan Skylar Astin, plus tangisan Becca waktu nonton ending film tersebut (yang mana dia itu diceritakan keren dan tak mudah tersentuh, jadi tangisan dia waktu nonton The Breakfast Club must be something I thought), saya pun dengan semangat memutuskan untuk....... (drumroll*) DOWNLOAD THE BREAKFAST CLUB!
Most websites are right. Film ini adalah salah satu film paling ikonik, mengisahkan tentang kelima remaja dengan stereotype yang melekat pada mereka, menampilkan sosok bad boy Josh Bender (Judd Nelson) pujaan kaum wanita era 80-an, dan, yang menarik, filmnya.... simpel sekali. I wasn't expect great and shocker scenes, but, seriously, all the scenes were just in school. Ya sudah, mbulet disitu saja gitu, lho, maksudku (No offense, John Hughes, you were great at many of your movies. Really.) But actually that's the point. Justru karena kesederhanaannya, kepopuleran film ini jadi dibicarakan: it must be because of the great director and all the actors, and also the storyline.
(Saya baru tahu di kemudian hari bahwa genre film seperti ini memang ada namanya, jadi latarnya hanya berputar di satu tempat atau kondisi. Agaknya kurang relevan ya, buat membandingkan kedua film beda genre ini. Tapi, fokus pada endingnya, untuk film drama remaja, saya jelas lebih memilih Dead Poets Society.)
But, instead of Beca, I just don't really feel anything. Saya nggak nangis atau menitikkan air mata. Dalam beberapa scene saya merasa "Oh yeah, keren nih.", tapi nggak yang benar-benar tersentuh banget. And the ending... Well, I must say, biasa aja, sih. Saya justru malah lebih tersentuh sama quotes yang ditaruh di awal/akhir film (saya lupa) daripada adegan Judd Nelson mengepalkan tangan ke atas dengan narasi isi surat ke gurunya. I tried to find out some parts meaning, and some sources said that The Breakfast Club has a deep meaning. Maybe, for that point, I agree. After all, The Breakfast Club may be one of the most iconic movie of all the time.
But seriously, the ending and the whole storyline? Sue me, but I'll totally choose Dead Poets Society instead of The Breakfast Club. Like seriously. For eighties movie.
Okay. Let just get into pieces.
First of all, at the very first beginning, Dead Poets Society offers the simple story that might make you feel easy to guess the storyline (that happened to me). Di bagian awal, saya merasa film ini hanyalah film inspirasional biasa yang gampang ditebak. Tapi ternyata tidak. Hahaha. Selama film saya malah disuguhkan adegan-adegan dan cerita-cerita yang sama sekali tak terpikirkan. Selain itu, pengenalan akan sekolah dan para tokoh menurut saya cukup baik, sangat baik malah. Mereka mempunyai karakter (sesuatu yang sulit kamu cari di sinetron Indonesia kebanyakan, where the characters are just so kind and so bad, that's it and that's all). Dialognya juga nggak basi. Scene per scene seolah mengalir begitu saja, sangat jelas dan kuat.
Kedua, visualisasi. Menurut saya, inilah film dengan visualisasi terbaik yang pernah saya tonton (untuk kategori film drama yang ringan dan sehari-hari). Mengambil latar tahun 50-an, suasananya kental dan dengan baik disajikan tanpa terkesan dibuat-buat. Apalagi pada waktu nge-shoot pemandangan, bagus sekali.
Ketiga, akting para aktor-nya. They're all genius. Aktingnya keren, alami, sesuai, pas. Benar-benar menggambarkan siapa diri mereka.
Terakhir, dan yang menjadi tema disini, adalah endingnya. Buat saya inilah ending terbaik sekaligus termenyebalkan yang pernah saya tonton. Terbaik karena saya nggak berhenti menangis. Menangis untuk apa, saya juga nggak tahu. Keharuan, mungkin. Marah, bisa jadi. Emosi saya campur aduk. Jauh dalam lubuk hati yang paling dalam saya yakin sekali kalau cerita ini ada kelanjutannya. Saya tidak bisa membiarkannya berhenti disitu saja, walau memang sudah selesai. Tapi saya nggak rela ceritanya selesai sampai disana. Endingnya membuat saya kepikiran. Ceritanya juga. As I mentioned above, dulu saya pikir Dead Poets Society hanya menyajikan cerita drama inspirasional dengan ending yang bahagia. Ternyata, tidak sesederhana itu. Anehnya saya nggak bisa sepenuhnya bilang kalau endingnya sedih, atau bahagia. Mungkin campuran keduanya, tidak keduanya, atau diantara keduanya. Tapi yang jelas, ini adalah film yang saya paling nggak rela berhenti disitu saja. Masih ingat cerita The Fault in Our Stars dimana Hazel Grace ingin sekali bertemu penulis buku "An Imperial Affliction" karena ceritanya berhenti di tengah kalimat? That's absolutely what I feel. Aneh banget memang. Saya juga nggak tahu kenapa. Buat saya, mereka semua nyata. I don't see Robin Williams plays as Mr. Keating. I see Mr. Keating itself. It is surely one of the best movie that I've ever watched. Meskipun agak trauma untuk menontonnya ulang karena saya masih nggak rela.
But it's really beautiful. Just, I don't expect I would cry that much.
Yes, ending Dead Poets Society buat saya jauh lebih bagus ketimbang The Breakfast Club, meskipun juga menjadi satu yang paling menyebalkan. Definisi bagus, buat saya, dapat menyentuh, mengemas dengan baik, dan meninggalkan kesan. Semuanya dapat dipenuhi oleh Dead Poets Society. The Breakfast Club agaknya kurang meninggalkan kesan buat saya, tapi tetap ia menjadi salah satu adegan paling ikonik yang pernah kita tahu.
Terakhir, in memoriam of Robin Williams, akting Anda sangat luar biasa dalam Dead Poets Society. Saya tidak bisa melihat sosok Mr. Keating di aktor lain kecuali Anda. Karena itu, mungkin, sekalipun jauh dalam diri saya sangat menginginkan Dead Poets Society 2, saya takkan pernah melupakan sosok Anda sebagai Mr. Keating. Sir, you just woke up the part of my self that makes me different than who I was, the part of my self that sees the life differently, who lives it, just like what you said, extraordinary.
And for that I really am happy.
😄😊😉
BalasHapuspara Member setia Fansbetting,
untuk kalian para pecinta permainan casino online
yang mungkin sedang mencari agen terpercaya dengan bonus rollingan yang besar
kami menyarankan kepada kalian semua para member setia kami
bahwa kami akan memberikan BONUS ROLLINGAN 0.70% untuk kalian semua
dan langsung otomatis masuk ke dalam id kalian,
jadi untuk kalian yang mau mencoba bonus ini dan ingin bermain di salah satu agen yang terpercaya
kalian bisa bermain bersama kami . fansbetting.com
* CLAIM NOW AND JOIN US *
Untuk keterangan lebih lanjut, segera hubungi kami di:
WA : +855963156245^_^
Ayo tunggu apalagi !!