Langsung ke konten utama

Catatan Harian #1 Ketika Rumah Saya Kedatangan Tamu Tak Diundang



Hidup memang penuh kejutan. Karena itu, kau harus terbiasa.

            Kemarin malam berjalan sama seperti malam-malam sebelumnya, setidaknya sampai kami sekeluarga dikejutkan dengan datangnya tokek ke rumah kami. Bagi kami, tokek adalah hewan yang tak bakal kepikiran bakal sampai ke rumah kami. Darimana dan lewat mana datangnya tokek tersebut masih menjadi misteri sampai saat ini. Bahkan, aku lebih tak terkejut saat ada kuda putih lewat depan rumah daripada munculnya tokek di rumah kami (iya, dua kali kakakku melihat kuda putih yang lewat dan meringkik disambut sorak anak kecil, walau aku sendiri belum beruntung mendapat kesempatan melihatnya).
            Aku melihat tokek itu dengan mata kepalaku sendiri. Pada waktu aku akan makan malam, ibuku bercerita bahwa ia melihat tokek diatas pintu kamar saat ia sedang terbangun dari menonton televisi. Kukira itu hanya halusinasi ibu karena ia baru bangun tidur. Namun, saat dengan hati-hati aku mencoba membuka pintu kamar dan mengintip apa yang ada dibaliknya, aku tersentak dan deg-degan setengah mati sebab jarak diantara kami berdua tidak sampai satu meter (ia berada tepat dibawah baju bapakku yang tergantung di dekat pintu). Tokek itu berukuran besar, berwarna gelap, diam tak bersuara. Aku lantas berlari ginjal-ginjal dan deg-degan, anehnya sekelebat pikiran terlintas di otakku bahwa akhirnya malam ini tak terasa monoton di rumahku.
            Hingga saat catatan ini ditulis, tokek itu masih menggantungkan nasibnya pada keajaiban karena kamar itu kami kunci rapat dan tidak boleh ada seorangpun yang masuk sampai bapak dan temannya berusaha mengeluarkannya entah dengan cara apa. Aku tidak tahu bagaimana nasib tokek itu sekarang. Jika pintar, ia pasti sudah meraih remote dan menonton televisi sekarang. Jika lebih pintar lagi, ia akan berselimut dan tidur siang di kasur yang nyaman sebelum dikeluarkan dari isolasinya nanti sore sepulang bapak dari tempat kerjanya.
            Kata orang, tokek adalah pertanda. Aku membaca di internet bahwa tokek adalah hewan yang dapat meramalkan masa depan pemilik rumah yang ditempatinya, bisa jadi juga perlambang akan datangnya keberuntungan, pengusir mala, atau bahkan ia ditunggangi makhluk tak kasat mata jika beratnya mencapai lebih dari 3 ons. Buatku pribadi, itu terdengar tak masuk akal dan tak bisa dipercaya. Tapi di lain sisi aku masih suka membaca horoskop (aku tak memercayainya sih, hanya saja itu menyenangkan) dan kupikir itu sama saja. Aku hanya menanggapnya tak lebih dari sekadar hiburan karena manusia memang suka mendengar mitos. Benar, bukan?
            Tapi, yang lebih penting daripada itu, tokek itu mengingatkanku akan sesuatu. Kedatangannya yang tanpa tanda-tanda, tak dapat ditebak, serta mitos-mitos yang dibawanya mengingatkanku akan mereka yang datang di hidupku selama ini. Tak ada satupun dari mereka yang dapat kutebak akan datang, mereka hadir tanpa tanda-tanda, dan membawa pesan tersendiri. Beberapa dari mereka hadir dan membuat perubahan yang luar biasa dalam hidupku. Ada pula yang hadir tapi tak kuketahui pesan apa yang dibawanya sampai saat ini, sementara ia hanya terdiam dan mesam-mesem mondar-mandir di hidupku, sebuah misteri yang barangkali akan terjawab nanti.
            Apakah pesan-pesan yang mereka bawakan akan kumengerti sebelum aku pergi nanti? Apakah pesan-pesan ini dapat kutemukan sebelum aku pergi lebih jauh lagi? Tidak ada yang tahu. Sama seperti tokek itu, ia tidak tahu kapan bapakku dan temannya akan datang untuk menyuruhnya pergi.
Aku sendiri juga tidak tahu apakah aku dapat mengerti pesan yang disampaikan tokek itu sebelum ia menjauh nanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porcelina of the Vast Oceans*

*) Judul diambil dari lagunya The Smashing Pumpkins yang tidak ada hubungannya.                 Tema hari ketujuh belas: Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?                 Hai.                Maaf ya telat setahun. Hahahaha.             Jadi seharusnya tulisan ini ditulis setahun yang lalu. Tapi karena saya sibuk dimintain tolong Kera Sakti buat mencari kitab ke barat, jadi ya begini deh. Hahaha, nggak ding, alasan aja. Alasan sesungguhnya adalah… rahasia deh.             Yah pokoknya kita sudah di sini sekarang, jadi tanpa perlu berlama-lama lagi, mari kita lanjutkan saja!             Tema hari ke-17 diminta untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika saya terdampa...

Tak Terhingga

  Kau adalah ukuran yang kupakai untuk mendefinisikan ketakterhinggaan. Waktu mengukir laju bintang dalam cahaya Meninggalkan jejak yang hanya bisa kau bayangkan dalam kepala. Ketika kaupandangi langit malam, segala yang timbul hanyalah pertanyaan. Dan gambaran. Dan gambaran. Dan pertanyaan. Kau mengira-ngira lagi. Terawang-awang di tengah lautan kosmik kau bagai peri di lubang hidung raksasa mistik Bagai menjilat bulan dengan ujung lidahmu yang merah. Sebagian karena dingin. Sebagian karena permen kaki yang suka kau beli di sela istirahat kelas. Telingamu penuh oleh riuh rendah deburan ombak Yang kau kira-kira sebagai melodi agung nyanyian Tuhan Yang memberkati senandung langkahmu dalam setapak keabadian. Kau begitu kecil. Begitu fana. Begitu mudah ditiup dan menghilang. Jadi abu, jadi serbuk, jadi setetes embun basah di muka daun lontar. Tanganmu menggapai-gapai bintang yang lewat di depan mata.  Kau cari-cari tali sepatumu yang hilang di tengah cincin saturnus. Ka...

Martha

Dia adalah pertentangan bagi satu yang lain. Ia benci hujan dan suara gemuruh, tapi suka aromanya yang katanya segar dan khas. "Kupikir aroma hujan sulit sekali dilukiskan," katanya saat itu, "tapi memberimu kedamaian bagai mencapai titik spiritual tertentu." Aku setuju.                 Ia benci malam hari, tapi suka sekali dengan bintang dan astrologi. "Aku tidak percaya zodiak," katanya membela diri saat pertama kali kita bertemu. "Tapi aku suka ceritanya, dan interpretasi manusia bahwa posisi bintang bisa benar-benar memengaruhi kepribadian seseorang. Kukira itulah kenapa manusia suka percaya pada konspirasi. Karena seolah-olah kita menemukan pola tertentu, padahal itu sebuah keniscayaan."                 "Teori Ramsey?" sahutku cepat.                 ...